Menjadi hal yang sensitif saat saya ingin mengupas tentang Demokrasi,
karena sampai sekarang masih menjadi pro kontra terkait sistem Demokrasi di Indonesia.
Sebelum ke pembahasan lebih jauh terkait Demokrasi di Indonesia, saya akan
sedikit bercerita bagaimana pengalaman saya yang dulu bahkan pernah beranggapan
bahwa pak SBY adalah thaghut kafir yang wajib dibunuh karena tidak menerapkan
hukum Islam di Indonesia.
Bermula saat saya kelas 12 Madrasah Aliyah, ketika itu saya sudah
mengenal media sosial bernama Mbah Facebook. Dan di Fb tersebut entah bagaimana
caranya saya bisa berteman dengan orang-orang yang sejurus dengan kontra demokrasi
di Indonesia. Saya yang ketika itu masih bodoh sekali, mulai menimbrung dan
tertarik dengan teman-teman FB yang setiap statusnya selalu membawa ayat-ayat
Qur’an, isinya tentang ceramah-ceramah, mengajak kepada kebaikan dan
sebagainya, tentu itu menjadi sesuatu yang sangat menarik. saya berpikir semoga
dengan berteman dengan mereka-mereka saya bisa ketularan Agamisnya. Hingga pada
suatu hari, mereka membahas tentang sistem hukum kenegaraan Indonesia yang
menurut mereka adalah hukum setan karena memakai sistem dari Barat yaitu Demokrasi.
Menurut mereka sistem Demokrasi Indonesia ini harus diganti dengan sistem hukum
Islam, karena yang tidak berpegang teguh dengan hukum Islam berarti orang
tersebut KAFIR. Kemudian saya yang polos mulai bertanya ‘berarti Indonesia
ini negara Kafir karena tidak mau menerapkan hukum Islam di dalamnya’
bahkan dari mereka ada yang mengatakan bahwa Pak SBY boleh dibunuh karena ia
kafir tidak mau berhukum pada hukum Allah. Saya manut saja, karena dalil yang
mereka keluarkan memang dalil dalam Al-Qur’an dan saya jadi terbawa berdalih
bahwa Demokrasi itu kafir. Sampai pernah suatu ketika dalam perjalanan saya
bertanya pada Abah ‘bah di Indonesia ini tidak menganut hukum Islam, berarti
Indonesia ini kafir’ abah hanya menjawab ‘Demokrasi itu bukan kafir’ kalau
tidak salah itu yang abah ucapkan, tapi kemudian setelah abah menjawab saya hanya
diam saja.
Pemahaman Demokrasi Kafir itu terus menancap dalam diri saya,
sampai kemudian saya masuk ke salah satu perguruan tinggi dan mengambil jurusan
Tafsir Hadis (waktu itu jurusan UTH masih ada tahun 2011). Di dalam kelaspun
ketika pelajaran Civic Education membahas Demokrasi, saya ikut-ikutan
mengeluarkan dalil dalam surah an-Nur, tapi bapak dosen waktu itu menjelaskan
dengan baik sekali tanpa menyalahkan saya sedikitpun (semoga bapak dosen Civic
selalu dalam lindungan Allah). Lambat laun berlalu, saya banyak menemukan ilmu
baru, salah satunya Ulum Qur’an yang membuat saya sadar bahwa dalil Al-Qur’an
itu membutuhkan tafsir, dan yang menafsirkannya pun tidak sembarangan, harus
orang-orang yang berilmu. Saya akhirnya paham bahwa segala sesuatu jangan
dilihat dari tekstual saja, tapi harus kontekstual. Saya bertemu dengan
ulama-ulama tafsir klasik, pertengahan dan kontemporer, dan akhirnya saya
disadarkan bahwa keadaan sosial juga mempengaruhi terhadap penafsiran
Al-Qur’an. Sungguh ilmu Allah itu amatlah luas, tidak heran sang Nabi saw
memerintahkan kita untuk terus mencari ilmu sampai ke liang lahat, artinya
terus belajar tidak peduli sudah berapapun umur kita, karena memang hidup
adalah perjalanan yang penuh pelajaran.
Dan tema demokrasi ini menjadi judul yang harus saya teliti untuk
memenuhi syarat kelulusan Strata Satu waktu tahun 2015. Saya ingin menggeluti
lebih dalam apa itu Demokrasi dengan mengambil salah satu tokoh pembaharu dalam
Islam yaitu Muhammad Abduh. ‘Demokrasi menurut Perspektif Muhammad Abduh’.
Sedikit tentang Muhammad Abduh, beliau adalah Mufassir, Mujaddid, Mujahid.
Melalui muridnya beliau tumpahkan ilmunya, hingga terbitlah Tafsir al-Manar.
Muhammad Abduh telah melakukan pembaharuannya melalui jalur pendidikan, berbeda
dengan gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani yang melakukan pembaharuannya
melalui jalur politik.
Setelah saya menggeluti lebih dalam apa itu Demokrasi, ternyata
tidak ada nilai-nilai yang salah dalam Demokrasi, bahkan nilai-nilainya sesuai
dengan apa yang Islam ajarkan. Lantas mengapa mereka menganggap bahwa demokrasi
itu kafir hanya karena ia berasal dari Barat, bahkan mereka sering menyalahkan
sistem demokrasi, saat hukum di Indonesia tidak ada keadilan dan kejujuran,
padahal demokrasi menekankan kedua nilai itu. penerapan sistem Demokrasi di
setiap negara tentu berbeda-beda, Demokrasi di Amerika berbeda dengan penerapan
sistem Demokrasi di Indonesia. Jika di Amerika HAM dijunjung tinggi, kalau di
Indonesia tentu harus dibatasi dengan hukum Tuhan, hukum Tuhan tentu tidak
perlu dimusyawarahkan lagi tapi haruslah dijalankan.
Saya akui kebobrokan moral di Indonesia ini sudah menjadi-jadi,
hukum seperti barang dagangan bisa dibeli oleh siapapun, bahkan hukum bisa
lebih tajam ke bawah dan tumpul di atas. Padahal dalam Islam dan Demokrasi
mengajarkan keadilan itu harus diterapkan dengan sebaik-baiknya, tapi lagi dan
lagi keadilan tinggal nama. Jadi bukan sistemnya yang harus dirubah sampai
berdalih bahwa sistem kita sekarang adalah kafir, tapi justru orang-orangnya
yang perlu di restart ulang.
Apakah ada hal yang bertentangan dengan Islam terkait lima nilai
yang terangkum dalam pancasila? Tentu tidak ada. sistem di Indonesia ini hanya
namanya saja yang beda, tapi nilainya tetap sama yaitu mengajak kepada
kebaikan.
Demokrasi yang merupakan nilai terbesarnya adalah musyawarah
dijelaskan oleh Muhammad Abduh yang saya kutip dalam tafsirnya al-Manar
, terkait ayat tentang musyawarah dalam Al-Qur’an, menurutnya urusan yang
perlu dimusyawarahkan itu bersifat umum, bisa politik, peperangan, perdamaian,
rasa takut, keamanan dan lain-lain, yang berkaitan dengan kemaslahatan urusan
duniawi mereka. Karena dalam musyawarah
itu terdapat manfaat bagi pemerintahan. Urusan yang diputuskan dengan
musyawarah ini adalah segala urusan duniawi yang biasanya diajukan kepada
hakim, bukan urusan agama yang sumbernya murni berdasarkan wahyu dan bukan
berdasarkan pada pendapat manusia. Karena jika masalah agama seperti aqidah,
ibadah, dan masalah halal haram ditetapkan berdasarkan musyawarah, niscaya
agama menjadi bersumber pada produk manusia, sedangkan agama Islam itu
bersumber dari ketetapan illahi dan tak
seorangpun campur tangan mengenai ketetapan illahi, tidak pada masa rasul dan
tidak pula pada masa sesudahnya.
Semoga pentas Demokrasi ke depan semakin sehat dan beradab, tidak
ada lagi jual beli Hukum, karena dirasa cukup jual beli itu hanya terjadi dalam
dunia perdagangan bukan perpolitikkan. Tidak ada lagi dusta antara presiden
dengan rakyatnya, kita masarakat Indonesia menginginkan sistem pemerintahan
yang terbuka, jangan sampai kita kebingungan kenapa cangkul saja harus impor dari
luar, kenapa banyak tenaga kerja asing yang mudah sekali masuk ke indonesia
bahkan gajinya lebih besar dari tenaga kerja Indonesia itu sendiri. Jangan lagi
ada kebingungan para ibu-ibu kenapa semua bahan-bahan yang berhubungan dengan
dapur jadi melonjak tinggi dan jangan ada lagi drama tabrak menabarak sampai
tiang listrikpun di tabrak, sungguh kasian tiang listrik. Kita gerah dengan
melemahnya hukum di Indonesia yang selalu tumpul di atas, seharusnya kita bisa
belajar dari Umar ra yang mencabuk anak kandungnya sendiri sampai meninggal
karena ia berzina, padahal ketika itu posisi umar adalah seorang Khilafah besar
yang mampu menaklukan negara-negara besar.
Kita butuh keadilan dan kejujuran dan mari kita sama-sama
masyarakat Indonesia berlomba-lomba dalam kebaikan, insya Allah masyarakat yang
baik akan melahirkan pemimpin yang baik. Lima sila saja diterapkan dengan
sebaik mungkin dalam kehidupan kita, insya Allah Indonesia akan melahirkan
manusia-manusia yang akan membuat peradaban besar. Aaamiinn
Itulah sekelumit kisah saya dalam mengenal demokrasi, saya tekankan
di sini bahwa bukan berarti saya paling benar dengan semua argumen saya. Semua orang
bebas beropini dan berpendapat, karena kita hidup di negara demokrasi. Mereka yang
pro tidak salah dan yang kontra pun tidak salah, yang salah itu rakyat yang
hanya mengkritik tapi tidak bergerak untuk membuat perubahan. Semoga Indonesia
ke depan mampu menjadi negeri yang Baldatun Thoyyibah dan dipegang oleh
pemimpin yang Amanah dan Istiqomah dalam menyebarkan manfaat bukan mudharat.