Kisah ini semoga memberikan sedikit saja pembelajaran untuk siapapun yang membacanya.
Happy Reading...
Mega
merah kian menghilang dan malam berlarian datang dengan warnanya yang
kehitaman. Aku duduk di kursi di balik meja yang di atasnya ada sebuah Netbook
merah, aku membiarkan jari-jari tangan ini menari di atas keyboardnya. Mendadak
aku ingin menceritakan kisah sebuah kota yang di dalamnya aku pernah merasa
seperti nano-nano, karena banyak rasa.
Putat-putat kata abang
kenek kopaja memanggilnya, iya kota itu memiliki nama Ciputat, kota dengan
penduduk yang cukup padat, padat karena manusia dan juga kemacetan yang tidak
pernah mau berhenti memutari hari. Kota yang pernah membuatku tidak ingin
beranjak pergi darinya, bahkan saat Ayah memintaku untuk pulang ke rumah dan
aku menolaknya, padahal beliau pergi ke dimensi lain pada beberapa bulan
setelahnya. Aku tidak tahu kenapa Ciputat begitu menyihirku, tidak ada yang
benar-benar indah dipandang sebenarnya, Kemacetan, asap Knalpot yang selalu
menyembur dari belakang membuat Polusi udara yang semakin tidak karuan, bahkan
Banjir melanda jika musim penghujan datang dan tempat tinggalku yang dihimpit
oleh rumah-rumah selalu terkena dampaknya dan semakin membuat sesak siapapun
yang memikirkan kondisi tempatnya. Tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan di
sini, Ciputat boleh saja dengan jati dirinya yang memang penuh kemacetan dan
kepadatan, tapi aku menemukan jati diri aku sendiri di kota ini, aku menimba
Ilmu dan bertemu orang-orang hebat di sini, aku menemukan musim-musim penuh
kesedihan, kebahagiaan, kesenangan, kejenuhan di sini, aku menemukan
Teman-teman yang semakin membuat aku tidak mau beranjak dari Ciputat dan tentu
aku menemukan Cinta yang tidak akan aku ceritakan di sini, biarkan ia menjadi
masa lalu dan berlalu.
(2015)
Ciputat,
pertengahan tahun.
Tahun
dimana aku lulus studiku dan juga tahun aku melanjutkan studi lagi. Pada mulanya,
Ayah tidak menyetujui untuk tetap berada di Ciputat setelah aku lulus dan mengharapkan aku segera pulang ke tanah
kelahiran pada tahun itu, tapi jelas itu bukanlah keinginanku. pada beberapa
hari setelah aku berada di rumah, akhirnya aku berangkat lagi ke Ciputat,
karena aku harus mengurusi beberapa hal. Pada saat itulah aku mengambil
kesempatan untuk mencari cara bagaimana agar aku bisa tetap tinggal di Ciputat,
dan akhirnya beberapa temanku mengajakku untuk melanjutkan studi dan
mendaftarkan diri di salah satu Universitas di Bogor yaitu Universitas Ibnu Khaldun. Temanku bahkan tidak segan-segan meminjamiku sepeda motor agar
aku mau mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Bogor, pada mulanya aku ragu
karena orang tua tidak mengetahui niatku itu, hingga akhirnya aku memutuskan
menelpon ibu untuk mengatakan yang sebenarnya dan ibu menyetujui permintaanku
agar tidak mengatakannya pada Ayah.
Beberapa
hari kemudian setelah aku melakukan test di Bogor, ayah menelponku dan
mengatakan, “Tidak perlu melanjutkan di Bogor, lanjutkan saja di Ciputat, di
tempat yang sama kamu belajar kemarin” aku hanya terdiam sambil sedikit tertawa
mendengarnya. aku memang selalu tidak bisa untuk mengatakan B jika Ayah sudah
mengatakan A, jadi aku putuskan untuk membatalkan studi di Bogor. keesokannya
pengumuman dari Bogor datang, bahwa aku
diterima di sana , tapi aku mengabaikannya karena Ayah sudah mengatakan tidak.
Ayah
dan Ciputat, Ayah dan Ciputat, itulah yang aku pikirkan setelah menjelang akhir tahun itu Ayah di ambil oleh
yang maha kuasa. Sebenarnya aku lebih mencintai Ayah atau Ciputat? Aku mungkin
sangat berdosa, karena lebih mencintai Ciputat daripada Ayahku sendiri, seorang
ayah yang pernah memintaku pulang saat Bulan Dzulhijah dan Muharam di tahun
itu, tapi aku menolak keduanya, dengan alasan aku sedang banyak tugas di
kampus, padahal tidak sama sekali.
“ayah
katanya mau ngomong” suara ibu di seberang Telepon mengatakan itu padaku. Lalu
ibu memberikan teleponnya pada Ayah, “halo Assalamualaikum, kenapa yah?” aku
langsung saja bertanya pada Ayah kenapa dan ayah hanya mengatakan “tidak
apa-apa, kamu tidak mau pulang?” aku langsung menjawabnya “tidak yah, aku
sedang banyak tugas di sini” mungkin ayah kecewa dengan jawaban aku “oh
yasudah, padahal di sini setelah lebaran Haji, mau menyembelih sapi” ayah
mengatakan itu padaku, mungkin ayah sangat berharap aku bisa pulang ke rumah,
karena Ayah juga ingin aku menikmati daging sapi yang biasa kami santap jika
lebaran Haji tiba, tapi aku tetap menolaknya dan mengatakan bahwa aktifitas di
sini hanya libur ketika hari pertama idul adha saja, sedangkan besoknya
aktifitas sudah kembali seperti semula. jadi aku tidak bisa pulang dan
sepertinya percakapan itu berakhir
dengan mengecewakan Ayah.
Ciputat,
aku sangat mencintaimu dan orang-orang yang pernah aku temui di dalamnya, aku
tidak ingin melewatkan waktu seharipun tanpa Ciputat di dalamnya. Kecintaanku
pada Ciputat membuatku hanya sering melakukan komunikasi dengan Ayah melalui
Telepon. “yah aku belum dapat kerja” aku bercerita pada Ayah tentang
kesedihanku hari itu, aku memang sudah bilang pada Ayah bahwa aku akan mencari
kerja untuk mengisi waktu senggang, karena kegiatan studi kali ini tidak
sepadat seperti studi sebelumnya, maka ayah mengizinkannya. Ayah hanya berpesan
“minta saja sama Allah yang banyak” dan seperti biasa nasehatnya seperti embun
yang menyejukkan fajar pagi hari.
Pada
beberapa bulan sebelumnya, aku menelpon Ayah dan mengatakan bahwa aku ingin
membeli handphone baru, karena sebentar lagi ada upacara kelulusan dan ayah
mengizinkannya, bahkan Ayah ingin dibelikan Handphone baru juga, tapi itu tidak
terwujud sampai Ayah pergi dari dunia ini. Aku pikir memang banyak keinginan
aku pada Ayah yeng belum terwujud dan Rencana ayah padaku yang juga belum
terwujud, selain karena pada Tahun itu Ayah pergi, juga karena jarangnya aku
berinteraksi dengan Ayah di rumah karena betahnya aku di kota yang bernama
Ciputat.
Pada
bulan Muharam, sebulan sebelum Ayah sakit keras, Ayah menelponku lagi dan
mengatakan agar aku Pulang karena akan ada acara lebaran Yatim dan lagi-lagi
aku digagalkan pada sesuatu yang sampai saat ini selalu aku sesalkan kenapa aku
tidak pulang dan lebih memilih hal yang selalu aku benci ketika aku
memikirkannya. Lagi aku selalu dengan wajah tanpa dosa menolak permintaannya, aku
tidak pernah tahu apa yang akan waktu berikan padaku di masa depan, jika aku tahu
akan terjadi sesuatu pada ayahku bulan depan, tanpa intruksi apapun aku pasti
pulang.
Waktu
bergulir secepat kilat, sebuah telepon masuk dari kakak tertuaku dan menyuruhku
agar pulang karena ayah sakit dan memang pada malam sebelumnya aku bermimpi Ayah
terbaring sakit di kamarnya. Setelah dua kali penolakan untuk pulang, akhirnya
hari itu saat pertengahan hari, saat aktifitas kota sedang padat-padatnya dan
matahari bersinar dengan garangnya aku pulang, menaiki sebuah kopaja jurusan Kp
Rambutan kemudian naik Bis satu lagi jurusan Cilegon Merak, sesampainya di
terminal Cilegon aku menaiki Angkot dan berhenti di Masjid Agung kota tersebut
untuk melaksanakan solat Ashar, dari tempat itulah aku dijemput oleh kakak
tertuaku untuk langsung menuju ke rumah sakit.
Selama
perjalanan menuju rumah sakit, kakak
mengatakan padaku agar tidak boleh terlihat sedih di depan Ayah, aku
hanya menganggukan kepala sambil mata yang terus menatap ke luar jendela
mentapi kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Sesampainya di rumah sakit,
aku langsung menuju tempat ayah dirawat, dan tidak ada yang bisa menahan air
mata untuk tidak keluar dari mataku saat aku melihatnya yang sedang duduk di
tempat tidur tempatnya dirawat. Pada mulanya aku memang tidak menangis dan
mencoba tetap tersenyum saat masuk ke ruang tempat ayah dirawat,
“assalamualaikum” aku mengucap salam dan orang-orang di dalam ruangan juga
menjawab salamku begitupun ayah yang langsung melihat ke arahku, aku langsung
menghampiri beliau yang terlihat lemah dengan wajahnya yang cukup pucat tapi
tidak menghilangkan keteduhan yang selalu ayah pancarkan. aku bersalaman dengan
Ayah sambil mengatakan “Ayah tidak apa-apakan?” dan sontak Ayah langsung
memelukku dan saat itulah tangisku pecah tak tertahan.
Ayah
hanya empat hari di rawat di rumah
sakit, bukan karena Ayah sudah sembuh, tapi karena ayah tidak mau berlama-lama
di sana, bahkan ayah juga tidak mau cuci darah karena penyakit ginjal yang dialaminya.
Ayah hanya ingin pulang ke rumah dan pihak RS
mengizinkannya dengan syarat
pihak keluarga harus menandatangani berkas khusus yang menerangkan bahwa
keluarga pasien tidak akan menuntut jika terjadi sesuatu. Hari itu menjelang
pertengahan hari, kami semua berkemas dan menuruti kemauan ayah. Sepanjang
perjalanan pulang ayah merintih kesakitan, kami semua diam-diam menangis
melihatnya dari tempat duduk belakang.
Sehari
setelah ayah rawat di rumah, aku minta izin untuk ke Ciputat karena ada jadwal
studi, ayah mengizinkannya dan keesokan
harinya aku sudah pulang lagi ke rumah dan empat hari kemudian saat fajar akan
terbit, Ayah pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya, Tuhan telah menjemputnya dalam solatnya. Saat itu, waktu
mendadak berjalan sangat lambat, makanan yang coba aku masukan melalui mulutku
mendadak terasa sakit dan sesak di dada, air mata? Tentu satu hal yang tak akan
pernah bisa aku tahan. Tapi aku ikhlas, asalkan Ayah di sana sudah tidak
merasakan sakit lagi. biarlah banyaknya harapan-harapan yang ingin aku
wujudkan, tergapai tanpa raga ayah lagi di atas bumi, aku pikir nafas ketulusan
hatinya masih berhembus sampai saat ini.
Dua
minggu setelah kepergian Ayah, aku semakin tidak ingin tetap tinggal di rumah,
aku ingin Ciputat, Ciputat dan Ciputat untuk menghibur kesedihan dan
kepedihanku. Pertama kalinya berangkat ke Ciputat tanpa menyentuh tangan ayah
dan lagi-lagi aku menangis tak tertahan, ah memang tidak ada yang menginginkan
perpisahan, tapi ini sudah hukum alam, manusia hanya butuh sabar
sebanyak-banyaknya.
Setelah
kepergian ayah, aku pernah menelpon Ibu pada tengah hari saat Ciputat diguyur
ribuan air hujan dari langit, aku menangis sambil mengatakan “kalau ibu tidak
cukup biaya, aku tidak apa-apa berhenti dari studiku” ucapku sambil terisak
tangis, dan ibu langsung mengatakan bahwa aku tidak boleh berhenti. Setelah ibu
tidak mengizinkanku untuk berhenti studi, aku benar-benar gencar menyebarkan Cv
kemana-mana, meskipun aku harus mendapatkan hasilnya satu tahun kemudian, pada
pertengahan tahun 2016.
Pada
akhir tahun 2017 setelah kelulusanku, aku memutuskan untuk pulang ke tanah
kelahiran dan tentu itu hal terberat, tapi lebih berat lagi jika aku tidak
pulang, karena sama saja aku mengabaikan amanah Ayah. Aku meninggalkan Ciputat
pada saat Matahari melambai-lambaikan sinarnya di ufuk senja, aku meninggalkan
kota itu dengan jutaan kenangan menyerbu bukan main. Sepanjang perjalanan, aku
hanya menatap ke luar jendela, menatap tempat-tempat yang di dalamnya aku
pernah menghabiskan dengan orang-orang tercinta yang sudah seperti keluarga
kedua untukku. Aku akan merindukannya, pasti aku akan sangat merindukannya, 7
tahun Ciputat menjadi kota tempat aku
berkeluh kesah, bahagia, berjuang, menangis dan bahkan aku pernah menangis di
derasnya hujan dengan posisi aku mengendarai sepeda motor, tidak perlu
diceritakan lagi mengapa, karena pada akhirnya seberapa jauhpun kamu melangkah,
Rumah selalu menjadi tempat kembali, tidak peduli kamu suka atau tidak, Rumah
akan tetap menantimu untuk kembali.
Ciputat
benar-benar telah membuatku menjadi manusia yang paling tidak betah berada
lama-lama di tanah kelahiran, sejujurnya ini sangat menyakitkan ketika harus
mengingatnya lagi, tapi tidak apa-apa, semoga ini menjadi pelajaran untuk
siapapun yang sedang melangkahkan kakinya jauh dari rumah. Kembalilah sebelum
semuanya terlambat, pulanglah saat orang tua memintamu untuk itu, karena kamu
tidak akan tahu apa yang telah waktu rencanakan, pada saatnya nanti kita tidak
akan pernah bisa berdiskusi dengan waktu, apalagi sampai berdebat dengannya.
‘Silahkan
pergi, asalkan tempat kembalimu adalah aku, rumahmu tempat kelahiranmu’
(Fitriyah Syam’un)
Tulisan ini dimuat dalam buku Antologi yang diterbitkan oleh Sahabat Literasi dengan Judul asli "Pernah sangat Mencintaimu" Cerita tentang Kota, tahun 2020.