Siapa bilang Perempuan dalam
Islam tidak mendapat tempat dalam mengasah potensi yang dimilikinya? kalau kita
benar-benar merujuk pada Sejarah lahirnya Islam dan bagaimana baginda nabi saw
memperlakukan kaum Perempuan pada masa itu, maka kita tentu bisa menarik
kesimpulan, bahwa semasa nabi hidup, Perempuan justru mendapat hak-hak nya
serta mendapat kesempatan untuk menggali potensinya, sebut saja menjadi seorang
dokter atau perawat, salah satu potensi yang mengharuskan Perempuan untuk tidak
hanya bergelut pada wilayah domestic (rumahnya).
Perempuan pada masa
nabi yang memiliki potensi sebagai dokter atau perawat itu Bernama Rufaidah al-Anshariyah, ia lahir pada tahun 570
M di Madinah, ia hidup pada masa nabi saw dan merupakan kaum Anshar. Ilmu keperawatan
yang dimilikinya ia pelajari dari sang ayah yang berprofesi sebagai tabib atau
dokter, dengan penuh ketekunan ia selalu membantu ayahnya. Pada hari-hari biasa
tanpa peperangan, Rufaidah membangun sebuah tenda di luar masjid Nabawi untuk
merawat setiap orang-orang yang sakit.
Pada lain waktu Ketika terjadi
peperangan dan umat Muslim harus turun ke medan perang, seperti perang Badar,
Uhud, Khandaq dan perang Khaibar, Rufaidah dengan penuh keberanian turun ke
medan pertempuran. Ia berada di garis belakang untuk membantu para tantara muslim
yang terluka akibat perang. Pada saat seperti itu, Rufaidah mendirikan tenda
rumah sakit lapangan, sehingga baginda nabi saw memerintahkan korban yang terluka
segera dirawat oleh Rufaidah.
Rufaidah tidak
menyimpan ilmu itu sendirian, karena ia juga menyebarkan ilmu yang dimilikinya.
Ia melatih para Muslimah yang berminat untuk menjadi perawat. Secara khusus, kelompok
perawat yang dilatih Rufaidah meminta izin kepada baginda nabi saw untuk ikut
digaris belakang pertempuran untuk merawat para mujahid yang terluka. Selain menjadi
perawat, mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan social lainnya.
Rufaidah dengan penuh kasih sayang dan perhatian,
selalu memberi perhatian kepada setiap muslim, orang miskin, anak yatim atau
penderita cacat mental. Rufaidah pun tidak hanya merawat anak yatim, tetapi
juga memberi mereka bekal Pendidikan. Sejarah menggambarkan Rufaidah sebagai
sosok yang memiliki kepribadian yang luhur dan penuh empati.
Dalam melayani pasien
Rufaidah selalu memberikan layanan yang prima tanpa memandang status social, Ikhlas
dan tanpa pamrih itulah sosok Rufaidah al-Anshariyah perawat terkemuka di zaman
Nabi saw. Ibnu Ishak dalam riwayatnya menuturkan, Ketika Sa’ad bin Mua’dz
terluka dalam perang Khandaq, baginda rasul saw berkata kepada para sahabat, “Bawalah
dia ke tenda Rufaidah dan aku akan menjenguknya nanti.”
Dunia keperawatan Islam
mengukuhkan Rufaidah sebagai perawat Muslim pertama di dunia. Tak Cuma itu, ia
juga dinobatkan sebagai perawat pertama di dunia. Bagaimana tidak, Rufaidah
sudah mulai berkiprah jauh sebelum Florence Nightingale (yang diklaim dunia
Barat sebagai pelopor keperawatan modern) terlahir. Florence terlahir di Italia
pada tahun 1820 M baru berkiprah di dunia keperawatan pada abad ke-19 M dan itu
artinya Rufaidah telah merintis dunia keperawatan 12 abad lebih dulu dari
Florence.
Prof. Omar Hasan Kasule
dalam studinya menggambarkan, Rufaidah sebagai perawat professional pertama
dalam Sejarah Islam. Menurut Omar, Sejarah menggambarkan Rufaidah sebagai
perawat teladan, baik dan bersifat empati. “Rufaidah adalah seorang pemimpin,
organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain,” tutur Omar.
Rufaidah wafat pada
tahun 632 M. kepergiannya meninggalkan sumbangsih sangat besar sebagai seorang
perawat Perempuan pada masa nabi saw, karena pengalaman kliniknya selalu ia
salurkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja di bawah bimbingannya. Semasa
hidupnya Rufaidah tidak hanya melaksanakan perawat dalam aspek klinikal semata,
tetapi juga melaksanakan peran komunitas dan selalu memceahkan masalah social.
Semoga sekelumit kisah Rufaidah
al-Anshariyah di atas memberikan banyak motivasi dan inspirasi kepada seluruh Perempuan
di dunia, khususnya para Muslimah. Agar tidak pernah membatasi potensi yang
dimilikinya hanya dalam ranah pekerjaan rumah saja, tetapi lebih dari itu. Karena
Islam memberikan wadah kesempatan untuk mengasah potensi yang dimiliki oleh
para Perempuan maupun laki-laki. Segala pekerjaan, jabatan apapun, selama
semuanya mampu memberikan kemanfaatan untuk umat banyak, maka laki-laki dan Perempuan
berhak untuk melaksanakannya.
Waallahu a’lam
Sumber kisah: buku Tiga
Malam Bersama Penghuni Surga, Karya Fuad Abdurrahman