Selasa, 02 Januari 2024

MATINYA RANJANG NOMOR 12 OLEH GHASSAN KANAFANI

 


Satu buku lagi yang menemani akhir tahun 2023 kemarin, buku Kumpulan cerpen yang ditulis oleh penulis dari Palestina ini benar-benar sangat menggugah jiwa dan perasaan, selain karena setiap ceritanya pasti  berbicara tentang kebebasan, perampasan tanah, kematian, ketidakpastian, kegetiran Nasib dan garis hidup yang mengerikan, kalimat-kalimat pada renteten kisahnya benar-benar mengandung retorika dan syair yang indah. Tentu inilah yang membuat saya langsung jatuh cinta pada karya mendiang Ghassan Kanafani dan ini adalah pertama kalinya saya membaca karya dari  penulis negeri Palestina.

Matinya ranjang nomor 12 oleh ghassan kanafani, karya ini merupakan kumpulan cerita yang menjadi karya debut beliau sebelum dirinya dikenal sebagai salah satu penulis terpenting di Timur Tengah melalui puluhan karya-karyanya yang lain. Ghassan Kanafani sendiri lahir pada 8 April 1936, beliau merupakan seorang penulis Palestina dan gembong utama Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Pada 8 Juli 1972, ia dibunuh oleh Mossad (badan Intelejen Israel) melalui serangan bom yang dipasang pada mobilnya. Al-Fatihah

Buku Kumpulan cerpen ini memiliki ukuran yang standar dan ringan sehingga memudahkan pembaca untuk membawanya kemanapun, karena hanya memiliki ketebalan 161 halaman saja. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Intensif Books, pada cetakan pertama  bulan Juni tahun 2023.

Untuk teman-teman readers yang ingin sekali membaca buku ringan dari penulis Palestina, saya rekomendasikan untuk membaca buku ini, semoga ini juga salah satu bentuk dukungan kita untuk kemerdekaan Palestina dan jangan lupa untuk mengirimkan doa kepada penulisnya, semoga Allah letakkan Gassan Kanafani di tempat terbaik di sisinya, dan  doa untuk seluruh Masyarakat Palestina yang telah syahid karena gempuran-gempuran zionis yang tak kunjung usai. Aamiin

Berikut sekelumit kalimat-kalimat indah namun menyayat hati dalam Kumpulan cerpen Gassan Kanafani:

“Bagaimana Palestina Jatuh inci demi inci dan bagaimana kami mundur inci demi inci. Senapan antic di tangan para laki-laki kasar berseliweran di depan mata kami seperti legenda berdarah. Suara-suara rudal dari kejauhan menunjukkan bahwa pertempuran Tengah terjadi. Sementara para istri kehilangan suaminya. Anak-anak kehilangan ayah mereka. Mereka diam melihat peperangan melalui jendela hingga ke liang kematian.” (hlm 9)

“di bawah Cahaya ledakan dari kejauhan, aku melihat kegagahan di kedua matanya. Ada ketakutan di kedua matanya, namun ia teguh menekan perasaan dalam pilihan antara melarikan diri atau mati.” (hlm 13)

“dua belas tahun telah berlalu dan aku yakin kau sangat jauh dari segalanya. Kau merebah dalam tanah dan hancur. Kau juga merebah dalam ingatan kami dan lenyap. Roman wajahmu… lagi, roman wajahmu… aku tak lagi mengingatnya dengan baik. Suaramu, aku juga tak tahu lagi seperti apa. Matamu, aku tak lagi ingat seperti apa kilaunya.” (hlm 24)

“anak-anak yang tidak sabar menunggu suara bel pulang untuk pergi ke gang-gang kecil di Damaskus yang luas demi bergulat dengan senja untuk mendapatkan makan malam. Mereka menunggu bel pulang dengan sangat lapar untuk berbagi  di bawah langit abu-abu yang dingin. Masing-masing dari mereka memiliki cara sendiri dalam hidup. Ketika malam turun, mereka Kembali ke kamp atau rumah tanah mereka dan berhimpitan dengan keluarga mereka  yang sunyi sepanjang malam selain suara batuk. Aku seperti mengajar anak-anak yang lebih tua dari umur yang sebenarnya, sangat lebih tua.  Masing-masing mereka adalah percikan dari gesekan keras kehidupan yang kejam. Mata mereka di kelas bersinar seperti jendela kecil terhadap dunia yang tak dikenal, berwarna dengan warna-warna yang lembut. Sementara bibir mereka terkunci rapat seakan mencegah ketakutan yang tak dapat mereka kendalikan. Kelas itu merupakan dunia yang kecil. Dunia yang terbentuk dari penderitaan yang bertumpuk sekaligus penderitaan kepahlawanan. Di antara mereka aku merasa seperti sesuatu yang asing. Perasaan ini memberiku ketegaran untuk berusaha sampai di hati mereka semampuku.” (Hlm 34)

“sesungguhnya aku adalah manusia yang sakit. Darah yang mendidih dalam diriku sama sekali tak bernilai. Ia adalah darah yang pantas untuk manusia renta, setengah mati, setengah hidup, manusia yang di dalam dadanya tidak ada apapun selain kotak masa lalu yang terkunci, seseorang yang masa depannya hanyalah lilin yang menerangi lainnya dan membakar dirinya lalu padam dan habis.” (hlm 44)

“demi saat-saat ini, aku adalah mercusuar yang bersinar di hadapan perahu yang hilang, yang dengan menemukan mercusuar ini ia bertahan dalam rasa rindu dan kedamaian.” (Hlm 47)

“manusia tidak perlu hidup sambil meyakini sesuatu yang dapat menghentikan umurnya. Kehidupan adalah kehidupan, tempat hidupnya manusia.” (hlm 124)

“ini adalah perjalanan yang luar biasa! Hari ini bukanlah apa pun selain tragedy. Dan esok adalah yang kita sebut dengan petualangan.” (the Last)

Happy Readers…


 


72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...