Melihat
Demokrasi Indonesia hari ini dalam hukum dan politiknya
oleh: Fitriyah Syam'un
Berbicara tentang Demokrasi yang merupakan suatu tatanan hukum pemerintahan
yang tak pernah bosan untuk dibicarakan khususnya di Indonesia yang mayoritas
penduduknya adalah Umat Islam. Bagaimana tidak, Demokrasi yang terlahir dari
pemikiran Barat bisa menetap menjadi sebuah hukum pemerintahan di Indonesia
yang merupakan Negara dengan penduduk Muslim Terbesar di dunia. Bahkan Indonesia
telah mengalami perkembangan Demokrasi yang sangat pesat setelah jatuhnya rezim
orde baru bahkan dinilai sebagai Negara Demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Sebelum pembahasan mengenai topik di atas, ada baiknya kita kembali
pada sejarah pada masa priode pertama tahun 1945-1959 di mana Demokrasi
pada kala itu dikenal dengan Demokrasi Parlementer, sistem Demokrasi yang mulai
berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demiikian, model Demokrasi
ini diianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya Demokrasi untuk
mempraktikkan Demokrasi mdel barat ini telah memberi peluang sangat besar
kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan sosial politik.
Kemudian dilanjut pada masa priode kedua tahun 1959-1965,
pada priode ini dikenal dengan seebutan Demokrasi terpimpin. Cirri-ciri Demokrasi
ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan
peranan tentara ABRI dalam panggung politik nasional.
kemudian pada prioode ketiga tahun1965-1998, periode ini
merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan orde barunya. Sebutan orde
baru merupakan kritik terhadap priode sebelumnya, orde lama. Orde baru,
seebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan
kembali penyelewengan terhadap undang-undang Dasar 1945 yang terjadi dalam masa
Demokrasi terpimpin. Seiring pergantian kepemimpinan nasional, Demokrasi
terpimpin ala Presiden Soekarno telah diganti oleh elite orde baru dengan Demokrasi
pancasila. Namun sangat disayangkan, alih-alih peelaksaan ajaran pancasila
secara murni dan konsekuen, Demokrasi pancasila yang dikampanyekan oleh orde
baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik keNegaraan dan
pemerintahannya, penguasa orde baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip Demokrasi.
Selanjutnya yang terakhir periode pasca orde baru, periode pasca
orde baru sering disebut dengan era reformasi. Periode ini erat hubungannya
dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan Demokrasi dan HAM
secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan orde baru pada Mei 1998 yang ditandai dengan tragedi 1998, setelah
lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan Demokrasi pancasilanya. Penyelewengan
atas dasar Negara Pancasila oleh penguasa orde baru berdampak pada sikap
antipati sebagian masyarakat terhadap dasar Negara tersebut. Pengalaman pahit
yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif, dan penuh
nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk
menambahkan atribut tertentu pada kata Demokrasi. Bercermin pada pengalaman
manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru, Demokrasi yang hendak
dikembangkan setelah kejatuhan rezim orde baru adalah Demokrasi tanpa nama atau
Demokrasi tanpa embel-embel di mana hak rakyat merupakan komponen inti dalam
mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokrastis. Wacana Demokrasi pasca orde baru erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat
madani dan penegakkan HAM secara sungguh-sungguh.
Lalu bagaimanakah sebenarnya Demokrasi,
apa saja prinsip yang terdapat di dalamnya? Demokrasi jika dikenal dalam Islam adalah musyawarah, jadi sebuah pemerintahan Politik
yang dilaksanakan berdasarkan asas musyawarah. Di Indonesia sudah mulai
terlaksana pemilihan umum melalui pemilihan umum presiden pada Tahun 2004 yang mana bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih
sebagai presiden pertama yang mendapat kandidat berdasarkan pemilihan umum dari
masyarakat. Jadi dalam hal ini masyarakat bebas memilih pemimpinnya sesuai
kehendak masing-masing, tanpa adanya suap menyuap atau paksaan dan lain
sebagainya.
Namun meski begitu, pemilihan umum yang masih terjadi sampai
sekarang ini kerap sekali terjadi penyelewengan. Bagaimana tidak kebanyakan
dari mereka-mereka yang mencalonkan diri sebagai pejabat, ketika masa kampanye
atau istilahnya masa mempromosikkan diri di mata masyarakat, mereka para calon
itu hanya kebanyakan mengeluarkan janji-janji manis yang berujung menjadi jambu
(Janjimu busuk), sebagian mereka menyuap beberapa masyarakat dengan uang
ataupun alat suap lainnya agar masyarakat mau memilihnya ketika pemilihan umum
tiba. Tapi pada kenyataannya setelah mereka terpilih, malah tidak sedikit dari
mereka yang akhirnya terjerat kasus korupsi, yang pada akhirnya si kaya makin
kaya, si miskin makin miskin. Tidak ada yang salah dengan sistem politiknya,
hanya saja penyelewangan dari orang-orangnya yang akhirnya membuat system politik
Demokrasi di Indonesia belum
terlaksana secara alami dan sempurna. Selain
itu juga dalam tatanan kehidupan berDemokrasi, keadilan menjadi pondasi paling
penting dalam berDemokrasi, karena Demokrasi menjunjung tinggi nilai
pluralisme, kesamaan antar semua warga Negara, tidak peduli kaya atau miskin,
putih atau hitam dan lain sebagainya. Namun lagi-lagi kenyataan yang nyata kita
lihat saat ini di Indonesia, keadilan masih jauh dari tatanan hukum Demokrasi
di Indonesia. Bagaimana tidak kasus
terjadi beberapa tahun terakhir ini bahkan sampai saat ini, hukum masih saja
tajam di bawah tumpul di atas. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan
ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau
pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan
hukum. Contoh kasus ketidakadilan hukum di Indonesia ini seperti:
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan
adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal
dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Kita tentunya setuju, kasus
pencurian apapun harus di adili, tetapi jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip
kemanusiaan. Tidak keren rasanya seorang nenek-nenek yang buta huruf, dihukum
hanya karena ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum. Bahkan Untuk
datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp.30.000, untuk
biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam
uang untuk biaya transportasi. Tapi seorang pejabat yang terkena kasus hukum
mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang
kadang dibuat-buat. Lalu apa Pantas Nenek Minah dihukum hanya karena mencuri 3
buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp.10.000? Dimana prinsip
kemanusiaan itu?. Adilkah ini bagi Nenek Minah?
Lalu Bagaimana dengan koruptor kelas kakap? Inilah sebenarnya yang
menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat
mereka dengan tuntutan hukum. Apakah karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan,
dan punya banyak uang? sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku
bagi mereka para koruptor. Ini yang perlu dikoreksi dari hukum yang terjadi di
Indonesia.
Inilah yang terjadi pada Demokrasi di Indonesia dalam politik dan
hukumnya saat ini. Tidak ada yang salah dengan Demokrasi, Demokrasi begitu
sistematis dalam hal Susunan politik dan Hukumnya, Demokrasi tidak bertentangan
dalam Islam. Yang perlu dipertanyakan, mengapa Uang begitu menguasai bumi
pertiwi ini, sampai-sampai Hukumpun bisa di beli dengan uang, dan pada akhirnya
hanya yang berUANG lah yang bisa terbebas dari jeratan hukum, sedangkan yang
tak beruang, pasrah dengan nasib saja. Kelakuan memang kelakuan, Negeri ini
sebenarnya jauh dari kata merdeka, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan,
yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari
gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek
Minah yang lainnya, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung
ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang
melakukan korupsi uang Negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan
bebasnya.
Oleh karena itu
perlu adanya reformasi yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat
pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan
dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita
ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak
melupakan aspek kemanusiaan. Semua ini belum terlambat, Meski saat ini
Indonesia Masih jauh dari perkembangan dan
kemajuan dalam segi hukum dan politiknya, tapi kita sebagai rakyat
Indonesia bisa merubah semuanya dengan dimulai dari diri sendiri atau hal kecil
lainnya dan tentunya semoga Indonesia suatu saat nanti bisa dipegang seutuhnya
oleh putra-putri Indonesia, tanpa dikuasai oleh pihak asing.
Bahan Bacaan:
A Ubaedillah,
dkk., 2009, Pendidikan kewargaan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.