Minggu, 15 Februari 2015

Tafsir Madzhab Hanabilah (Makalah Fitriyah & Wahdah Farhati)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur`an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur`an. al-Qur`an sebagai kitab yang universal dapat di fahami oleh berbagai kalangan, maka tak heran jika pada masanya dulu banyak ulama-ulama atau cendikiawan muslim yang menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan latar belakang keilmuannya masing-masing, sehingga menimbulkan beragam penafsiran dengan ayat yang sama. Ahli bahasa dapat menafsirkan al-Qur`an di lihat dari sisi bahasa al-Qur`an, ahli hadits menafsirkan al-Qur`an dengan hadits-hadits nabai, ahli qiroat menafsirkan al-Qur`an dengan qiroat-qiroat yang ada dan ahli fikih menafsirkan ayat al-Qur`an dengan pendekatan fikih atau lebih terfokus pada ayat-ayat hukum.  Sebagaimana ulama fikih terkemuka yaitu imam ahmad bin hanbal, beliau adalah salah satu ulama yang pandai dalam bidang fikih dan hadits, menafsirkan al-qur`an dengan pemahaman fikih yang dia fahami.

B.     Rumusan masalah
1.      Siapakah  imam Hanbali?
2.      Bagaimana latar belakang kehidupan dan keilmuan imam Hanbali?
3.      Apa saja karya-karya imam hambali?
4.      Bagaimana mazhab Hanbali dan penyebarannya?
5.      Bagaimana tafsir imam Hanbali terhadap ayat al-qur`an ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi
Imam Ahmad Hanbali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbali bin Hilal Al-Syaibani al-marwazi. Beliau dilahirkan di marwa pada bulan Rabiul awal tahun 164 H (780 M). Imam Ahmad bin Hanbal keturunan nizar. Jadi masih seketurunan dengan rasulullah saw. Ayahnya berasal dari marwin, negri khurasan (parsi) yang meninggal duniaketika imam ahmad masih kecil. Jadi imam ahmad tumbuh dewasa sebagai anak yatim yang hanya diasuh oleh ibunya saja, ketika imam ahmad masih kecil (masih menyusu), ia di bawa oleh ibunya ke kota Bagdad dan di besarkan di kota itu.[1]
Sejak kecil beliau telah menunjukan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik perhatian banyak orang. Dan sejak kecil pula beliau telah menunjukan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Bagdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal al-Qur`an, kemudian belajar bahasa arab, hadits, sejarah nabi dan sejarah para sahabat serta tabiin.[2]
Imam Ahmad bin hambal sangat perhatian untuk mencari ilmu. Perjalanan beliau untuk mencari ilmu sangat jauh sekali dan untuk menghasilkan ilmu itu beliau menghabisakan waktu yang sangat lama. Beliau tidak disibukan mencari keuntungan dan pasangan sebelum cita-cita yang diinginkan tercapai. Belaiu tidak mau menikah sebelum berusia 40 tahun karena kesungguhannya, semua yang dicita-citakan tercapai. Ilmu dunia seakan-akan ada di keduamatanya. Beliau telah mengumplakan ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang seusianya dari semua elemen. Beliau akan berkata sesuai dengan keinginanya dan akan diam terhadap apa yang tidak dikehendaki.[3]
Untuk memperdalam ilmu beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali, disana belaiau bertemu dengan imam syafi’I. beliau juga pergi menuntu ilmu ke yaman dan mesir. Diantara guru belaiu yang lain adalah Yusuf Al-Hasan Bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad Ibn Hambal bayak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak mengambil hadits kecuali hadits-hadits yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya belai berhasil mengarang kitab hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambal. Beliau mulai mengajar ketika berusia empat tuhan.[4]
Imam Ahmad bin Hambal berkeluarga pada usia 40 tahun. Istri pertama beliau adalah Aisyah binti Fadhal ibu Shaleh dari arab. Selama berkelaurga dengan Aisyah, beliau tidak mempunya anak kecuali Shaleh, setelah itu istrinya wafat.
Al-Miruzi berkata: “aku mendengar ayah Abdullah bin hambal berkata: aku hidup bersama ibu Shaleh selama 3 tahun dan aku tidak pernah berbeda pendapat dalam satu katapun”.
Istri kedua imam Ahmad bin Hambal adalah Roihanah, ibu Abdullah.
Zuhair berkata: “tatkala Aisyah ibu Shaleh wafat, maka kakekku Ahmad bin Hanbal beristri perempuan arab. Dikatakan istrinya bernama Roihanah. Dari istri inilah beliau melahirkan pamanku Abdullah”.[5]
Pada masa pemerintahan al-Muktasim (khalifah Abasiyah) belaiau sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa al-Qur`an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa al-Mutawakkil.[6]
Imam Ahmad bin Hanbal wafat di Bagdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa khalifah al-Wathiq. Sepeninggalan beliau, mazhab Hanbali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.[7]
B.     Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali ini dinisbahkan kepada imam Ahmad bin Hanbal. Merupakan mazhab ke empat yang dipakai ahli sunnah yang keempat. Dan pertama kali mazhab ini tersebar di Bagdad kemudian tersebar di negri Syam, tetapi sekarang lemah.
Dan sampai sekarang penjuru negri Syam bagian selatan dan utara serta sebagian desa masih bermazhab Hanbali dan tidak ada persaingan mazhab disana. Mazhab Hanbali ini di kenal di Mesir pada abad ke 7 hijriyah dan tersebar di Irah pada abad ke 4, orang yang pertama kali menyebarkan mazhab hamabli di Mesir adalah al-Hafidz Abdul Ghani al-Muqaddasi. Sebagaimana yang di sebutkan dalam risalah al-Marhum Ahmad Basya Timur. Mazhab Hanbali ini tidak mendominasi di seluruh penjuru negara-negara islam kecuali di Negara Najd sekarang.
Orang-orang mengikuti mazhab ini dan sebagian mereka mengatakan dalam masalah sedikitnya pengikut mazhab Hanbali “bahwa setiap yang sedikit di dunia ini adalah kecil, maka aku berkata pada mereka: sebentar dulu, kamu punya anggapan yang salah. Apakah kamu tidak tau bahwa orang yang mulai itu sedikit.[8]
C.     Daerah pengaruh Madzhab Hanbali
Menurut suatu sumber, Madzhab ini tidak begitu banyak penganutnya dan tidak sebesar Madzhab-madzhab lainnya. Daerah pengaruhnyapun tidak begitu luas, yaitu Syiria, Mesir, Iraq dan Hijaz.[9]
Madzhab Hanbali sangat jauh dari Ijtihad dan lebih menggantungkan kepada pendapat dari hadis. Hal inilah mungkin yang menyebabkan tidak banyak pengikutnya, dibandingkan dengan Madzhab-madzhab lainnya.[10]
D.    Dasar-dasar pokok pegangan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
Adapun dasar-dasar pokok pegangan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal atau Madzhab Hanbali adalah:
1.      Nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Apabila mendapat suatu nash dari al-Kitab atau dari Sunnah Rasulullah saw, beliau akan menetapkan hukum dengannya, walaupun ada keterangan atau fatwa sahabat Nabi menyalahi nash tersebut.
2.      Fatwa Shahiba yang disetujui oleh semua sahabat, jika fatwa tersebut disetujui semua sahabat, fatwa tersebut dinamakan fatwa sahabat Mujtami’in.
3.      Fatwa sahabat yang masih dalam perselisihan, apabila tidak mendapati fatwa sahabat Mujatmi’in, beliau akan mengambil fatwa-fatwa sahabat yang diperselisihkan atau disebut fatwa sahabat Mukhtalifi.
4.      Hadis Mursal dan Hadis Dha’if. Ini sebenarnya masuk ke dalam dasar pertama, hanya saja untuk memberi pengertian bahwa hadis mursal dan hadis dha’if didahulukan dari Qiyas.
5.      Al-Qiyas. Imam Ahmad walaupun tergolong Imam yang menggunakan Qiyas, beliau tidak banyak menggunakannya. Beliau hanya menggunakan Qiyas pada saat darurat  dan tidak ada dalil-dalil lain. Dalam hal ini, Imam Ahmad mengikuti gurunya yaitu Imam asy-Syafi’i.
Diterangkan bahwa Imam Ahmad berkata: “saya bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang Qiyas, beliau menjawab, “hanya memegang Qiyas ketika darurat”.
Oleh karena itu Imam Ahmad tidak menggunakan Qiyas selama ada hadis atau fatwa sahabat, baik yang Mujtami’in maupun yang Mukhtalifi. Beliau lebih suka menggunakan hadis Dha’if daripada menjalankan Qiyas.[11]
E.     Karya-karya Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menghabiskan sebagian besar umurnya untuk menuntut Ilmu, Khususnya Hadis. Karena itu beliau meninggalkan warisan sangat berharga berupa buku-buku yang lebih banyak berkaitan dengan hadis daripada Ilmu-ilmu agama lainnya, hingga buku-buku yang namanya tidak menunjukkan sebagai buku hadis sekalipun materinya lebih banyak bersumber dari hadis.
Buku-buku yang disebutkan dalam Thabaqat al-Hanabilah sebagai karya  Imam Ahmad bin Hanbal antara lain: Musnad, at-Tafsir, Nasikh wa al-Mansukh, Hadits Syu’bah, al-Muqaddam wa al-Mu’akhkhar fi Kitabillah, Jawabat al-Qur’an, al-Manasik al-Kabir, al-Manasik ash-Shaghir.
Sementara buku-buku karya Imam Ahmad bin Hanbal yang telah dicetak antara lain: Musnad, Kitab ash-Shalat yang merupakan buku kecil, Kitab ash-Sunnah, Kitab al-Wara’i, Kitab az-Zuhdi, Kitab Masail al-Imam Ahmad yang dihimpun oleh Abu Daud Sajastani, lalu didistribusikan oleh syaikh Rasyid Ridha dan ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa az-Zanadiqah.[12]
F.      Komentar para Ulama terhadap Ahmad bin Hanbal
Pujian datang kepada Ahmad bin Hanbal dari kalangan Fuqaha, para Ulama, sehingga cukup menjadi saksi bahwa keimanan Ahmad bin Hanbal tidak diragukan lagi. Diantara pujian itu adalah:
1.      Ahmad bin Harbi berkata : “Ahmad bin Hanbal laksana seorang yang dianugerahii Allah swt Ilmu generasi pertama dari berbagai bidang”.
2.      Abu ‘Ubaid pernah berkata, “ilmu agama seakan sudah berhenti kepada empat orang, dan (salah satunya) Ahmad bin Hanbal sebagai orang yang paling pintar dalam urusan Fiqih”.
3.      Abu Tsur berkata, “jika ada seorang laki-laki berkata bahwa Ahmad in Hanbal adalah ahli surga, maka aku tidak mencercanya”.
4.      Abu Hatim berkata, “ jika kamu melihat seorang yang mencintai dia, maka saksikanlah dia adalah pecinta Sunnah”.
5.      Berkata Abu Daud as-Sajastani, “aku pernah menemui dua ratus syaikh dari berbagai Ilmu, maka aku tidak pernah melihat yang seperi Ahmad bin Hanbal, dia tidak pernah berbaur dalam satu urusan di mana Manusia membahasnya dalam urusan duniawi, jika ada yang membahas keilmuan barulah dia ikut bicara”.
6.      Diceritakan oleh Abdul Wahab al-Warraq, “tidak pernah aku melihat sosok seperti Ahamad bin Hanbal. Seorang laki-laki yang ketika ditanya tentang enam puluh ribu masalah, kemudian menjawabnya dengan: ‘diriwayatkan dan diceritakkan’ ‘’.[13]
7.      Imam Syafi’i: “ketika saya meninggalkan Baghdad, diantara teman-teman tidak ada yang lebih takwa, lebih suci, lebih alim dan lebih mengerti dari Imam Ahmad bin Hanbal”.
8.      Ali bin Mudainy: “ tuhan telah meninggikan derajat agama kita ini, karena jasanya dua orang besar, tidak ada yang ketiganya lagi, yaitu : Abu Bakar ash-Shiddiq memberantas pemberontakan kaum Riddah yang menyeleweng dari agama dan kedua adalah Imam Ahmad bin Hanbal ketika menghadapi ujian berat, dalam mempertahankan pendapatnya bahwa al-Qur’an itu Qaul Qadim bukan baru”.[14]
G.    Pengutip Fikih Ahmad Bin Hanbal
Imam ahmad bin hanbal mempunyai banyak sahabat, diantara mereka ada yang hanya meriwayatkan hadits saja, ada yang meriwayatkan hadits dan fikih dan ada yang meriwayatkan fikih saja. Adapun yang mengumpulkan fatwa atau ilmu-ilmu pengutip fikih ahmad ialah abu bakar al-khallal.
Sahabat imam ahmad yang berjasa dalam mengembangkan ilmu beliau, antara lain:
1.      Shaleh bin ahmad bin hanbal, putra imam Hanbali yang tertua. Ia adalah seorang ulama yang mengikuti jejak ayahnya. Shaleh menerima hadits dan fikih dari ayahnya dan dari ulama-ulama yang lain. Dialah yang mengutip masalah-masalah fikih yang difatwakan oleh imam ahmad bin hanbal. Shaleh wafat pada tahun 226 H.
2.      Abdullah bin ahmad bin hanbal (231-290 H) . Imam ahmad bin hanbal mendidik adbullah (putranya) dengan penuh perhatian dan mengarahkannya pada ulumul hadits. Dia sering mengadakan mudzakar dengan ayahnya. Kalau saudaranya, shaleh mengutip fikih ayahnya dalam masalah-masalahnya, Abdullah mengembangkan hadits yang diriwayatkan ayahnya. Dialah yang meriwayatkan al-musnad dan menyempurnakan.
3.      Ahmad bin Muhammad bin hajjaj abu bakar bin al-marwazi, merupakan sahabat imam ahmad yang paling dekat. Dilah yang meriwayatkan kitab al-wara dari imam ahmad. Ahmad sangat mempercayainya. Dialah yang meriwayatkan banyak masalah dari imam ahmad yang kemudian di sebarkan oleh abu bakar al-khallal.
4.      Harb bin ismail al-handhali al-kirmani. Dia telah mengembangkan masalah-masalah imam ahmad sebelum berjumpa dengan beliau. Darinyalah abu bakar al-khallal mengutip fikih imam ahmad. Wafat pad tahun 280 H.
5.      Ibrahim bi  ishaq al-harbi. Dia adalah seorang ahli fikih, amat pandai dalam bidang hukum, penghafal hadits dan amat dalam ilmunya dalam bidang lughah. Dia mempunya banyak karangan, daintaranya gharibul hadits, dala ilun nubuwah, dan lain-lain. Selam 20 tahun dia menyertai imam ahmad bin hanbal, mengambil hadits dan fikih dari beliau, bahkan meneladani ahmad dalam bidangg zuhud dan wara`. Dailah yang mengutip dan mengidentifikasi fikih Hanbali dan hadits-haditsnya pada masyarakat luas. Wafat pada tahun 285 H.
Semua fikih imam ahmad bin hanbal yang dikembangkan oleh para tokoh diatas, dikumpulkan oleh abu bakar al-khallal. Dia adalah pengumpul fikih Hanbali dari pengutipnya. Dia telah berusaha menjumpai putra-putra ahmad, harb al-kirmadi dan lain-lain.[15]
H.    Contoh penafisran Ahmad bin Hanbal

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci” (QS al-Maidah: 6)
Imam Hanbali memahami arti sha’id itu hanya tanah saja. Dari itu tidak boleh bertayamum dengan pasir dan batu.[16


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


Imam Ahmad Hanbali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbali bin Hilal Al-Syaibani al-marwazi. Beliau dilahirkan di marwa pada bulan Rabiul awal tahun 164 H (780 M).
Mazhab Hanbali ini dinisbahkan kepada imam Ahmad bin Hanbal. Merupakan mazhab ke empat yang dipakai ahli sunnah yang keempat. Dan pertama kali mazhab ini tersebar di Bagdad kemudian tersebar di negri Syam, tetapi sekarang lemah.
Dasar-dasar pokok pegangan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal:
1.      Nash al-Qur’an dan as-Sunnah
2.      Fatwa Shahiba yang disetujui oleh semua sahabat
3.      Fatwa sahabat yang masih dalam perselisihan
4.      Hadis Mursal dan Hadis Dha’if.
5.      Al-Qiyas.


DAFTAR PUSTAKA
Kauma Fuad, perjalanan spiritual empat imam mazhab (Jakarta; kalam mulia 1999)
Mughniyah Muhammad jawad, fiqih lima mazhab (Jakarta; penerbit lentera 2006)
Fikri Ali, kisah-kisah para imam mazhab (yogjakarta: mitra pustaka 2003)
Ramadhan al-Buuthi Muhammad Said, Bahaya Bebas Madzhab (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001)
M Hanafi Muchlis, Imam Ahmad, (Tangerang: Lentera Hati, 2013)




[1] Fuad kauma, perjalanan spiritual empat imam mazhab (Jakarta; kalam mulia 1999) h. 59
[2] Muhammad jawad mughniyah, fiqih lima mazhab (Jakarta; penerbit lentera 2006) c. 16, H.31
[3]Ali fikri, kisah-kisah para imam mazhab (yogjakarta: mitra pustaka 2003) H.139
[4] Muhammad jawad mughniyah, fiqih lima mazhab , H. 32
[5] Ali fikri, kisah-kisah para imam mazhab , H.178
[6] Muhammad jawad mughniyah, fiqih lima mazhab , c. 16, H.31
[7] Muhammad jawad mughniyah, fiqih lima mazhab , H. 32
[8] Ali fikri, kisah-kisah para imam mazhab c. 1, h. 180-181
[9]Fuad Kauma, Perjalanan Spritual Empat Imam Madzhab, hlm 75
[10]Fuad Kauma, Perjalanan Spritual Empat Imam Madzhab, hlm 77
[11] Muhammad Said Ramadhan al-Buuthi, Bahaya Bebas Madzhab (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) cet  I, hlm 304
[12]Muchlis M Hanafi, Imam Ahmad, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) cet I, hlm 162-164
[13] Muchlis M Hanafi, Imam Ahmad, hlm 223-224
[14]Fuad Kauma, Perjalanan Spritual Empat Imam Madzhab (Jakarta: Kalam Mulia, 1999) cet I, hlm 69
[15] Muhammad Said Ramadhan al-Buuthi, Bahaya Bebas Madzhab, h 311-312
[16] Muhammad jawad mughniyah, fiqih lima mazhab , H 62

Kitab Kajian Hadis di Indonesia (Makalah Fitriyah & Syiar Ni'mah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an menjadi penting untuk dikaji dan dipelajari secara intensif oleh umat Islam, khususnya para muslim yang bermukin di Indonesia. Pengkajian hadis ini dirasa perlu mengingat Indonesia bukanlah bangsa yang faham bahasa hadis yaitu bahasa Arab. Tak hanya itu yang mendasari perlunya pengkajian ini, tapi agar hadis yang beredar tidak difahami sebelah mata oleh siapapun, juga agar mereka yang berdalih dengan hadis tidak salah pilih sehingga tidak terjadi ketimpangan hukum.
Meski indonesia jauh dari pusat dimana hadis ini bertumbuh kembang pada mulanya, jauh dari tempat dimana Rasulullah saw sebagai sandaran utama hadis ini berada. Tapi kita wajib bersyukur karena kita memiliki banyak ulama yang memberikan pengabdiannya dalam bidang hadis, sebutlah misalnya Kiai besar Imam Nawawi Al-Bantani, Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Mahfudz Al-Tirmasi dan banyak lagi para Kiai besar hadis yang kemudian muncul pada abad modern.
Melihat peluang besar yang dimiliki Indonesia dengan beberapa karya dalam bidang hadis yang dilahirkan dari tangan-tangan para ulama. Saat ini beberapa karya para ulama ini dikaji di berbagai tempat, khususnya pada lembaga-lembaga Islam termasuk di dalamnya pesantren yang memang berpotensi lebih untuk pengkajian ini. selanjutnya di dalam makalah ini sedikit akan kami paparkan mengenai kitab-kitab kajian hadis di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Ø  Kitab kajian hadis apa sajakah yang dihasilkan oleh ulama Indonesia?

C.    Tujuan Masalah
Ø  Mampu mengetahui kitab-kitab hadis karya ulama Indonesia





BAB II
PEMBAHASAN
            Dalam tinjauan sejarah, kajian hadis di Indonesia telah dimulai sejak abad ke 17 dengan ditulisnya beberapa kitab Hadis oleh ulama-ulama Indonesia antara lain oleh Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-Sinkili, Mahfudz al-Tirmasi, Hasyim Asy’ari dan akhirnya diikuti oleh para ulama dan tokoh intelektual muslim setelahnya.[1]
            Ulama hadis Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan zaman para Ulama hadis ini hidup, yaitu Ulama hadis klasik dan modern. Adapun  kitab-kitab kajian hadis di Indonesia pada masa klasik antara lain adalah:
1.      Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib
Kitab ini ditulis oleh Nuruddin al-Raniri seorang ulama aceh keturunan Arab Quraisy Hadramaut.  Dalam karyanya ini ia menginterpretasikan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur’an untuk mendukung argumen yang melekat pada hadis tersebut. Kitab ini adalah kitab yang membicarakan mengenai hadis untuk pertama kalinya dalam bahasa Melayu. karenanya Karya ini merupakan rintisan dalam bidang hadis di nusantara yang menunjukan pentingnya hadis dalam kehidupan kaum muslimin. [2]
2.      Syarah Hadis Arba’in dan al-Mawa’izh al-Badi’ah
Kedua kitab ini adalah karya Abdul Rauf al-Singkili dalam bidang hadis. Kitab penafsiran mengenai kitab Hadis Arba’in ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat al-Din. Isi kitab ini adalah koleksi hadis-hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslimin secara umum, bukan pembelajaran yang mendalam. Sedangkan al-Mawa’izh al Badi’ah adalah koleksi hadis qudsi yang dimaksudkan untuk mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungannya dengan ciptaan-Nya, neraka, surga, dan cara-cara mendapatkan ridha Tuhan. Al-Mawa’izh al-Badi’ah diterbitkan di Makkah tahun 1310-1892. Dikemudian hari karya itu diterbitkan juga di Penang pada tahun 1369-1949, yang berarti masih digunakan di sebagian kaum muslim di nusantara.[3]
3.      Manhaju Dzawin Nadzhar
Kitab ini adalah karya kiai Mahfuzh Termas (w. 1919-1920). Nama lengkapnya Muhammad Mahfudz bin Abdullah Al-Tarmasi. Populer disebut Syekh Mahfudz Termas. Dialah ulama Jawa paling berpengaruh pada zamannya. Syaikh Muhammad Mahfudz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai beliau wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M. Mahfudz amat berjasa dalam memperluas cakupan ilmu-ilmu yang dipelajari di pesantren-pesantren di Jawa, termasuk hadis. Kitab ini diselesaikan pada tahun 1329 H/1911 M. Kandungannya membicarakan Ilmu Mushthalah Hadits yang merupakan Syarh Manzhumah `Ilmil Atsar karangan Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Kitab ini merupakan bukti bahwa ulama nusantara mampu menulis ilmu hadis yang demikian tinggi nilainya. Kitab ini menjadi rujukan para ulama di belahan dunia terutama ulama-ulama hadis. Dicetak oleh Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, Mesir, 1352 H/1934 M. Cetakannya dibiayai oleh Syeikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhihi Ahmad, pemilik Al-Maktabah An-Nabhaniyah Al-Kubra, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.[4]
4.       Hadis Arba’in, al-Risalah al-Jami’ah, al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin
Kitab-kitab hadis ini adalah karya Kiai Hasyim Asy’ari. seorang Kiai dari Jawa yang kemudian menjadi seorang pendiri Nahdlatul ‘Ulama di tanah air. Salah satu organisasi Muslim terbesar dalam bingkai Ahlussunah waljamaah. Membawa tradisi mengajar hadis Shahih Bukhari di indonesia, sehingga pesantrennya Tebu Ireng di Jombang menjadi pondok hadis terkenal di Jawa.[5]

5.      Tanqih al-Qaul (al-Hadis fi Syarah Lubab al-Hadis)
Adalah karya Imam Nawawi al-Bantani yang membahas empat puluh hadis tentang perilaku utama ini merupakan ulasan terhadap karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi.[6]
6.      Arba’una Haditsan min Arba’ina Kitaban ‘an Arba’ina Syaikhan (Al Arba’ina Haditsan)
Karya Muhammad Yasin Al-Fadani, Nama lengkap Beliau adalah Abu al-Faid Muhammad Yasin Bin Isa al-Fadani (1335H/1916 M-1420 H/1990 M) ,dilahirkan di daerah Padang Indonesia dan wafat di Makkah pada hari Kamis malam Jumat. Beliau  ramai dikunjungi oleh penuntut dari dalam dan luar Mekkah, untuk mendengar kuliah hadis yang disampaikan oleh Syeikh Yasin serta memperoleh sanad hadis yang istimewa. Penuntut-penuntut dari Malaysia juga tidak ketinggalan untuk turut bersaing dalam halaqah. [7]
Muhammad Yasin menyusun empat buah kitab Arba’un. Yang  diberi judul al-Arba’una Haditsan Min Arba’ina Kitaban ‘An Arba’ina Syaikhan yang diselesaikanya pada tahun 1363 H. Kedua, al-Arba’una Kitaban Min Kutub al-Hadits, yang merupakan bagian dari kitab al-Wafi Banzil Tidzkar al-Mashafi, yang diselesaikan pada tahun 1364 h. Ketiga dan keempat diberi judul sama yaitu al-Arba’una Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan min Arba’ina Baladan, yang keduanya diselesaikan pada tahun 1364 H. Kitab al-Arba’una Haditsan pertama kali dicetak oleh Mathba’ah Ath-Thahiriyah Jakarta pada tahun 1403/1983 dan mengalami cetak ulang oleh Dar al-Basya’ir al-Islamiyah Beirut Lebanon pada tahun 1407/1987.           Kitab ini ditulis untuk mengamalkan hadis nabi  saw tentang keutamaan orang yang menjaga 40 hadis. Selain itu juga untuk mengikuti para imam dan ulama sebelumnya yang telah menulis kitab Arba’un. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Yasin bahwa orang yang menyerupai suatu kelompok kaum, maka ia akan menjadi bagian dari mereka, maka berserupalah dengan mereka jika tidak bisa seperti mereka, karena berserupa dengan orang-orang yang mulia itu keberuntungan.

Motivasi Syekh Yasin dalam menulis kitab ini adalah keinginannya untuk menegaskan reputasinya di kalangan ulama abad XX sebagai ulama yang mempunyai pengetahuan hadis yang cukup luas, karena penguasaan terhadap empat puluh kitab koleksi hadis bukanlah perkara yang mudah.
Adapun sistematika penulisan dalam kitab ini adalah pemilihan bab tidak berdasarkan pada matan hadis tidak pula pada abjad, melainkan berdasar kepada sanad hadis dan terbagi menjadi 40 bab hadis. Beliau juga mencantumkan takhrij pada hadis-hadis yang ada. Adapun materi hadis tidak dapat ditemukan dengan melihat bab-bab  hadis, melainkan harus dicari satu persatu dari hadis-hadis tersebut. Apalagi kitab ini tidak dilengkapi dengan daftar isi matan hadis, maupun indeks. Oleh karena itu kita tidak akan menjumpai materi atas subjek dari matan hadis pada judul bab, akan tetapi kita harus membaca matan hadis satu persatu.[8]
Adapun kitab-kitab kajian hadis di Indonesia pada masa modern antara lain adalah:
1.      Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Local
Buku ini adalah karya Prof. Dr .H.M. Muhammad Syuhudi Ismail. Beliau dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur,  pada tanggal 23 April 1943. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang Hadis dan Ulumul Hadis. Karya Beliau ini merupakan salah satu pemikirannya tentang metode pemahaman terhadap matan hadis. Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal, temporal dan local. Adanya pemahaman hadis yang tekstual dan kontekstual menurut M. Syuhudi memungkinkan suatu hadis yang sanadnya sahih atau hasan tidak dapat serta merta matannya dinyatakan daif atau palsu hanya karena teks hadis tersebut tampak bertentangan. Metode yang ditawarkan oleh M. Syuhudi ini cukup berperan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dengan memanfaatkan teori berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, psikologi, bahasa, dan sejarah.[9]
M. Syuhudi Ismail lebih fokus untuk mendalami hadis secara umum.  Konsentrasi Beliau dalam bidang hadis boleh dikata otodidak, karena pada awalnya beliau hanya memenuhi tugas akademik, baik ulum al-Hadis maupun matan hadis sendiri.
Beberapa karya Beliau adalah Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Hadis Nabi menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya, dan Ikhtisar Mushthalah Hadits.[10]
2.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
Karya Prof. Dr. Tubagus Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy. Beliau lahir di Lhouksemawe, Aceh, pada tanggal 10 maret 1904. Karya Beliau ini berisi 179 pembahasan yang dibagi 6 bagian, menjelaskan tentang banyak sejarah perkembangan hadis dan juga buku ilmu dirayah yang menjelaskan istilah-istilah ulumul hadis. Selain menulis karya dalam bidang hadis, Beliau pun telah mengarang buku dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari tafsir, fiqhi dan ushul.   
Adapun kelebihan karya beliau adalah dalam setiap persoalan yang dibahas, selalu ada contoh-contoh yang cukup jelas sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami pembahasan tersebut.[11]
3.      Ilmu Mushthalah al-Hadis
Buku ini adalah karya Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, dilahirkan di Sungayan Batusangkar, Sumatera Barat, pada tanggal 10 februari 1899. Karya Beliau ini merupakan karyanya yang ditulis menggunakan bahasa Arab. Di dalam buku ini, Beliau membuat sistematika pembahasan ulumul hadis dengan 69 pembahasan. Tiga pembahasan pertama menjelaskan pembagian hadis dan kedudukan sunnah dalam Al-Qur’an, pembahasan ke 4-9 tentang sejarah periwayatan dan pembukuan sunnah, pembahasan ke 10 tentang al- jarh wa al- ta’dil, ke 11 tentang sifat hadis yang di terima dan ditolak dan pembahasan ke 15-69 tentang istilah-istilah khusus yang berkaitan dengan penilaian terhadap hadis, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.
Adapun metode yang digunakan dalam menyusun bukunya adalah memberikan penjelasan singkat seputar mushthalah dengan cara meringkas dari berbagai literatur yang terdahulu. Beliau menjelaskan dengan menggunakan pointer sehingga terkesan sistematis. Penjelasannya mencakup definisi dan keterangan seperlunya terhadap permasalahan yang ada.[12]
4.      Ikhtisar Musthalah al-Hadits
Penulis buku ini adalah Fathur Rahman. Beliau adalah alumnus IAIN Yogyakarta Fakultas Syari’ah, Beliau lebih konsentrasi pada hadis saja. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya mendalami ilmu hadis. Dalam bukunya dia membagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing memiliki pembahasan dalam bentuk bab dan sub bab yang memuat penjelasan sederhana, mudah dipahami serta memberikan contoh-contoh yang jelas dan rinciannya.[13]


BAB III
PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Beberapa karya ulama hadis Indonesia masa klasik, di antaranya ialah:
Ø  Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib
Ø  Syarah Hadis Arba’in dan al-Mawa’izh al-Badi’ah
Ø  Manhaju Dzawin Nadzhar
Ø  Tanqih al-Qaul (al-Hadis fi Syarah Lubab al-Hadis)uh
Ø  Arba’una Haditsan min Arba’ina Kitaban ‘an Arba’ina Syaikhan (Al Arba’ina Haditsan
Adapun karya ulama hadis pada masa modern, antara lain ialah:
Ø  Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Local
Ø  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
Ø  Ilmu Mushthalah al-Hadis
Ø  Ikhtisar Musthalah al-Hadits
Beberapa karya di atas menunjukkan bahwa kemampuan ulama Indonesia tidak kalah dibanding dengan kemampuan ulama-ulama dunia yang lain.





[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban islam indonesia, (Jakarta: rajawali pers, 2010) cet. 1, hlm. 298-299
[3] Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban islam indonesia, hlm. 299-300
[4] Diakses pada tgl 28-12-13 di http://www. As-salafiyah.com/2010/08/syekh-muhammad-mahfudz-at-tarmasi.html
                                                                                                                             
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban islam indonesia, hlm. 300
[6] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz, (jogjakarta: printing cemerlang, 2009), cet. 1, hlm, 60
[7] http://warkopmbahlalar.com/2973/syekh-yasin-isa-al-fadani-ulama-ensiklopedia/
[8] stainpress-11111-mochamadsy-382-2-babi-pdf
[10] Diakses pada tanggal 24-01-13 di http://ushuluddin-farida.blogspot.com/2011/11/ pemikiran-ulumul-hadits-di indonesia.html
[11] Diakses pada tanggal 24-01-13 di http://ushuluddin-farida.blogspot.com/2011/11/ pemikiran-ulumul-hadits-di indonesia.html
[12] Diakses pada tanggal 24-01-13 di http://ushuluddin-farida.blogspot.com/2011/11/ pemikiran-ulumul-hadits-di indonesia.html
[13] Diakses pada tanggal 24-01-13 di http://ushuluddin-farida.blogspot.com/2011/11/ pemikiran-ulumul-hadits-di indonesia.html

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...