Kita membutuhkan tanaman nilai Tasawuf di tengah kehidupan
modern yang sangat menjunjung tinggi Materialisme. Berbicara tentang Tasawuf,
ada buku menarik yang sekarang sedang saya baca yaitu sebuah buku dari seorang Masterpiece
dari kalangan sufi ‘Maulana Jalaluddin Rumi’ yang berjudul Fihi ma Fihi.
Buku ini bisa dikatakan Tafsir yang bercorak sufi, karena tiap per-Bab
dicantumkannya beberapa ayat suci kemudian dijelaskan dengan penjelasan bernuansa
Tasawuf. Luar biasa sangat indah tafsir dengan sorak sufi ini, sayapun terenyuh
membacanya, meski harus beberapa kali mengulang dan mengulang karena agak
sedikit kesulitan memahaminya. Dan di tengah jalan membaca buku ini, saya sudah
bergairah untuk sedikit berbagi apa yang ada dalam buku Rumi tersebut. Di dalam
buku ini ada Tafsir surah an-Nashr dari mufassir mazhab Zahiri (tekstual).
Siapa Mazhab Zahiri tersebut? Pembaca bisa menelusurinya sendiri, karena di
sini saya akan fokus pada penafsirannnya terhadap surat an-Nashr yang dimasukkan
Rumi ke dalam Bukunya. Saya rasa mufassir mazhab Zahiri telah berhasil mengulas
tafsir surah an-Nashr dengan nuansa kedekatan
hamba dengan Tuhannya.
Berikut tafsir surat an-Nashr mazhab Zahiri dalam buku Fihi
ma Fihi karya Jalaluddin Rumi.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan. dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (Q.S. an-Nashr: 1-3)
Para mufassir mazhab Zahiri menafsirkannya sebagai berikut:
Nabi Muhammad memiliki semangat yang sangat tinggi. Beliau berkehendak
menjadikan semua manusia di muka bumi ini sebagai muslim dan berharap mereka
semua berada di jalan Allah.
Ketika Nabi saw. Merasa maut sudah mendekat, beliau berkata “ah,
bukankah aku dilahirkan untuk mengajak manusia ke jalan Allah?”. Kemudian
Allah berfirman melalui surah an-Nashr itu yang maksudnya “janganlah
berduka. Ketika waktu kepergianmu tiba, semua negeri dan kota yang hendak
engkau taklukan dengan tentara dan pedang akan kujadikan semuanya tunduk dan
beriman tanpa tentara dan pedang. Pada akhir waktuu kau akan melihat mereka
berbondong-bondong memasuki pintu Islam. Ketika kau melihat tanda ini, ketahuilah
bahwa waktu kepergianmu telah tiba. Saat itu bertasbih dan beristighfarlah,
karena engkau akan tiba di sana”.
Kalimat yang saya garis bawahi di atas adalah sebuah tafsir
yang menunjukkan bahwa Indonesia telah mengenal Islam tanpa tentara dan pedang,
karena Islam masuk ke Indonesia melalui tangan-tangan perdagangan. Tapi
Indonesia sekarang menjadi sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar dunia,
bahkan dari Indonesia banyak lahir para ulama-ulama hebat yang sudah tidak
terhitung jumlahnya. Ulama tasawuf, ulama tafsir, ulama hadis dan masih banyak
lagi.
Di awal abad 21 ini bahkan sudah tidak ada penaklukan tentara
muslim terhadap negeri-negeri non Muslim, tetapi justru sebaliknya Islam sekarang
di serang di mana-mana. Terlepas penyerangan para kaum orientalis terhadap
Islam melalui berbagai cara, tapi tidak sedikit bahkan banyak, populasi umat
Islam dunia saat ini telah meningkat amat pesat. Jadi dalam ayat itu Allah
ingin menegaskan bahwa bukan karena ilmu dan usaha mereka sendiri orang-orang
itu berbondong-bondong masuk Islam, tetapi karena rahmat Allah lah semua itu
terjadi.
Seperti penafsiran dari para ahli hakikat terhadap surat
a-Nashr tersebut yang saya ambil juga dari buku Rumi, bahwa makna surah itu
adalah bahwa manusia menganggap diri mereka mampu membuang sifat-sifat tercela
dengan ilmu dan usaha mereka sendiri. Saat mereka berjuang dan mengerahkan
seluruh kekuatan serta menggunakan segala cara, mereka didera putus asa. Pada
saat itulah Allah berfirman:
“kau menyangka mampu mewujudkan semua itu dengan kekuatan,
usaha dan perbuatanmu. Itu adalah sunnah yang telah aku tetapkan: curahkanlah
semua yang kau miliki di jalanku, niscaya aku melimpahimu dengan anugerahku.
Aku memerintahkan kepadamu untuk menempuh jalan yang tak berujung ini dengan
kedua tangan dan kakimu. Aku tahu, kau tidak akan mampu melintasinya dengan
kedua kaki lemahmu itu, bahkan selama ratusan ribu tahun pun kau tidak akan
mampu melintasi satu tempatpun. Tetapi, jika kau terus berjalan hingga jatuh
pingsan dan tak ada lagi tenaga yang tersisa di tubuhmu untuk berjalan, saat
itulah pertolongan datang. Seperti anak kecil, selama disusui, ia digendong
dengan kedua tangan. Setelah tumbuh besar, ia dibiarkan berjalan sendiri.
Sekarang, saat tidak tersisa sedikitpun tenaga di tubuhmu –setelah kau curahkan
kekuatanmu dan kesungguhanmu dari waktu ke waktu, saat tidur maupun terjaga-
akan kutunjukkan kepadamu kelembutan yang darinya kau akan memperoleh kekuatan
sehingga kau bisa mencariku dengan penuh harap. Begitu juga ketika tidak ada lagi
cara yang bisa kau pergunakan”.
Maha benar Allah atas segala firmannya.