Senin, 16 April 2018

Me-Restart masyarakat Demokrasi


Menjadi hal yang sensitif saat saya ingin mengupas tentang Demokrasi, karena  sampai sekarang masih menjadi pro kontra terkait sistem Demokrasi di Indonesia. Sebelum ke pembahasan lebih jauh terkait Demokrasi di Indonesia, saya akan sedikit bercerita bagaimana pengalaman saya yang dulu bahkan pernah beranggapan bahwa pak SBY adalah thaghut kafir yang wajib dibunuh karena tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia.
Bermula saat saya kelas 12 Madrasah Aliyah, ketika itu saya sudah mengenal media sosial bernama Mbah Facebook. Dan di Fb tersebut entah bagaimana caranya saya bisa berteman dengan orang-orang yang sejurus dengan kontra demokrasi di Indonesia. Saya yang ketika itu masih bodoh sekali, mulai menimbrung dan tertarik dengan teman-teman FB yang setiap statusnya selalu membawa ayat-ayat Qur’an, isinya tentang ceramah-ceramah, mengajak kepada kebaikan dan sebagainya, tentu itu menjadi sesuatu yang sangat menarik. saya berpikir semoga dengan berteman dengan mereka-mereka saya bisa ketularan Agamisnya. Hingga pada suatu hari, mereka membahas tentang sistem hukum kenegaraan Indonesia yang menurut mereka adalah hukum setan karena memakai sistem dari Barat yaitu Demokrasi. Menurut mereka sistem Demokrasi Indonesia ini harus diganti dengan sistem hukum Islam, karena yang tidak berpegang teguh dengan hukum Islam berarti orang tersebut KAFIR. Kemudian saya yang polos mulai bertanya ‘berarti Indonesia ini negara Kafir karena tidak mau menerapkan hukum Islam di dalamnya’ bahkan dari mereka ada yang mengatakan bahwa Pak SBY boleh dibunuh karena ia kafir tidak mau berhukum pada hukum Allah. Saya manut saja, karena dalil yang mereka keluarkan memang dalil dalam Al-Qur’an dan saya jadi terbawa berdalih bahwa Demokrasi itu kafir. Sampai pernah suatu ketika dalam perjalanan saya bertanya pada Abah ‘bah di Indonesia ini tidak menganut hukum Islam, berarti Indonesia ini kafir’ abah hanya menjawab ‘Demokrasi itu bukan kafir’ kalau tidak salah itu yang abah ucapkan, tapi kemudian setelah abah menjawab saya hanya diam saja.
Pemahaman Demokrasi Kafir itu terus menancap dalam diri saya, sampai kemudian saya masuk ke salah satu perguruan tinggi dan mengambil jurusan Tafsir Hadis (waktu itu jurusan UTH masih ada tahun 2011). Di dalam kelaspun ketika pelajaran Civic Education membahas Demokrasi, saya ikut-ikutan mengeluarkan dalil dalam surah an-Nur, tapi bapak dosen waktu itu menjelaskan dengan baik sekali tanpa menyalahkan saya sedikitpun (semoga bapak dosen Civic selalu dalam lindungan Allah). Lambat laun berlalu, saya banyak menemukan ilmu baru, salah satunya Ulum Qur’an yang membuat saya sadar bahwa dalil Al-Qur’an itu membutuhkan tafsir, dan yang menafsirkannya pun tidak sembarangan, harus orang-orang yang berilmu. Saya akhirnya paham bahwa segala sesuatu jangan dilihat dari tekstual saja, tapi harus kontekstual. Saya bertemu dengan ulama-ulama tafsir klasik, pertengahan dan kontemporer, dan akhirnya saya disadarkan bahwa keadaan sosial juga mempengaruhi terhadap penafsiran Al-Qur’an. Sungguh ilmu Allah itu amatlah luas, tidak heran sang Nabi saw memerintahkan kita untuk terus mencari ilmu sampai ke liang lahat, artinya terus belajar tidak peduli sudah berapapun umur kita, karena memang hidup adalah perjalanan yang penuh pelajaran.
Dan tema demokrasi ini menjadi judul yang harus saya teliti untuk memenuhi syarat kelulusan Strata Satu waktu tahun 2015. Saya ingin menggeluti lebih dalam apa itu Demokrasi dengan mengambil salah satu tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Muhammad Abduh. ‘Demokrasi menurut Perspektif Muhammad Abduh’. Sedikit tentang Muhammad Abduh, beliau adalah Mufassir, Mujaddid, Mujahid. Melalui muridnya beliau tumpahkan ilmunya, hingga terbitlah Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh telah melakukan pembaharuannya melalui jalur pendidikan, berbeda dengan gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani yang melakukan pembaharuannya melalui jalur politik.
Setelah saya menggeluti lebih dalam apa itu Demokrasi, ternyata tidak ada nilai-nilai yang salah dalam Demokrasi, bahkan nilai-nilainya sesuai dengan apa yang Islam ajarkan. Lantas mengapa mereka menganggap bahwa demokrasi itu kafir hanya karena ia berasal dari Barat, bahkan mereka sering menyalahkan sistem demokrasi, saat hukum di Indonesia tidak ada keadilan dan kejujuran, padahal demokrasi menekankan kedua nilai itu. penerapan sistem Demokrasi di setiap negara tentu berbeda-beda, Demokrasi di Amerika berbeda dengan penerapan sistem Demokrasi di Indonesia. Jika di Amerika HAM dijunjung tinggi, kalau di Indonesia tentu harus dibatasi dengan hukum Tuhan, hukum Tuhan tentu tidak perlu dimusyawarahkan lagi tapi haruslah dijalankan.
Saya akui kebobrokan moral di Indonesia ini sudah menjadi-jadi, hukum seperti barang dagangan bisa dibeli oleh siapapun, bahkan hukum bisa lebih tajam ke bawah dan tumpul di atas. Padahal dalam Islam dan Demokrasi mengajarkan keadilan itu harus diterapkan dengan sebaik-baiknya, tapi lagi dan lagi keadilan tinggal nama. Jadi bukan sistemnya yang harus dirubah sampai berdalih bahwa sistem kita sekarang adalah kafir, tapi justru orang-orangnya yang perlu di restart ulang.
Apakah ada hal yang bertentangan dengan Islam terkait lima nilai yang terangkum dalam pancasila? Tentu tidak ada. sistem di Indonesia ini hanya namanya saja yang beda, tapi nilainya tetap sama yaitu mengajak kepada kebaikan.
Demokrasi yang merupakan nilai terbesarnya adalah musyawarah dijelaskan oleh Muhammad Abduh yang saya kutip dalam tafsirnya al-Manar , terkait ayat tentang musyawarah dalam Al-Qur’an, menurutnya urusan yang perlu dimusyawarahkan itu bersifat umum, bisa politik, peperangan, perdamaian, rasa takut, keamanan dan lain-lain, yang berkaitan dengan kemaslahatan urusan duniawi mereka. Karena dalam musyawarah  itu terdapat manfaat bagi pemerintahan. Urusan yang diputuskan dengan musyawarah ini adalah segala urusan duniawi yang biasanya diajukan kepada hakim, bukan urusan agama yang sumbernya murni berdasarkan wahyu dan bukan berdasarkan pada pendapat manusia. Karena jika masalah agama seperti aqidah, ibadah, dan masalah halal haram ditetapkan berdasarkan musyawarah, niscaya agama menjadi bersumber pada produk manusia, sedangkan agama Islam itu bersumber  dari ketetapan illahi dan tak seorangpun campur tangan mengenai ketetapan illahi, tidak pada masa rasul dan tidak pula pada masa sesudahnya.
Semoga pentas Demokrasi ke depan semakin sehat dan beradab, tidak ada lagi jual beli Hukum, karena dirasa cukup jual beli itu hanya terjadi dalam dunia perdagangan bukan perpolitikkan. Tidak ada lagi dusta antara presiden dengan rakyatnya, kita masarakat Indonesia menginginkan sistem pemerintahan yang terbuka, jangan sampai kita kebingungan kenapa cangkul saja harus impor dari luar, kenapa banyak tenaga kerja asing yang mudah sekali masuk ke indonesia bahkan gajinya lebih besar dari tenaga kerja Indonesia itu sendiri. Jangan lagi ada kebingungan para ibu-ibu kenapa semua bahan-bahan yang berhubungan dengan dapur jadi melonjak tinggi dan jangan ada lagi drama tabrak menabarak sampai tiang listrikpun di tabrak, sungguh kasian tiang listrik. Kita gerah dengan melemahnya hukum di Indonesia yang selalu tumpul di atas, seharusnya kita bisa belajar dari Umar ra yang mencabuk anak kandungnya sendiri sampai meninggal karena ia berzina, padahal ketika itu posisi umar adalah seorang Khilafah besar yang mampu menaklukan negara-negara besar.
Kita butuh keadilan dan kejujuran dan mari kita sama-sama masyarakat Indonesia berlomba-lomba dalam kebaikan, insya Allah masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik. Lima sila saja diterapkan dengan sebaik mungkin dalam kehidupan kita, insya Allah Indonesia akan melahirkan manusia-manusia yang akan membuat peradaban besar. Aaamiinn
Itulah sekelumit kisah saya dalam mengenal demokrasi, saya tekankan di sini bahwa bukan berarti saya paling benar dengan semua argumen saya. Semua orang bebas beropini dan berpendapat, karena kita hidup di negara demokrasi. Mereka yang pro tidak salah dan yang kontra pun tidak salah, yang salah itu rakyat yang hanya mengkritik tapi tidak bergerak untuk membuat perubahan. Semoga Indonesia ke depan mampu menjadi negeri yang Baldatun Thoyyibah dan dipegang oleh pemimpin yang Amanah dan Istiqomah dalam menyebarkan manfaat bukan mudharat.

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...