Curug, dengan tanah-tanah yang menjulang tinggi, membentuk
bukit-bukit yang tak kalah indah, sawah-sawah dan tumbuh-tumbuhan lainnya
membentang hijau, di sambut embun pagi yang membasahi setiap dedaunannya, burung-burung pipit berkicau meramaikan hari,
terbang kesana-kemari dengan bebas.
Curug bukanlah tempat yang ramai oleh hiruk pikuk dunia, bukan tempat
yang ramai dengan suara knalpot dan klaskson di jalan, bukan tempat dengan
tanah yang diatasnya berdiri gedung-gedung pencakar langit. Tapi Curug hanyalah sebuah
tempat yang merupakan kampung terpencil, yang masih dirimbuni pohon-pohon yang
menjulang tinggi nan hijau, dengan suara gemercik sungai di pagi hari dan
suara-suara alam yang masih melantang.
Binatang-binatang liar masih banyak berkeliaran di jalan-jalan.
jika malam tiba, suara-suara penghuni rumah masih terdengar jelas oleh siapapun
yang melintasinya. Suara anak-anak amat ramai di malam hari, mereka tidak
pernah bosan untuk bermain lagi selepas melaksanakan solat Isya berjamaah di
Mushola dan para orang tua-pun tak melarang anak-anak mereka. suara-suara
manusia beradu dengan suara-suara jangkrik di malam hari dan tak lupa langit
malam menjadi saksi dengan sinar bulan dan ribuan bintangnya.
Tapi atmosfer abad 20 kini kian memudar, Suasana di atas sudah jarang sekali ditemukan oleh manusia-manusia yang lahir atau hidup di
abad ke 21 Masehi, karena proses perjalanan waktu itulah semua perlahan-lahan
telah menghilang dan lenyap, berubah menjadi sesuatu yang teramat baru dan
asing.
Abad 20 telah pergi 19 tahun yang lalu,
menitipkan kehidupan pada abad ke 21. 19 tahun yang sudah banyak perubahan
untuk Curug, tidak membutuhkan waktu lama, diabad 21, manusia
berbondong-bondong membawa alat besar dengan kerukan besar di depannnya. Bukit-bukit
yang dimiliki abad 20, kini telah hilang, menyisakan waduk yang menelan banyak
korban. Kehijauan yang dimiliki abad 20 juga telah berganti dengan atap atap
rumah yang menyilaukan.
Untukmu tanah kelahiranku, yang membesarkanku dengan tanganmu, yang
membahagiakanku dengan jiwamu, ini aku yang lahir di akhir abad 20 dan menginjakkan
kaki di abad 21. Aku menyaksikan perubahan yang besar, aku menyaksikan
anak-anak yang tidak lagi memilih bermain dengan alam, tetapi memilih bermain
dengan alat-alat buatan tangan-tangan manusia. aku menyaksikan bukit-bukitmu
dikeruk tanpa ampun, aku menyaksikan pohon-pohon yang mulai mencoklat dedaunannya
karena polusi pabrik yang semakin menggila. Aku menyaksikan sungai-sungai yang dulu
pernah aku ajak bersenang-senang pada awal-awal abad 21 telah keruh dan
tertimbun tanah gususan. Aku harap bumi ini selalu tenang dan sabar, seperti
sabarnya Tuhan yang telah menciptakan.
Curug, Biarlah, kita harus menikmati perubahan, bukan?