Konflik
Palestina dan Israel bukanlah konflik kemarin sore, dua negara itu bersiteru
lama sejak PBB menetapkan Israel sebagai sebuah negara pada tahun 1948. Tidak
ada lagi Islam dan Yahudi yang hidup berdampingan, padahal persis sebelum
penetapan itu mereka hidup rukun dalam satu ruang lingkup yang sama. Tidak ada
lagi Haifa yang penuh suara tawa anak-anak yang Bahagia, Haifa itu kehilangan
tuan rumahnya yang dipaksa pergi menempati kamp-kamp pengungsian.
Saya
sangat meyakini, bahwa konflik kedua negara tersebut bukan sepenuhnya perihal
Agama, karena Israel menumpahkan darah bukan hanya umat Islam tetapi juga
Nasrani. Tapi pertumpahan darah yang dilakukan Israel mengetuk pintu hati
siapapun yang melihatnya, bagaimana keserakahan itu menghilangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Namun saya merasakan dahaga pada apa yang melatarbelakangi perang
ini tak pernah terhenti, bahkan bungkamnya negara-negara besar atas konflik
kemanusiaan itu sungguh di luar nalar.
Sampai
kemudian pada awal tahun ini, saya menemukan sebuah buku tentang kisah pejuang
Perempuan Palestina : Leila Khaled. Yang ditulis oleh Sarah Irving. Buku ini
membuka pikiran tentang paham yang mengatakan bahwa konflik Palestina dan
Israel adalah konflik Agama, perjuangan kemerdekaan Palestina saat ini lebih
banyak di salah pahami sebagai perang agama. Padahal jika kita menengok ke
belakang dengan membaca buku ini, kita akan menemukan bahwa konflik itu terlalu
rumit dan Panjang, maka tidak terlalu berlebihan jika saya mengatakan semua
konflik ini tidak akan pernah terjadi seandainya PBB tidak menetapkan negara
Israel kala itu, tidak menutup kemungkinan Umat Islam dan Yahudi masih hidup
dengan berdampingan secara tenang di Haifa. Namun saya juga tidak menafikkan
kalau tanah yang diperebutkan itu menjadi tanah suci tiga agama, Islam, Nasrani
dan Yahudi yang memiliki keyakinan
masing-masing tentang tanah suci
peninggalan nabi-nabi.
Leila
Khaled, seorang pejuang Perempuan yang pernah membajak pesawat tersebut adalah
seorang anggota organisasi sayap kiri, PFLP. Leila Khaled lahir pada 9 April 1944 di
kota Pelabuhan Haifa. Keluarganya adalah bagian dari kelas menengah bawah yang
hidup cukup. Ayahnya, Ali Khaled memiliki sebuah kedai, bisnis yang telah
dijalankan selama lebih dari 20 tahun, sedangkan ibunya adalah ibu rumah
tangga. Leila adalah anak keenam dari dua belas bersaudara.
Pada
lembar-lembar pertama buku ini, penulis
memberikan catatan cukup penting tentang Haifa, yang pada masa kini
selalu dipamerkan Israel bagi pemirsa di dunia Barat sebagai citra jerih payah
negara itu membangun sebuah kota yang multi entnik, sebuah model bagaimana
orang Arab dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Sebagaimana kota-kota lain di
Palestina, Haifa memiliki Sejarah Panjang bagaimana komunitas-komunitas Muslim,
Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dalam hubungan yang cukup harmonis. Namun
pada tahun 1946, permusuhan antara pemukim Yahudi baru di Palestina dengan
penduduk Palestina mulai kental terasa di Haifa. Pada tahun itu, Palmach
yang merupakan sebuah organisasi bawah tanah Yahudi, menyerang langsiran kereta
di Haifa. Pada akhir tahun 1947, Irgun yang merupakan pasukan bersenjata Zionis
lainnya, mulai menyerang kampung-kampung Arab di sekitar Haifa yang segera
dibalas oleh orang Arab dengan menyerang pemukiman Yahudi. Saat itu penduduk
Palestina sudah mulai khawatir akan banyaknya
pemukim Yahudi di Kawasan tersebut, mereka merasa terpisahkan dengan
kota-kota Arab lainnya dan terkurung dalam lingkaran permukiman Yahudi yang
kian membesar.
Pada
masa kerusuhan itulah Leila Khaled tumbuh di lilngkungan tersebut. Leila
memiliki kenangan masa kecilnya dengan seorang teman Yahudi, gadis kecil
Bernama Tamara. Ia pun menceritakan hubungan yang cukup baik antara keluarganya
dengan para pemukim Yahudi di Badar sampai PBB memutuskan membagi wilayah
antara Palestina dan Israel pada November 1947.
Ungkapan
Leila Khaled Ketika mengenang peristiwa
itu: Titik balik pertemananku dengan Tamara terjadi pada 29 November 1947
ketika PBB mempartisipasi Palestina antara aku dan Tamara. Tamara diberi 56
persen dari tanah airku, sementara aku diharapkan untuk menerima Keputusan itu
dan memberi selamat pada kaum Tamara.” (Hlm 17)
Sejak
1948, tepatnya tanggal 9 April bertepatan dengan ulang tahun Leila, dikenang
sebagai hari berkabung bagi orang Palestina. Pada hari itu, 100 orang lebih
dari 750 orang penduduk desa Deir Yassin di sekitar Yerusalem dibantai oelh
Irgun dan Geng Stern, kaum milisi yang acapkali mengebom dan melakukan Tindakan
kekerasan lain pada komunitas Palestina. Aksi-aksi mereka kala itu menjadi
episode paling memalukan dalam Sejarah pendirian negara Israel.
Cerita
masa kecil Leila Khaled dalam buku ini ditulis dalam narasi wawancara, maka
tidak heran selain bercerita tentang Leila Khaled, buku ini juga banyak
memberikan informasi lain seputar Palestina, Gender dan organisasi-organisasi
perlawanan Palestina, khususnya PFLP yang menjadi wadah Leila dalam berjuang
untuk pembebasan Palestina. PFLP sendiri merupakan organisasi revolusioner
berhaluan Marxis yang memetik inspirasinya dari ide tokoh-tokoh seperti Che Guevara
dan Fidel Castro. Sebagaimana organisasi induknya, PFLP membuat peraturan ketat
tentang tugas dan kewajiban dalam kehidupan partai. Para anggota harus mendapat
izin dari pimpinan untuk Keputusan besar dalam hidup dan mereka juga harus
membuktikan kesungguhan mereka dengan aktivitas-aktivitas tertentu sebelum
diangkat menjadi anggota.
Semangat
kebebasan yang lahir dan tumbuh di jiwa Leila Khaled sempat membuat sang ibu
khawatir, mengingat Leila mulai ikut dalam demonstrasi Bersama anak-anak
Palestina lain sejak umur 10 tahun. Turun ke jalan Bersama seisi sekolah tidak
menjadi persoalan bagi kedua orangtuanya, karena itulah sikap anak Palestina
sejati yang selalu ingat akan asal usulnya dan Bersiap pulang ke tanah air.
Cerita-cerita dari kakak Leila mengenai pemukulan yang dialami demonstran dalam
aksi menolak kunjungan Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles ke Timur
Tengah kian memacu semangat Leila. Namun saat Leila terlibat jauh dalam aktivitas politik di ANM
dan pergi ke rapat-rapat Bersama kakak perempuannya, sang Ibu mulai cemas akan
reputasi para anak gadisnya. Pada 1950-an, Tirus adalah kota yang terbilang
konservatif dibanding Beirut yang lebih kosmopolit. Dukungan untuk gadis-gadis
Khaled malah datang dari orang yang tak diduga-duga yaitu ayah mereka, yang
sudah sakit-sakitan sejak berjuang untuk Palestina pada 1948. Menanggapi
kecemasan istrinya akan anak-anak Perempuan mereka, ia berkata : “ Jika
mereka ingin pulang ke tanah air mereka, mereka harus memperjuangkannya.”
Untuk
lebih lengkap dan jelas bagaimana perjalanan Leilla Khaled sebagai pejuang
Perempuan sayap kiri, saya sarankan untuk segera membaca buku ini, selain kita
akan mendapati inspirasi perjuangan, kita juga akan memahami lebih dalam
tentang Sejarah Panjang konflik Palestina dan Israel.
“
para Pemimpin negara Arab, yang gagal memberi dukungan penuh pada 1948,
menggunakan isu kemerdekaan Palestina sebagai platform politik yang bisa
dipamerkan antara satu sama lain, sambil mengalihkan pemberontakan dalam negeri
mereka sendiri tanpa ada komitmen yang sungguh-sungguh baik secara Politik
maupun militer.” (Hlm 41)
“
di luar Palestina dan dunia Arab, persoalan Palestina tidak tampak. Pejuang
Palestina sekarat dalam operasinya, rakyat Palestina menjadi korban segala
macam pembantaian dan penindasan oleh pendudukan Israel, sedangkan dunia
membutakan diri, pada tingkatan negara dan media semua berpaling menghindari
persoalan Palestina.” (Hlm 51)
“sepanjang
waktu ini, dalam seluruh pernyataanku, aku selalu mengatakan bahwa kami
terpaksa melakukan ini. Kami melakukannya bukan berarti kami menyukainya. Kami
paham bahwa orang-orang itu (para penumpang pesawat) tidak ada sangkut pautnya
dengan konflik ini. Tapi sebelum itu, tidak ada yang mendengar jeritan kami
dari tenda-tenda pengungsian, tak ada yang mau mendengar atau menyimak atau belajar soal penderitaan
kami. Tak ada yang tahu mengenai mereka yang disiksa di penjara. Atau bahkan
jika mereka tahu, mereka tak mau berbuat apa-apa. Jadi kami tak melihat adanya
cara lain dan kami hanya memakainya dalam waktu yang singkat, hanya sekedar
membunyikan lonceng pada dunia. Kami merasa ada ketidakadilan menimpa kami dan
tak ada orang yang mau tahu.” Leila Khaled.
(Hlm 53)
“demokrasi
Palestina adalah dunia yang dipenuhi senjata, harus ada keseimbangan antara
demokrasi dan senjata.” (Hlm 93)
Sedikit
informasi, ternyata Leila Khaled juga satu wadah organisasi dengan Gassan
Kanafani yang merupakan Gembong PFLP, kebetulan karya Kumpulan cerpennya yang
berjudul Matinya Ranjang nomor 12 baru saja saya baca akhir tahun 2023
kemarin.
Selamat
membaca dan menyelami Samudra ilmu yang tak bertepi. 😊