Kamis, 14 Februari 2019

Perempuan di Titik Nol by Nawal el Shadawi


Firdaus adalah salah satu tokoh yang diceritakan dalam novel karya seorang Feminis dari Mesir ‘Nawal el Shadawi’.  Dalam buku ini disebutkan bahwa kisah di dalamnya merupakan kisah nyata dari salah satu seorang pelacur yang dihukum mati karena membela kehormatannya. Mungkin aneh mendengar seorang pelacur membela kehormatan, tapi memang itulah faktanya. Seorang pelacur juga manusia yang perlu dimanusiakan dengan cara mengeluarkan ia dari pekerjaannya tersebut. Kita tentu tidak bisa menghakimi seseorang karena pekerjaannya tanpa tau latar belakang apa yang mendorongnya melakukan pekerjaan tersebut. novel ini memang menggambarkan laki-laki itu adalah sosok yang hanya ingin menang sendiri, bahkan ketika membaca ini saya beranggapan bahwa pemikiran agama sebagian lelaki mesir sangat sangat kolot dan primitif, karena selalu mendiskriminasikan perempuan. 
selain dari kisahnya yang menarik, nilai plus dari novel ini adalah ukurannya. ukuran novelnya tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, sehingga sangat nyaman untuk dibaca dimana-mana. Setelah membaca novel ini, saya jadi ingin berpuisi untuk sosok Firdaus.

Engkau ingin terhomat.
Lantas menjual kehormatan untuk mendapat kehormatan.
Perputaran roda yang sangat memilukan,
Ketika uang menjadi tuhan.
Lelaki seperti setan,
Menindas perempuan dengan kutukan dan cacian.
Aku pilu membacanya,
Apalagi merasakannya.
Firdaus aku tak akan menghakimi,
Karena aku dan engkau sama-sama seorang murid di bumi.
Biarkan Tuhan yang mengisi nilai Raportmu,
Dan aku juga menunggu hasil nillai Raportku.
Terimakasih keberanianmu, membuatku menjadi sangat malu.

Selamat membaca Novel Perempuan di titik Nol by Nawal el Shadawi, semoga semakin membuka mata hati, agar kita tak perlu repot-repot menghakimi.




Perceraian Spiritual dan Politik Indonesia


Perceraian selalu menjadi hal yang sangat menyakitkan. Ber-Cerai, ter-Cerai Berai, per-Cerai-an. Kata cerai memang biasa digunakan untuk pasangan suami istri yang memutuskan berpisah dan mengakhiri ikatan rumah tangganya. Itulah mengapa dalam tulisan ini saya menuliskan kata perceraian untuk menggambarkan hubungan Spiritual dan Politik, karena dasarnya spiritual dan Politik sudah sah dan halal menjadi pasangan yang seharusnya tidak boleh bercerai, karena setelah keduanya bercerai, sebagian masyarakat memutuskan untuk membenci dan mencintai salah satunya. Politik dengan perasaan benci dan spiritual dengan perasaan suci, sehingga kebencian dan kesucian ini harus dipisahkan.
Setelah bercerai, politik membuahkan hasil yang kurang mengenakkan, karena hasil itu akhirnya bermunculan macam-macam tanggapan dari kalangan masyarakat. Bahkan ada yang ingin memisahkan politik dengan  agama, atau politik bukan merupakan bagian dari  agama dan bahkan ada yang mengartikan bahwa politik adalah menghancurkan sesamanya, artinya politik hanyalah sebuah perputaran roda kekuasaan yang di perebutkan dengan cara mengorbankan orang lain. Memang pentas politik di berbagai negara sangatlah berbeda-beda, tergantung dari bagaimana budaya dan sosial masyarakat di negara tersebut. Kalau kita melihat sejarah atau kondisi politik-politik di negara-negara lain, seharusnya kita bisa belajar dan mencari akar masalah yang dihadapi politik dunia saat ini sehingga menyebabkan hasil buah-buahan yang sangat menyeramkan untuk dinikmati.
Karena buah-buahan yang dihasilkan politik itulah, pemahaman sekuler dirasa sangat menyerap pada setiap paradigma masyarakat. Bahkan dewasa ini  sebagian dari mereka cenderung memilih diam ketika melihat kehancuran politik yang sedang terjadi atau bahkan ada yang memilih mengkritik dan mengkirtik tanpa pernah ada kesadaran untuk bergerak melakukan perubahan, bagaimana agar politik itu kembali menjadi bersih seperti ketika dirinya masih berpasangan dengan spiritual.  pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyiddin, spiritual dan politik menjadi pasangan yang sangat romantis dan susah untuk dipisahkan. Perjalanan spiritual politik pada masa rasul saw dan sahabat seharusnya menjadi pelajaran dan tuntunan untuk kehidupan rumah tangga spiritual dan politik saat ini. Tapi faktanya di negara kita lebih banyak yang berbondong-bondong dan berlomba-lomba agar menjadi bagian dari sejarah, daripada belajar dari sejarah tersebut.
Jika berbicara negara Indonesia, seharusnya Indonesia menjadi negara yang paling bersih dan sehat politiknya, karena Indonesia mempunyai dasar sila  pertama yaitu ‘Ketuhanan yang maha Esa’, itu artinya di Indonesia ini tidak memperbolehkan masyarakatnya menganut paham Atheisme (Tidak mengakui Tuhan). Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk umat Islam terbesar di dunia dan Islam sangat merestui hubungan Spiritual dan Politik. Karena  Islam bukan hanya agama Akhirat, tapi agama dunia. Islam bisa dikatakan lebih memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi dibandingkan dengan agama lain.
Kondisi Politik setelah bercerai dengan spiritual memang seperti mayat hidup, berjalan tapi jiwanya mati, ruh-nya hilang dan berkeliaran tidak tentu arah, tidak tentu tujuan dan akhirnya politik berjalan sendiri dikuasai oleh jiwa-jiwa yang haus akan kekuasaan dan menghendaki kerusakan. Menjadi tugas kita bersama mengembalikan Spiritual itu ke dalam badannya dan membuat spiritual kembali berjalan di sampingnya, agar spiritual dan politik kembali berjalan bergandengan.
Lantas bagaimana keadaan Spiritual setelah bercerai dengan politik. Spiritual adalah nilai dasar dalam semua agama, setiap agama pasti memiliki nilai-nilai spiritual dalam setiap ajarannya, mengajak penganutnya agar mampu menerapkan nilai-nilai itu dalam setiap kehidupan sosial. Menyadari dari hati, bahwa bukan hanya jasmani yang harus disirami, tetapi jauh dari itu ada yang lebih penting untuk di sirami yaitu akal dan hati. Dalam agama Islam, konsep seperti itu sudah tersusun sistematis, bahwa betapapun banyaknya kebutuhan jasmani yang terpenuhi, tapi jika akal dan hati itu tertinggal dan tidak dipenuhi kebutuhannya, maka lambat laun keduanya itu akan memberontak dan menyebabkan kerusakan akhlak dan moral dimana-mana. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, bahwa dalam diri manusia itu ada tiga hal yang harus diberi makan: pertama, Badan atau Jasmani yang membutuhkan makan dan minum agar jasmani tersebut tetap sehat dan seimbang. Kedua, Akal atau otak atau pikiran yang membutuhkan siraman ilmu pengetahuan, agar keberadaanya bisa bermanfaat dan dapat digunakan untuk kemaslahatan diri dan umat. Ketiga, jiwa atau hati yang membutuhkan makanan berupa nilai-nilai spiritual yang menghubungkan jiwa tersebut kepada penciptanya. Jika ketiga hal tersebut terpenuhi kebutuhannya, maka tidak mustahil akan tercipta kerukunan dan kedamaian dalam hidupnya.  
Kehadiran agama pada dasarnya adalah untuk menuntun manusia dalam melaksanakan setiap aktifitas sosialnya, termasuk di dalamnya aktifitas politik. Agama seharusnya menjadi jantung sebuah politik, bukan hanya sekedar  kendaraan politik yang hanya dijalankan ketika sedang masa-masa pemilihan suara, sebagian dari mereka menyuarakan agama hanya untuk kepentingan partai politik saja. Banyak usaha mereka untuk menarik hati masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan, contoh kecilnya seperti menggunakan jilbab ketika akan pemilu dan sebagainya.
Aktifitas politik seharusnya menjadi ajang masyarakat Indonesia untuk  berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berlomba-lomba dalam merebut kekuasaan. Karena memperebutkan kekuasaan dengan segala cara, tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi merugikan seluruh masyarakat secara jelas. Politik yang semulanya untuk mensejahterakan rakyat, akhirnya hanya akan menindas rakyat. Dari hal tersebut timbullah paradigma, bahwa Politik adalah perilaku sosial yang sangat menakutkan, sehingga usaha mereka bukan menyatukan kembali dengan spiritual, tetapi berbondong-bondong untuk menghindarkannya sejauh mungkin.
Kita masyarakat Indonesia seharusnya malu dengan agama yang disandingkan dalam diri kita. kita disebut sebagai manusia ber-Agama dan menafikkan para kaum Atheis. ketika kita tidak menerapkan nilai spiritual tersebut, lantas apa bedanya kita dengan para kaum Atheis?. Itulah mengapa Rasulullah saw menganjurkan umatnya agar selalu bermuhasabah diri, agar kita dapat membenahi kekurangan dalam diri sendiri terlebih dahulu, sebelum membenahi sekitar. Seperti yang dikatakan Jalaluddin Rumi, “dulu aku pintar dan ingin merubah dunia. Sekarang aku bijak dan ingin merubah diri sendiri”. Karena tanpa dimulai dari diri sendiri, niscaya perubahan itu akan sangat sulit untuk dilakukan.
Spiritual memang tidak selalu berhubungan dengan Agama Islam, tapi justru spiritual itulah pasti menjadi keyakinan mendasar bagi setiap agama-agama di dunia.  Spiritual itu meyakini bahwa jiwanya adalah bagian dari alam semesta, alam semesta adalah bagian dari esensi keberadaan Tuhan. Jadi jelas, bahwa manusia yang berkeyakinan kuat akan keberadaan  Tuhan, dia akan berfikir dua kali untuk melakukan keburukan yang akan meerugikan diri sendiri dan orang lain.
Tetapi hubungan spiritual dengan politik saat ini seperti seseorang yang tidak pernah saling mengenal atau pernah bersama, keduanya saling menghindar satu sama lain, bahkan keduanya ingin berdiri sendiri. Padahal karena berpisahnya Spiritual dan Politik tersebut, agama menjadi terlihat sangat kaku dan politik menjadi semakin menggelitik karena dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun jika kita berusaha menyatukan antara keduanya, pasti akan tercipta sebuah politik yang bersih dan sehat dan paradigma sekuler akan hancur dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Meski memang akan membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan tersebut, bahkan mungkin ada sesuatu yang harus dikorbankan untuk menggapainya. Tidak jauh berbeda ketika Rasul saw diutus di kota Makkah kala itu, banyak keluarga dan saudara yang tercerai berai karena sebagian dari mereka mengikuti agama baru yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tetapi dampak dari perjuangan melakukan perubahan tersebut sangatlah luar biasa, bahkan saat-saat ini semakin banyak orang mulai berbondong-bondong memasuki agama Islam, padahal Rasul saw sudah 14 abad yang lalu tubuhnya telah menyatu dengan tanah, tetapi ruhnya menjelma menjadi hidayah-hidayah. Allahumma Shalli ala Muhammad
Merubah, Membangun, menjalankan, mengembangkan tidaklah menjadi hal mudah seperti  semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika ruang lingkup perubahan itu mencakup perubahan dengan skala besar seperti merubah sebuah kebobrokan negara.
Indonesia sudah mempunyai dasar hukum dan perundang-undangan yang baik untuk diterapkan, Indonesia mempunyai demokrasi yang mengedepankan Musyawarah. Konsep musyawarah itu sering sekali dipraktekkan oleh Nabi saw, bahkan Nabi saw yang notabene nya adalah manusia yang sempurna, sering sekali mengedepankan suara mayoritas dari pendapat Nabi saw sendiri. Selain itu juga ada konsep keadilan, keadilan ini menjadi konsep paling dasar dalam sistem kenegaraan. Keadilan harus ditegakan dalam setiap tingkat kehidupan, kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. Karena tanpa keadilan, sebuah hukum yang telah terkonsep hanya akan timpang sebelah atau tajam di bawah tumpul di atas. Semua konsep-konsep negara yang dianut bangsa Indonesia sangat sesuai dengan ajaran Islam, bahkan Indonesia mempunyai Majelis Ulama Indonesia untuk membatasi ruang lingkup Demokrasi tersebut. Jadi sangat mengherankan ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara kufur karena menganut sistem demokrasi yang lahir dari Barat, bahkan bersikukuh ingin merubah negara Indonesia dengan negara Khilafah Islamiyyah, sampai-sampai melupakan bahwa Indonesia sedang krisis politik karena manusia, bukan krisis politik karena sistemnya.
Badan politik di Indonesia masih mengalami kemunduran yang konsisten, disebabkan individu-individu yang mengendarai badan politik tersebut. Indonesia menjujung tinggi Musyawarah, tapi faktanya masih banyak kecurangan-kecurangan. Indonesia menjujung tinggi keadilan, tapi faktanya keadilan masih tetap milik kaum-kaum bangsawan.  Indonesia menjunjung tinggi persamaan, tapi faktanya struktur social kaum menengah bawah dan menengah atas masih dikumandangkan. Bahkan pelaku-pelaku tersebut kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang beragama, yang setiap kampanye-nya meneriakkan takbir dengan penuh bergelora.
Oleh karena itu, ruh dalam politik sangatlah dibutuhkan, sama hal-nya dibutuhkan ruh ketika melaksanakan solat. Tanpa ruh, solat hanya gerakan, dan tanpa ruh, politik hanya mayat berjalan. Usaha kita untuk menyatukan nilai-nilai spiritual ke dalam badan politik, lagi-lagi harus dimulai dari pendidikan agama sejak usia dini, penanaman nilai-nilai itu harus lebih diperkuat sampai ke akarnya, sehingga kemudian memunculkan kesadaran dalam diri,  bahwa semua manusia bukan hanya mempunyai tujuan duniawi saja, tetapi lebih dari itu harus mempunyai tujuan akhirat.
Masyarakat Indonesia harus banyak-banyak belajar kembali dan memperbarui kadar kespiritualannya, agar setiap masalah yang dihadapi bisa terselesaikan dengan baik, tanpa harus melakukan bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa ketika dirinya tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Itulah pentingnya penanaman keyakinan diri akan hadirnya Tuhan, pendekatan diri dengan Tuhan dan meyakinkan bahwa Tuhan sangat dekat melebihi dekatnya urat nadi. Islam menawarkan konsep Tasawuf, sedangkan di Barat mengenalkan konsep Filsafat. Kedua-duanya sama-sama menawarkan metode kejiwaan dengan melakukan pendekatannya kepada Tuhan. Melakukan pendekatan dengan Tuhan tidak berarti harus mengasingkan diri di Goa bertahun-tahun, tidak menikah, tidak bekerja, atau sebagainya. tetapi justru Islam mengajak penganutnya untuk memberikan dan menebarkan manfaat di mana-mana, dengan cara bermacam-macam pula. Bisa dengan memberikan manfaat melalui bidang pendidikan ataupun bidang kenegaraan, atau bahkan hal yang terkecil dengan hanya menyingkirkan duri dari jalanan.
Di Indonesia pernah ada julukan yang cukup terkenal bagi seseorang yang beragama, tapi tingkah lakunya tidak menunjukkan seperti sikap orang yang beragama atau Islam KTP dan itu memang fakta. betapa banyak Islam tapi hanya beberapa yang Muslim. Tapi ada juga yang Muslim tetapi tidak Islam. Seperti pernyataan salah satu tokoh pergerakan dari Mesir Muhammad Abduh, ketika beliau berkunjung ke Perancis, beliau mengatakan bahwa ada Muslim di negara Perancis, tetapi tidak ada Islam. Sedangkan di negaranya, ada Islam tetapi tidak  ada Muslim.
Praktek kecilnya yang masih sangat sulit dihindarkan di Indonesia adalah kebiasaannya membuang sampah sembarangan, padahal untuk hal sekecil itu Islam sangat mengaturnya, apalagi untuk hal besar seperti kenegaraan. Penulis sangat yakin, jika untuk hal kecil sudah bisa dilaksanakan, insya Allah hal besarpun perlahan-lahan tidak berat untuk dilakukan, termasuk menciptakan dan melahirkan anak-anak politik yang sehat.
Islam adalah keselamatan, kehadirannya adalah memberikan keselamatan untuk manusia-manusia yang kehilangan arah dan tujuan. Islam agama sekaligus teman dalam suka dan duka. Kehadirannya adalah memberikan Rahmat di seluruh alam. Ajarannya tidak hanya mencakup hubungan dengan Tuhan saja, tetapi hubungan dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Tuntunannya bukan saja penuh kasih sayang, tetapi penuh ketegasan. Islam memerintahkan kepada penganutnya, agar tidak hanya bekerja untuk akhirat, tetapi dunia dan akhirat keduanya harus seimbang, dunia menjadi tempat mencari bekal untuk menuju ke alam akhirat kelak. Itulah mengapa dalam salah satu do’a yang paling mahsyur diucapkan, yang terdapat dalam surat al-Baqarah:
“…Ya Tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”. (QS. al-Baqarah [2]: 201)
Kata dunia dan akhirat dalam ayat tersebut diletakkan berdekatan, itu artinya Islam menghendaki penganutnya untuk bekerja di dunia agar mendapat kebaikan di akhirat. Islam sangat menghendaki spiritual, bahkan Islam tanpa Spiritual bukanlah Islam. Islam dengan spiritual itu seperti ikan dan air, tidak bisa salah satunya berdiri sendiri. Dan Spiritual Islam itu harus mampu diterapkan dalam setiap aktifitas, terlebih aktifitas politik yang ruang lingkupnya mencangkup banyak umat.
Islam yang merupakan ajaran politik, seharusnya mampu ditanamkan oleh para penganutnya ketika menjalankan pemerintahan. Islam mampu menyelamatkan politik saat ini yang sudah dijadikan ajang bisnis kebanyakan orang, sehinga menampik tujuan awal dari politik tersebut. Memperebutkan kekuasaan dengan berbagai macam cara dilakukan, bahkan sekarang dikenal dalam politik itu istilah tidak mengenal kawan atau lawan. Kalau sudah seperti ini, lantas dimana wajah positif dari politik tersebut. Politik seperti sudah menjadi panggung pergulatan saja, siapa yang kuat dialah yang menang di atasnya, tidak peduli harus menghancurkan atau mematikan lawan mainnya.
Dalam Islam kekuasaan sejatinya adalah sebuah titipan yang telah Allah amanahkan kepada hambanya, itu artinya ketika mendapat amanah mendapat kekuasaan tersebut, maka ruang lingkupnya untuk menebarkan manfaat semakin luas dan tanggung jawab yang harus di emban juga semakin besar. Bahkan seorang pemimpin yang prilaku kekuasaanya adil, akan menjadi salah satu orang yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat, di saat tidak ada naungan selainnya.
Itulah mengapa spiritual politik perlahan-lahan harus kita tanamkan sejak sekarang. tanpa spiritual, maka politik akan terus menanggung kebobrokan dan kekotoran atas ulah tangan-tangan manusia. kita bisa sama-sama mengembalikan wajah politik Islam yang menyejukan, wajah politik Islam yang penuh keadilan dan persamaan dengan cara menamakan dasar-dasar spiritual tersebut dalam pelaksanaan politiknya. Rasa takut akan hukum Tuhan juga mendorong manusia untuk tidak melakukan tindak kejahatan yang merugikan. Rasa cinta kepada Tuhan juga mendorong manusia untuk tulus menjalankan perintah-perintahnya. Dengan menyerahkan semuanya kepada Allah, maka aktifitas apapun  akan bernilai kebaikan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Cita-cita bangsa Indonesia menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan dapat menerapkan lima sila Indonesia ke dalam kahidupan sehari-hari dan merujuk-kan kembali kedekatan Spiritual dan politik dengan kesadaran sepenuh hati. Meski status hubungan politik dan Spiritual saat ini sangat terpisah jauh dan tidak berjalan baik, tetapi usaha untuk menyatukan kembali haruslah tetap berjalan. Melakukannya memang tidak membutuhkan waktu sedikit, kita bahkan bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Hanya saja kita harus menghilangkan sedikit prasangka buruk terhadap politik, yang menyebabkan sebagian orang memilih mundur jauh untuk menghindarinya dan membiarkan kerusakan politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bukankah salah satu tidak terwujudnya perubahan adalah karena diamnya orang yang benar dan berteriaknya orang yang bodoh.
Tetapi saat ini Indonesia masih memiliki banyak kesempatan untuk mengembalikan nilai kemurnian politik dan memberikannya cahaya untuk menjadikan sebuah titik terang dalam kebaikan. Nilai-nilai spiritual itulah yang akan membawa kembali sifat dasar politik agar terlahir kembali menjadi sebuah politik yang jauh dari perilaku-perilaku korupsi, kolusi dan Nepotisme, serta rumah tangga spiritual dan politik negara kita ini kembali rukun dan diridhai Allah swt.
Wallahu A’lam bish Shawwab

Nb: Menghadirkan Tuhan dan meyakini adanya Tuhan, akan sangat mendorong kita untuk berpikir dua kali ketika akan melakukan keburukan. Hadirkan Tuhan, yakinkan sepenuh hati bahwa Tuhan ada dan bersemayam dalam jiwa di tubuh kita.
“Tuhan adalah samudra tanpa tepian, tapi sungguh heran banyak jiwa-jiwa tenggelam di dalamnya, lantas berteriak ‘Tuhan tidak ada’.” (Jalaluddin Rumi, semoga Allah berikan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, Al-Faatihah)

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...