Selalu ada kepuasan
tersendiri saat bicara kita didengarkan dan dikenang. Saya manusia dengan usia
mendekati seperempat abad, saya seorang
guru dari anak-anak. Mungkin kata ‘guru’ belum pantas disematkan ke
dalam diri saya, karena hakikatnya saya masih harus banyak berguru, bahkan
sampai seterusnya sampai ketika waktu yang Tuhan berikan sudah habis. Tapi
begitulah anak-anak memanggil saya, ‘Ibu Guru’. Mungkin sebagian orang
beranggapan memikul pangkat sebagai guru itu tidak istimewa, tidak keren dan
terkesan biasa saja, tidak heran jika di negeri Indonesia banyak guru yang
tidak mendapat tempat selayaknya, dalam artian tidak dihargai. Padahal kata
salah satu dosen Favorit saya “Guru adalah profesi yang mengajarkan semua
Profesi”. Lantas kurang keren apa coba untuk menjadi seorang Guru, dia
profesi yang multi fungsi, karena darinya maka lahirlah beberapa profesi
lainnya.
Tapi sungguh ironis dengan
apa yang terjadi zaman sekarang, Guru bukan saja tidak dihargai dan dihormati
oleh pemerintah, tetapi dari Murid dan orang tua murid itu sendiri. Jika
anaknya Sukses orang tua tentu sangat bangga, tapi orang tua lupa pada siapa
anaknya dulu belajar. Tapi giliran anaknya bermasalah, orang tua langsung
menyalahkan guru-guru sekolah, tidak becuslah atau apalah semua kata-kata kotor
dilontarkan. Bahkan parahnya berita yang beberapa hari lalu sudah terlewat, seorang
anak murid memukul gurunya sampai MENINGGAL. Astaghfirullah zaman macam apa
ini? Seorang guru yang darinya kita menimba ilmu, lantas dengan Cuma-Cuma
seorang murid tersebut memukulnya karena merasa kesal dan marah pada gurunya.
Saya tidak mengikuti berita selanjutnya bagaimana anak murid itu sekarang,
biarlah waktu yang akan menjawab apa yang akan terjadi nanti.
Itulah memang mengapa
pendidikan di rumah dan di sekolah haruslah seimbang. Rumah yang merupakan
madrasah pertama untuk anak-anak, harus mampu menghadirkan sebuah lingkungan
yang baik, agar anak-anak bisa mencontoh hal yang baik-baik. Begitupun setelah
rumah, sekolah menjadi tempat tinggal kedua untuk anak-anak. Keduanya harus
bisa sama-sama menghadirkan aura positif untuk anak-anak tumbuh dan kembang.
Apalagi anak merupakan Investasi terbesar dari Allah untuk benar-benar kita
jaga, bahkan orang Tua bisa masuk surga karena anak-anaknya, dan anak yang
shalih bisa menjadi amal jariyyah untuk orang tuanya yang sudah meninggal.
Itulah menurut saya mengapa
pentingnya pendidikan agama sejak usia dini, agar nanti ketika besar anak sudah
bisa memilih dengan bijak mana hal yang baik untuk dilakukan dan mana hal tidak
baik untuk tidak dilakukan. Karena saya yakin, seorang yang menjadikan agama
sebagai penopang kehidupannya, semerawut apapun hidupnya nanti, sesulit apapun
hidupnya nanti, ia tidak akan menjadikan hal-hal terlarang untuk menumpahkan
masalahnya tersebut. Hal-hal terlarang itu seperti bunuh diri, minum-minuman,
nakal yang berlebihan sampai memakai narkoba dan sebagainya, bahkan sampai
membunuh orang tuanya, seperti apa yang telah diberitakan beberapa pekan lalu,
Naudzu Billahi min Dzalik
Kembali lagi pada ‘Bu Guru’. Sebelum
memulai pelajaran inti yang diajarkan, saya biasa menyelipkan sebuah
cerita-cerita Islami. Dari mulai kisah nabi, tentang dajjal, hari kiamat dan
lain sebagainya. Tentu tidak semua anak respondnya baik atau bagus, terkadang
ada anak juga yang tidak suka dengan cerita saya, atau bahkan takut karena
cerita Dajjal yang saya sampaikan. Sungguh tidak ada maksud menakuti-nakuti
anak-anak yang masih polos tersebut, saya hanya ingin memotivasi anak agar
lebih giat dalam solat, ngaji, belajar dan nilai-nilai positif lainnya. Kalian
yang seorang guru sekolah dasar tentu paham, bagaimana pola pikir anak zaman
sekarang, banyak sekali diantara mereka yang pola pikirnya sudah seperti orang
dewasa. Bahkan saya pernah mendapati anak, yang telihat semerawut sekali karena
cerita cinta yang sedang ia alami. Tidak perlu jauh-jauh lah, bahkan di media
sosial sudah tersebar bagaimana tingkah laku nak-anak sekolah dasar zaman
sekarang. Berpacaran, memberikan bunga, berduaaan dan hal-hal yang menjurus
kepada nilai negatif itu sangat banyak sekali kita temui. Sungguh ironis bukan?
Perkembangan teknologi yang semakin pesat sungguh benar-benar merubah karakter
anak-anak yang sesungguhnya.
Tapi meski begitu anak-anak
tetaplah anak-anak, sisi kepolosan dia tentu masih ada. sebagian dari mereka
diam tak berkutik saat saya dengan semangatnya menceritakan bagaimana peristiwa
dahsyat hari kiamat nanti, atau bagaiamana besarnya fitnah dajjal dan hukuman
untuk manusia-manusia yang tidak mau menjalankan kewajiban dari Allah. Mereka
antusias, bahkan setelah saya selesai bercerita, mereka dengan semangatnya
mengatakan “nanti cerita lagi ya bu”. Kata-kata mereka yang sederhana
itu, selalu membangkitkan semangat saya untuk terus memberikan manfaat lagi dan
lagi, tidak peduli dimanapun tempatnya, tidak peduli sudah terlambat atau
tidak, selama Tuhan masih memberikan waktu untuk kita, mari kita teruskan
menebar manfaat bukan mudharat. Karena nilai ikhlas yang membuat seseorang
masuk surga adalah bukan karena profesinya yang menjadi seorang profesor atau
doktor atau apapun lah. Tapi dalam hadis Nabi dikatakan, seseorang yang bahkan
hanya menyingkirkan duri dari jalanan saja bisa mengantarkan ke dalam surga,
jika perbuatan kecil diiringi nilai ikhlas yang sangat luar biasa.
Berbicara soal ikhlas, bukan
berarti di sini saya menganggap bahwa saya adalah manusia yang paling ikhlas,
tapi justru karena saya masih harus banyak belajar lagi apa itu ikhlas, maka
dari itu saya katakan di sini ‘meski kehidupan manusia itu berbatas, tapi aku
ingin ikhlas yang tanpa batas’.
Tentang bercerita, dari dulu
memang sudah menjadi metode pengajaran saya kepada anak-anak sebelum memulai
pelajaran. Jika anak-anak antusias dan mendengarkan, saya akan melanjutkan
ceritanya, tapi jika anak merasa bosan dan jenuh maka dengan berat hati saya
langsung masuk ke inti pelajaran. Pelajaran yang saya ajarkan biasanya dibaluti
dengan lagu-lagu, jika memang pelajaran itu bisa di iringi dengan lagu
anak-anak, tatapi liriknya di ganti dengan kosa-kata bahasa Arab contohnya. Ya
begitulah anak-anak bisa lebih mudah memahami jika disampaikan dengan cara yang
menarik, contohnya dengan seni. Sama halnya ketika Wali Songo menyebarkan Islam
di Nusantara, bukankah mereka merubahnya pelan-pelan melalui seni. Lagu-lagu
yang biasa digunakan untuk membaca-baca ajaran budha atau hindu, oleh Wali
Songo dirubahnya dengan shalawat-shalawat Nabi, masya Allah.
Semua orang tentu menginginkan
Surga, tapi kita manusia punya cara yang berbeda untuk menggapai satu tujuan
itu, meski memang tujuan kita sama. Kurang lebih seperti itulah perumpamaannya,
kita yang sudah diamanatkan untuk terjun ke lapangan dalam rangka mengarahkan
sesuatu ke arah yang lebih baik, tentu mempunyai metode masing-masing dalam
pengarahan tersebut.
Saya bukan orang yang baik,
tapi saya adalah orang yang belajar untuk menjadi baik, lebih baik dan jangan
merasa paling baik. Kita boleh terus berbuat baik, tapi jangan merasa paling
baik. Teruslah belajar, karena hidup ini adalah pelajaran yang penuh pelajaran.
Seorang guru yang mengajari anak didiknya, bukan berarti ia tidak belajar. Seorang
guru juga belajar dari anak-anak didiknya, belajar ikhlas, sabar dan memahami. Semoga
kita semua menjadi manusia bermanfaat, seperti apa yang telah disabdakan Nabi
saw “sebaik-baik kalian adalah yang memberikan manfaat” apapun
profesinya. Selamat menjalani hari-hari penuh manfaat bukan mudharat.
Writer by: Manusia yang mendekati usia seperempat abad, yang
sedang mempunyai cita-cita untuk bisa membangun Rumah Membaca, di kampung
halamannya!!!