Satu buku lagi yang menemani
akhir tahun 2023 kemarin, buku Kumpulan cerpen yang ditulis oleh penulis dari Palestina
ini benar-benar sangat menggugah jiwa dan perasaan, selain karena setiap
ceritanya pasti berbicara tentang
kebebasan, perampasan tanah, kematian, ketidakpastian, kegetiran Nasib dan
garis hidup yang mengerikan, kalimat-kalimat pada renteten kisahnya benar-benar
mengandung retorika dan syair yang indah. Tentu inilah yang membuat saya
langsung jatuh cinta pada karya mendiang Ghassan Kanafani dan ini adalah
pertama kalinya saya membaca karya dari penulis negeri Palestina.
Matinya ranjang nomor 12 oleh
ghassan kanafani, karya ini merupakan kumpulan cerita yang menjadi karya debut
beliau sebelum dirinya dikenal sebagai salah satu penulis terpenting di Timur
Tengah melalui puluhan karya-karyanya yang lain. Ghassan Kanafani sendiri lahir
pada 8 April 1936, beliau merupakan seorang penulis Palestina dan gembong utama
Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Pada 8 Juli 1972, ia dibunuh
oleh Mossad (badan Intelejen Israel) melalui serangan bom yang dipasang pada
mobilnya. Al-Fatihah
Buku Kumpulan cerpen ini
memiliki ukuran yang standar dan ringan sehingga memudahkan pembaca untuk membawanya
kemanapun, karena hanya memiliki ketebalan 161 halaman saja. Buku ini diterbitkan
oleh penerbit Intensif Books, pada cetakan pertama bulan Juni tahun 2023.
Untuk teman-teman readers yang
ingin sekali membaca buku ringan dari penulis Palestina, saya rekomendasikan
untuk membaca buku ini, semoga ini juga salah satu bentuk dukungan kita untuk
kemerdekaan Palestina dan jangan lupa untuk mengirimkan doa kepada penulisnya,
semoga Allah letakkan Gassan Kanafani di tempat terbaik di sisinya, dan doa untuk seluruh Masyarakat Palestina yang
telah syahid karena gempuran-gempuran zionis yang tak kunjung usai. Aamiin
Berikut sekelumit
kalimat-kalimat indah namun menyayat hati dalam Kumpulan cerpen Gassan
Kanafani:
“Bagaimana Palestina Jatuh
inci demi inci dan bagaimana kami mundur inci demi inci. Senapan antic di
tangan para laki-laki kasar berseliweran di depan mata kami seperti legenda
berdarah. Suara-suara rudal dari kejauhan menunjukkan bahwa pertempuran Tengah terjadi.
Sementara para istri kehilangan suaminya. Anak-anak kehilangan ayah mereka. Mereka
diam melihat peperangan melalui jendela hingga ke liang kematian.” (hlm 9)
“di bawah Cahaya ledakan dari
kejauhan, aku melihat kegagahan di kedua matanya. Ada ketakutan di kedua
matanya, namun ia teguh menekan perasaan dalam pilihan antara melarikan diri
atau mati.” (hlm 13)
“dua belas tahun telah berlalu
dan aku yakin kau sangat jauh dari segalanya. Kau merebah dalam tanah dan
hancur. Kau juga merebah dalam ingatan kami dan lenyap. Roman wajahmu… lagi,
roman wajahmu… aku tak lagi mengingatnya dengan baik. Suaramu, aku juga tak
tahu lagi seperti apa. Matamu, aku tak lagi ingat seperti apa kilaunya.” (hlm
24)
“anak-anak yang tidak sabar
menunggu suara bel pulang untuk pergi ke gang-gang kecil di Damaskus yang luas
demi bergulat dengan senja untuk mendapatkan makan malam. Mereka menunggu bel
pulang dengan sangat lapar untuk berbagi
di bawah langit abu-abu yang dingin. Masing-masing dari mereka memiliki
cara sendiri dalam hidup. Ketika malam turun, mereka Kembali ke kamp atau rumah
tanah mereka dan berhimpitan dengan keluarga mereka yang sunyi sepanjang malam selain suara
batuk. Aku seperti mengajar anak-anak yang lebih tua dari umur yang sebenarnya,
sangat lebih tua. Masing-masing mereka
adalah percikan dari gesekan keras kehidupan yang kejam. Mata mereka di kelas
bersinar seperti jendela kecil terhadap dunia yang tak dikenal, berwarna dengan
warna-warna yang lembut. Sementara bibir mereka terkunci rapat seakan mencegah
ketakutan yang tak dapat mereka kendalikan. Kelas itu merupakan dunia yang kecil.
Dunia yang terbentuk dari penderitaan yang bertumpuk sekaligus penderitaan
kepahlawanan. Di antara mereka aku merasa seperti sesuatu yang asing. Perasaan ini
memberiku ketegaran untuk berusaha sampai di hati mereka semampuku.” (Hlm 34)
“sesungguhnya aku adalah
manusia yang sakit. Darah yang mendidih dalam diriku sama sekali tak bernilai. Ia
adalah darah yang pantas untuk manusia renta, setengah mati, setengah hidup,
manusia yang di dalam dadanya tidak ada apapun selain kotak masa lalu yang
terkunci, seseorang yang masa depannya hanyalah lilin yang menerangi lainnya
dan membakar dirinya lalu padam dan habis.” (hlm 44)
“demi saat-saat ini, aku
adalah mercusuar yang bersinar di hadapan perahu yang hilang, yang dengan
menemukan mercusuar ini ia bertahan dalam rasa rindu dan kedamaian.” (Hlm 47)
“manusia tidak perlu hidup
sambil meyakini sesuatu yang dapat menghentikan umurnya. Kehidupan adalah
kehidupan, tempat hidupnya manusia.” (hlm 124)
“ini adalah perjalanan yang
luar biasa! Hari ini bukanlah apa pun selain tragedy. Dan esok adalah yang kita
sebut dengan petualangan.” (the Last)
Happy Readers…