Alhamdulillah
setelah cukup lama saya tidak me-Review Novel yang baru saya baca, akhirnya
sekarang saya ingin me-Review kembali salah satu Novel dari Najib Mahfudz salah
seorang sastrawan dari negeri Piramida. Ini kali pertama saya berkenalan dengan
Novel beliau yang berjudul Karnak Cafe, sebuah kafe dengan obrolan-obrolan
Politik Mesir pada pertengahan abad ke-20.
Sebelum
membahas lebih lanjut terkait Novel tersebut, saya akan sedikit memperkenalkan
siapa Najib Mahfudz, mungkin di dunia para Sastrawan, nama Najib Mahfudz sudah
tidak asing lagi . tapi di sini saya akan sedikit menulis tentang siapa Najib
Mahfudz. Najib Mahfudz lahir pada tahun 1911 M dan wafat pada tahun 20016 M. Beliau
adalah sastrawan Mesir terkenal, peraih Nobel Sastra pada tahun 1988 M. Najib mulai menulis sejak usia tujuh belas
tahun. Debut novelnya terbit pada tahun 1932 dan lebih dari sepuluh novel telah
ia tulis sebelum revolusi 1952-era dimana Najib berhenti menulis untuk beberapa
tahun. Pada tahun 1957, Najib menerbitkan Trilogi Kairo (Bayn al-Qashrain,
Qashr al-Syawq, al-Sukkariyyah). Yang melambungkan namanya di seantero
dunia Arab. Berkat karya trilofi itu, ia
dikenal sebagai pengamat kehidupan masyarakat Urban Nasional. Setelah lama
tidak menciptakan karya, Najib mulai menulis lagi. di era pasca Revolusi 1952
itu, ia kerap menyusupkan pandangan politiknya secara terseblubung dalam wujud
kiasan dan simbol di setiap tulisannya. Najib Mahfudz telah menulis hampir 40
Novel sekaligus ratusan cerpen, itu artinya saya baru mencicipi titik yang di
buat oleh Najib Mahfudz, belum berkelana ke titik-titik lainnya yang masih
banyak.
Dalam
Novel Karnak Cafe ini, Najib Mahfudz memang sedang menggambarkan bagaimana
kritisnya dunia Mesir pada masa-masa menjelang revolusi, bahkan para segolongan
pemuda yang dituduh dan terlibat dalam pergerakan menentang Revolusi
mendapatkan penyiksaan yang sama di penjara. Saya jadi ingat sekali dengan apa
yang terjadi dengan para tokoh Ikhwanul Muslimin, tidak memandang anggota
laki-laki atau perempuan, semuanya mendapatkan penyiksaan yang sama. Dan organisasi
Ikhwanul Muslimin itu dianggap sebagai organisasi yang menentang Revolusi. Bahkan
dalam novel itu diceritakan seorang pemuda ditangkap karena memiliki jenggot
yang di identitaskan sebagai anggota dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Para pengkaji
dunia Islam, tentu tidak asing dengan nama Sayyid Quthb semoga allah
merahmatinya, beliau dihukum mati karena dianggap menentang pemerintahan yang
kala itu sangat menganut sistem barat. Tapi di sini saya tidak akan membahas
panjang lebar bagaimana getirnya Mesir pada masa-masa itu. kembali ke Novel
Karnak Cafe, Karnak Cafe dijadikan sebuah basecamp para pemuda-pemuda dengan
semangat yang tinggi dalam mengkritisi pemerintah Mesir ketika itu, sehingga
menyebabkan sebagiannya harus merasakan penyiksaan di dalam penjara. Ah betapa
terbatasnya kebebasan mereka dalam mengemukakan opini terhadap negerinya
sendiri. Dalam novel ini ada sebuah prosa yang dikatakan Khalid Safwan yang
ketika itu sudah dipecat dari kepolisian dan berkenginan bergabung dengan
pemuda-pemuda yang berada di Karnak Cafe, padahal tahun-tahun sebelumnya Khalid
adalah salah satu atasan yang melakukan penyiksaan terhadap beberapa pemuda di
Karnak Cafe.
Kepolosan
di desa,
Nasionalisme
di kota,
Revolusi
dalam kegelapan,
Sebuah
kursi memancarkan kekuatan tak terbatas,
Sepasang
mata gaib mengungkapkan kebenaran,
Sesuatu
yang hidup sedang sekarat,
Dan sebuah
mikroba tak kasat mata berdenyut dalam kehidupan.
Selain
itu tokoh utama ‘AKU’ di dalam novel ini tidak disebutkan siapa namanya, sampai
akhir ia hanya menyebut dirinya ‘AKU’. Sekian review dari saya tentang Novel
ini, bagi yang penasaran bagaimana keadaan Mesir pada masa itu, silahkan
membaca Novel ini, kemudian bisa dilengkapi dengan buku-buku sejarah atau para
tokoh-tokoh pergerakan yang berjuang melawan Pemerintahan Mesir. Sekian dan
Terimakasih.