Palestina merupakan negara dengan penduduk Mayoritas Muslim. Meski
begitu, di salah satu kota Palestina yaitu Haifa, Komunitas-komunitas Muslim,
Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dalam hubungan yang cukup harmonis. Pada
tahun 1854, hanya ada komunitas kecil orang Yahudi di Haifa berjumlah 32 orang
dari keseluruhan penduduk Haifa 2.012 orang, sementara muslim 1.200 orang dan
selebihnya Kristen terutama dari aliran Ortodoks yang memang sudah turun
temurun dianut oleh orang-orang Kristen Palestina. Namun pada tahun 1920
pemukiman Yahudi mulai tumbuh di area itu, sebagiannya dibangun dengan sokongan
dari Jewish National Fund dan organisasi-organisasi Zionis Amerika. Pada
tahun 1929, situasi di Palestina mulai memanas, dipicu oleh meningkatnya
pemukiman Zionis dan memburuknya situasi ekonomi dunia. Tepat pada Juli 1938
dua buah bom Teroris Yahudi meledak dan menewaskan lebih dari 60 orang Palestina, sementara beberapa orang
Arab yang menjadi pegawai di Perusahaan-perusahaan Yahudi beserta beberapa
orang Yahudi cedera dan tewas oleh serangan balik dari pihak Palestina.
Konflik Palestina dan Israel bukanlah konflik kemarin sore, pada
saat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengambil alih mandat Palestina yang
sebelumnya dikuasai oleh Inggris, PBB membagi wilayah Palestina menjadi dua
negara, satu untuk Arab Palestina dan satu untuk bangsa Yahudi. Pembagian
tersebut diadopsi sebagai Resolusi PBB Nomor 181 pada tahun 1947. Tentu hal itu
memicu penolakan keras dari Arab Palestina sehingga menyebabkan Perang
Arab-Israel pertama pada tahun 1948 yang kemudian dimenangkan oleh Israel dan
mengakibatkan terbentuknya negara Israel dan rakyat Pelestina pun mengungsi.
Peristiwa ini dikenang oleh salah satu pejuang Perempuan Palestina
Leila Khaled, ia mengenang masa kecil pertemanannya dengan salah satu teman
Yahudi bernama Tamara, “Titik balik
pertemananku dengan Tamara terjadi pada 29 November 1947 ketika PBB mempartisi
Palestina antara aku dan Tamara. Tamara diberi 56 persen dari tanah airku, sementara
aku diharapkan untuk menerima Keputusan itu dan memberi selamat pada kaum
Tamara.”[1]
Namun perlu digarisbawahi, bahwa korban dari konflik panjang antara
Palestina-Israel ini bukan hanya terjadi di umat Muslim Palestina, tetapi juga
warga Palestina yang menganut agama lain seperti Kristen, Druze dan bahkan
Yahudi sendiri. Maka dari itu, konflik antara Palestina dan Israel bukanlah
konflik agama antara Islam dan Yahudi, bahkan data 2022 menunjukkan di Israel
jumlah penduduk Muslim mencapai 17%.
Konflik itu terus berlangsung selama puluhan tahun, Sebagian dunia
menutup mata tak ingin melihat dan menutup telinga enggan mendengar tentang Perang
yang semakin memanas dan tidak terkendali. Tuan Rumah terusir dari rumahnya
sendiri, sementara sang tamu, Israel dengan dukungan Sebagian negara-negara
Barat termasuk Amerika menguasai wilayah yang direbutnya selama perang-perang
dengan negara-negara Arab, seperti tepi Barat, jalur Gaza dan bagian dari
Yerusalem Timur. Beberapa kali Upaya dilakukan untuk mengehentikan konflik
Palestina-Israel yang terus terjadi diantaranya perjanjian Oslo pada tahun 1993
antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), serta perundingan Camp
David pada tahun 2000 yang sudah hampir mencapai kesepakatan namun akhirnya
gagal.
Konflik berkepanjangan itu menyebabkan ratusan ribu rakyat
Palestina terpaksa menjadi pengungsi yang sekarang tinggal di berbagai negara
dan kamp Pengungsian, sementara 2 juta orang rakyat Pelestina dikurung dalam
penjara terbuka di jalur Gaza, akses terhadap sandang pangan dan Pendidikan
dibatasi, hak hidup mereka dirampas, bahkan terhitung sejak Oktober tahun 2023
Israel melakukan genosida besar-besaran, sehingga menyebabkan puluhan ribu
menjemput syahidnya di bawah reruntuhan bangunan-bangunan berkepul debu dan
asap. Namun keterjajahan dan keterusiran itu mereka tanggung tanpa harus mengiba belas
kasihan bangsa lain dan tidak semata mengandalkan amarah dan kecengengan.
Tindakan Israel demi menguasai tanah milik Palestina jelas
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, genosida yang dilakukan atas
dukungan Amerika mendapat kecaman sebagian Masyarakat dari berbagai negara
dengan berbagai suku bangsa dan agama. Mereka dengan penuh solideritas mengecam
kekejian Israel. Anak-anak bahkan bayi
dibiarkan hidup dalam bayang-bayang kengerian karena perang dan kehilangan
keluarganya, para orangtua dibiarkan menguras airmata karena menyaksikan
anak-anak mereka menjemput syahid di bawah reruntuhan bangunan. Bahkan bangunan
rumah sakit, sekolah, masjid, gereja diratakan oleh rudal yang ditembakkan
Israel, membuat rakyat Palestina yang selamat dari serangan rudal harus
berjalan berkilo-kilo menuju tempat pengungsian. Namun di Tengah gempuran
keputusasaan itu, wajah-wajah Palestina tak pernah menunjukkan ketakutan dan
kesengsaraan, justru jiwa-jiwa mereka penuh keberanian dan perjuangan. Mereka
tak kehilangan sinar senyumnya seolah mencambuk kita yang hidup di negara yang
aman dan tentram namun hati kita sering mengeluh dan penuh keputusasaan.
Aksi kemanusiaan terus berkumandang, selain mengutuk Israel,
Sebagian dari mereka juga mengutuk dukungan pemerintah negara mereka kepada
Israel yang jelas-jelas telah melakukan pembunuhan masal pada rakyat Palestina,
negara-negara itu diantaranya seperti Amerika, Jerman, Inggris, Italia dan
Australia. Meskipun mentri Luar Negeri Australia, Penny Wong mengatakan bahwa
negaranya belum memasok senjata sejak awal konflik Gaza pada Oktober 2023.
Diantara 5 negara tersebut,
Amerika Serikat dan Jerman lah yang paling besar memberikan bantuan Militer
kepada Israel senilai ratusan juta dolar sejak Oktober 2023, menurutnya
transfer senjata itu penting untuk mendukung keamanan Israel. Hubungan negara-negara
besar dalam memasok senjata ke Israel bukanlah pertama kali terjadi, karena
sejak awal berdirinya negara Israel, negara yang mengatakan paling menjunjung
HAM itulah yang memang menjadi negara paling mendukung terjadinya serangan
besar-besaran di Palestina, baginya Israel seperti anak Emas yang harus
ditolong dan dilindungi.
Terlepas dari Amerika yang menjadi negara dengan dukungan terbesar
untuk Israel, hal itu tidak berarti sama dengan warganya. kisah heroic
pernah terjadi oleh salah satu warga Amerika yang mengutuk keras dukungan
negaranya kepada Israel yang membunuh, menyiksa, mengusir rakyat pribumi
Palestina. Salah satu warga Amerika itu Bernama Rachel Corrie, seorang gadis
yang pada tahun 2003 memutuskan untuk bergabung Bersama International
Solidarity Movement (ISM) untuk menjadi relawan kemanusiaan di Palestina.
Kecintaannya dalam menolong sesama dan rasa kemanusiaan pada dirinya, gadis
yang lahir pada tahun 1979 itu memutuskan cuti dari kuliah untuk mengabdi
kepada bangsa Palestina.
Gadis dengan nama lengkap Rachel Aliene Corrie merupakan penganut
agama Nasrani, namun agama bukan menjadi penghalang dirinya membantu sesama
manusia. Ketika di Palestina Rachel berjuang Bersama anak-anak Palestina untuk
kemerdekaan Palestina dari Zionis Israel, Rachel merasa menemukan kehidupan
yang sebenarnya dengan membangun harapan tentang masa depan yang lebih baik,
bahkan Rachel mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak Palestina yang ingin
belajar. Ia yang sedari kecil memang memiliki jiwa kemanusiaan yang sangat
tinggi, pernah berkomentar tentang negaranya, “Amerika tak Mempesonaku lagi,
ia tak mampu memikatku lagi, ia pudar dan terlipat di pinggiran pikiranku.”
Namun perjuangan Rachel terhenti, Ketika ia dengan penuh semangat
kemanusiaan mencoba menghentikan
Buldozer tantara Israel yang akan menggusur rumah milik warga Palestina di
Rafah, Rachel dengan geram langsung berdiri menghadang Buldozer, namun tentara
itu tidak pedulli dengan seorang Perempuan yang berdiri di hadapannya, dengan
kejam Buldozer itu melindas tubuh Rachel hingga tulangnya remuk. Rachel sempat
dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Rachel Corrie meninggal
pada 16 Maret di Rafah, Palestina. Setelah hanya dua bulan ia memutuskan diri
untuk mengabdikan kemanusiaannya di bumi Palestina.
Setelah kejadian itu, Rachel Corrie menjadi sebuah symbol
perjuangan rakyat Palestina, ia menjadi bukti bahwa kemanusiaan tidak perlu
memandang identitas kultural, perbedaan politik, geografis, bahkan keyakinan. “Dia
Putri Palestina.” Ucapan mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat, Ketika
mengenang jasa-jasa Rachel Corrie.
Baru-baru ini juga terjadi hal yang tidak jauh berbeda, aksi yang
terbilang ekstrem dilakukan lagi
oleh salah satu tantara Amerika di depan kedutaan Israel pada Februari 2024. Ia
melakukan aksi protes dengan membakar dirinya sendiri sambil berteriak “Bebaskan
Palestina!” Aaron Bushnell yang merupakan anggota Angkatan udara Amerika
Serikat merasa frustasi atas keterlibatan genosida di Palestina. sebelum
melakukan aksi protes tersebut Bushnell mengatakan “Saya tidak akan lagi
terlibat dalam genosida. Saya akan terlibat dalam Tindakan protes yang ekstrem,
tetapi dibandingkan dengan apa yang dialami orang-orang di Palestina di tangan
penjajah mereka, itu tidak ekstrem sama sekali.”
Kisah aksi solideritas di atas hanyalah Sebagian dari kisah-kisah lainnya
yang dilakukan untuk membela Palestina karena dasar nilai kemanusiaan. Semua
orang pasti mempunyai cara tersendiri untuk membela Palestina dengan kemampuan
yang dimiliki masing-masing, namun apa yang dilakukan Rachel dan Bushnell
adalah symbol bahwa kita semua harus membuka mata atas penderitaan yang dialami
manusia di belahan bumi lainnya, tanpa melihat apa bangsanya, sukunya dan
bahkan agamanya. Hal itu senada dengan UUD 1945 bahwa penjajahan di atas bumi
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Membela Palestina adalah bagian dari membela Kemanusiaan, seperti
salah satu ungkapan “Anda tidak perlu menjadi Muslim untuk membela
Palestina, anda hanya perlu menjadi manusia.”
[1] Sarah Irving, Leila
Khaled, Terj. Pradewi Tri Chatami, (Tangerang: CV Marjin Kiri, 2023), cet
II, h.17