Kamis, 16 November 2023

Dokter Perempuan pada masa Nabi Saw itu Bernama Rufaidah al-Anshariyah

 


Siapa bilang Perempuan dalam Islam tidak mendapat tempat dalam mengasah potensi yang dimilikinya? kalau kita benar-benar merujuk pada Sejarah lahirnya Islam dan bagaimana baginda nabi saw memperlakukan kaum Perempuan pada masa itu, maka kita tentu bisa menarik kesimpulan, bahwa semasa nabi hidup, Perempuan justru mendapat hak-hak nya serta mendapat kesempatan untuk menggali potensinya, sebut saja menjadi seorang dokter atau perawat, salah satu potensi yang mengharuskan Perempuan untuk tidak hanya bergelut pada wilayah domestic (rumahnya).

Perempuan pada masa nabi yang memiliki potensi sebagai dokter atau perawat itu Bernama  Rufaidah al-Anshariyah, ia lahir pada tahun 570 M di Madinah, ia hidup pada masa nabi saw dan merupakan kaum Anshar. Ilmu keperawatan yang dimilikinya ia pelajari dari sang ayah yang berprofesi sebagai tabib atau dokter, dengan penuh ketekunan ia selalu membantu ayahnya. Pada hari-hari biasa tanpa peperangan, Rufaidah membangun sebuah tenda di luar masjid Nabawi untuk merawat setiap orang-orang yang sakit.

Pada lain waktu Ketika terjadi peperangan dan umat Muslim harus turun ke medan perang, seperti perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang Khaibar, Rufaidah dengan penuh keberanian turun ke medan pertempuran. Ia berada di garis belakang untuk membantu para tantara muslim yang terluka akibat perang. Pada saat seperti itu, Rufaidah mendirikan tenda rumah sakit lapangan, sehingga baginda nabi saw memerintahkan korban yang terluka segera dirawat oleh Rufaidah.

Rufaidah tidak menyimpan ilmu itu sendirian, karena ia juga menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Ia melatih para Muslimah yang berminat untuk menjadi perawat. Secara khusus, kelompok perawat yang dilatih Rufaidah meminta izin kepada baginda nabi saw untuk ikut digaris belakang pertempuran untuk merawat para mujahid yang terluka. Selain menjadi perawat, mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan social lainnya.

Rufaidah  dengan penuh kasih sayang dan perhatian, selalu memberi perhatian kepada setiap muslim, orang miskin, anak yatim atau penderita cacat mental. Rufaidah pun tidak hanya merawat anak yatim, tetapi juga memberi mereka bekal Pendidikan. Sejarah menggambarkan Rufaidah sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang luhur dan penuh empati.

Dalam melayani pasien Rufaidah selalu memberikan layanan yang prima tanpa memandang status social, Ikhlas dan tanpa pamrih itulah sosok Rufaidah al-Anshariyah perawat terkemuka di zaman Nabi saw. Ibnu Ishak dalam riwayatnya menuturkan, Ketika Sa’ad bin Mua’dz terluka dalam perang Khandaq, baginda rasul saw berkata kepada para sahabat, “Bawalah dia ke tenda Rufaidah dan aku akan menjenguknya nanti.”

Dunia keperawatan Islam mengukuhkan Rufaidah sebagai perawat Muslim pertama di dunia. Tak Cuma itu, ia juga dinobatkan sebagai perawat pertama di dunia. Bagaimana tidak, Rufaidah sudah mulai berkiprah jauh sebelum Florence Nightingale (yang diklaim dunia Barat sebagai pelopor keperawatan modern) terlahir. Florence terlahir di Italia pada tahun 1820 M baru berkiprah di dunia keperawatan pada abad ke-19 M dan itu artinya Rufaidah telah merintis dunia keperawatan 12 abad lebih dulu dari Florence.

Prof. Omar Hasan Kasule dalam studinya menggambarkan, Rufaidah sebagai perawat professional pertama dalam Sejarah Islam. Menurut Omar, Sejarah menggambarkan Rufaidah sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. “Rufaidah adalah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain,” tutur Omar.

Rufaidah wafat pada tahun 632 M. kepergiannya meninggalkan sumbangsih sangat besar sebagai seorang perawat Perempuan pada masa nabi saw, karena pengalaman kliniknya selalu ia salurkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja di bawah bimbingannya. Semasa hidupnya Rufaidah tidak hanya melaksanakan perawat dalam aspek klinikal semata, tetapi juga melaksanakan peran komunitas dan selalu memceahkan masalah social.

Semoga sekelumit kisah Rufaidah al-Anshariyah di atas memberikan banyak motivasi dan inspirasi kepada seluruh Perempuan di dunia, khususnya para Muslimah. Agar tidak pernah membatasi potensi yang dimilikinya hanya dalam ranah pekerjaan rumah saja, tetapi lebih dari itu. Karena Islam memberikan wadah kesempatan untuk mengasah potensi yang dimiliki oleh para Perempuan maupun laki-laki. Segala pekerjaan, jabatan apapun, selama semuanya mampu memberikan kemanfaatan untuk umat banyak, maka laki-laki dan Perempuan berhak untuk melaksanakannya.

Waallahu a’lam

Sumber kisah: buku Tiga Malam Bersama Penghuni Surga, Karya Fuad Abdurrahman




Kisah KH Hasyim Asy’ari dengan anjing milik Ch. O Vander Plas

 


Tahun 1947 masih menjadi tahun dimana bergejolaknya perundingan kekuasaan wilayah Indonesia dengan pihak kolonial. Berbagai upaya dilakukan Indonesia agar bisa menjadikannya negara yang utuh tanpa campur tangan dan kekuasaan belanda lagi, mengingat proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dikumandangkan Soekarno pada tahun 1945. Hal itulah yang diperjuangkan para tokoh-tokoh nasional dan Islam agar terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan secara sempurna, bahkan KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan resolusi Jihadnya melawan penjajah dua bulan setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan.

Pada tahun 1947 permintaan perundingan Belanda yang sudah disetujui Sutan Sahrir selaku perdana menteri Indonesia mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak termasuk  dari gerakan Masyumi yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. Menghadapi hal tersebut pihak Belanda meminta kepada Gubernur Jawa Timur  yang dikomandani Ch. O Vander Plas  untuk berkunjung ke Tebuireng meminta persetujuan langsung dari KH Hasyim Asy’ari.

Kedatangan orang penting Belanda tersebut dikawal ketat. Para santri bersiaga menghadapi kedatangan tamu kolonial, mereka menjaga kyai disejumlah pintu gerbang. Namun keadaan baik-baik saja dan tidak terjadi bentrokan, bahkan tamu belanda itu sangat santun selama berada di Tebuireng, mengingat mereka mempunyai tujuan untuk mengambil simpati KH Hasyim Asy’ari.

Setelah dirasa aman, tamu tersebut dipersilahkan masuk menghadap KH Hasyim Asy’ari. Untuk menghormati pesantren dan KH Hasyim Asy’ari, anjing yang dibawa bersama Ch. O Vander Plas tidak dibawa masuk dan ditinggalkan di luar gerbang pesantren, karena yang mereka tahu anjing adalah binatang yang tidak disukai oleh kaum Muslim apalagi dikalangan pesantren.

KH Hasyim Asy’ari tetap menghormati tamu Kolonial yang datang seperti tamu-tamu yang lain, bahkan disuguhinya buah-buahan segar hasil dari perkebunan di pesantrennya yang membuat tamu kolonial itu memuji Pesantren Tebuireng. “buah-buah ini sangat segar, saya kagum dengan kemandirian pesantren ini, saya sudah lama mendengarnya.”

KH Hasyim Asy’ari mengucapkan terimakasih dengan nadanya yang datar. Setelah sedikit berbasa-basi, kemudian tamu kolonial langsung mengutarakan tujuannya datang ke Tebuireng yang pada akhirnya pembicaraan Ch. O vander Plas dialihkan KH Hasyim Asy’ari pada Anjingnya yang terus menggonggong di luar gerbang. “Maaf tuan sepertinya anjingnya kepanasan dan kehausan berada di luar, silahkan dibawa masuk saja.”

Hal tersebut sedikit membuat kebingungan tamu kolonial, sekaligus kekaguman kepada kyai karismatik tersebut. “bukannya anjing adalah binatang yang dibenci kaum muslim?” tanya sang tamu.

“bukan dibenci, namun dalam batas-batas tertentu muslim memang harus menjauhinya agar tidak terkena najis. Tapi kita tetap berkewajiban memberlakukan makhluk Tuhan dengan sebaik-baiknya.”

Tak lama berselang sang tamu meminta kepada salah satu prajuritnya agar membawa anjing tersebut masuk ke pesantren, sebuah pemandangan yang cukup ganjil disaksikan oleh para santri. Setelahnya perbincangan dilanjutkan dengan kesimpulan akhir bahwa KH Hasyim Asy’ari tetap menolak perjanjian Linggarjati itu karena keputusan bersama dan tamu kolonial pulang dengan tangan hampa.

Dua santri senior yang sedari tadi menemani pertemuan tersebut mendapat jawaban dari KH Hasyim Asy’ari mengenai pemandangan ganjil diperbolehkannya Anjing masuk ke dalam pesantren.

“anakku kalau najis itu sekedar luar saja, seperti duduknya anjing di kursi, itu mudah dibersihkan dengan debu atau air sabun, tapi najisnya hati karena bersekongkol dengan sekutu demi kekuasaan, janganlah sampai kita turuti.”

Sumber : Buku Novel Biografi Sang penakluk Badai (KH Hasyim Asy’ari)


72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...