Di awal pekan hari
sabtu bulan Safar, aku yang sudah beberapa kali menunda pulang ke rumah,
akhirnya hari itu tekad kuat mendorongku. Sebelumnya pada hari Raya Idul Adha,
Ayah dengan suara lembutnya di ujung telepon menyuruhku untuk pulang ke rumah,
tapi aku menolaknya karena untuk lebaran Haji, kampus tidak memberikan libur
panjang. Sebenarnya bisa saja pulang, hanya saja aku sedikit manja dengan badan
yang harus diajak bolak balik Tempat rantauan ke kampung halaman. Kemudian pada
tanggal 10 Muharam, ayah dengan suara di ujung telepon sana menyuruhku untuk
pulang, tapi aku mengatakan tidak bisa, karena sedang sibuk kuliah dan alasan sebenarmya
adalah karena aku memang tidak mau pulang. Dua momen itu yang sampai sekarang
selalu aku sesali kenapa aku tidak pulang saja ke rumah.
Bulan Safar/November, Hari Sabtu 21 November akhirnya aku pulang ke rumah, setelah saudara tertuaku menyuruh untuk pulang karena Ayah di rawat di rumah sakit. Tetapi hari itu sebelum akhirnya aku pulang, aku sengaja menunggu telepon dari ayah, agar beliau juga yang menyuruh aku pulang, tapi beliau tidak menghubungiku. akhirnya aku yang menghubungi nomor beliau, tapi tidak diangkat. Dan akhirnya hari itu aku putuskan untuk pulang. Oh iya malam sebelum besoknya aku pulang, aku bermimpi ayah terbaring sakit di tempat tidurnya sambil tersenyum.
Setelah beberapa jam perjalanan, aku sampai di kota baja. Aku langsung singgah di Masjid Agung kota baja tersebut, sambil menunggu jemputan aku melaksanakan solat ashar terlebih dulu. Sebenarnya bisa saja aku langsung ke rumah sakit, tapi aku tidak tau rute, tidak tau harus naik angkot yang mana dan ditambah badan aku yang lumayan lelah. Setelah menunggu, akhirnya saudara tertua datang dengan Mobil keramat milik Ayah. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku menatap jalan ramai di luar jendela mobil. Sesekali bercuap-cuap sampai kemudian saudara tertua menyuruhku agar nanti saat ketemu ayah aku tidak boleh menitikkan air mata, bersikaplah ceria. Kurang lebih seperti itu yang ia katakan. Sesampainya Rumah sakit, aku berjalan mengikuti saudara tertua itu sampai akhirnya tiba di kamar tempat ayah di rawat. Aku mengucap salam, mengulas senyum sambil mengatakan 'Ayah sakit apa? ' tanpa bicara apa-apa, ayah langsung memelukku (aku tidak sadar bahwa ini pelukan terakhir) sambil menangis dan akhirnya akupun ikut menangis, menangis bersama.
Malam itu aku tidak menginap di rumah sakit, karena aku tidak membawa baju ganti. Sebelum pulang dari rumah sakit, aku menghubungi Teteh (panggilan untuk saudari perempuan tertua) yang ada di Bandung, menyuruhnya agar segera pulang. Meski ayah tidak menyuruhku untuk itu, tapi aku yakin tidak ada orang tua yang tidak senang dengan kedatangan anak-anak nya, meski sebesar apapun masalah yang telah dilakukan anak-anaknya. Besoknya hari Ahad, teteh yg dari Bandung sampai di rumah sakit dan benar saja ayah langsung memeluknya sambil menangis. Bagaimana kondisi ayah kala itu? Ayah duduk saja, ibadah duduk, tidurpun duduk. Ayah yang tidak mau melakukan cuci darah, memutuskan untuk pulang saja ke rumah pada hari selasa. Dan pihak rumah sakit sudah lepas tangan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap ayah, karena sebenarnya sakit ayah cukup parah, bahkan sangat.
Hari selasa di tengah
hari dengan sinar Mentari yang bersinar, kami membawa ayah pulang. Saudara
tertuapun membawa mobil dengan sangat pelan, ayah duduk di sampingnya. Aku dan keluarga
yang lain di bagian tengah dan belakang. Ada adegan dimana kami semua menangis
di dalam mobil. saudara tertua yang sedang menyetir mobil, tiba-tiba tangan
kirinya mengurut pundak ayah yang sedang kesakitan sambil menangis, sontak kami
yang dibelakang menangis semua. Sesampainya di rumah, semua orang sudah
menunggu, saudara-saudara ayah, keponakan-keponakan ayah dan masih banyak yang
lain. Ayah langsung dituntun di ruangan depan kamar ayah, beliau langsung duduk
dan di urut oleh orang-orang yang sudah menunggu di rumah. Malamnya aku dengan
saudara-saudara yang lain menjaga beliau, aku yang sedang berada di samping
beliau mengatakan bahwa besok hari rabu
aku akan kuliah, karena memang ada jam kuliah, beliau mengizinkan aku berangkat
keesokannya. Sebelum berangkat beliau mengatakan, 'nanti pulang lagi kan? ' aku
mengatakan iya. Dan aku baru pulang besok, saat hari kamis. Tidak sedikitpun
terbesit bahwa beliau memang sudah tidak akan lama lagi. Ini yang membuat
aneh, biasanya kalau ayah sakit, aku selalu baper dan selalu mikir macam-macam,
tapi yang ini tidak sama sekali. Malam kamis, saat aku tidur di tempat
rantauan, aku bermimpi bertemu dengan seorang bapak berjubah putih dan badannya
sedikit berisi, mengatakan 'kamu yang sabar ya' setelah itu ia pergi. Aku
lagi-lagi tidak berfikir macam-macam, aku pikir ayah akan sakit panjang,
makanya aku harus sabar. Dan perlu pembaca sedikit tau tentang aku yang
sebenarnya tidak mau percaya dengan mimpi. Jadi mau mimpi apapun sebenarnya
tidaklah berpengaruh apapun, karena aku fikir itu cuma mimpi, Baik dan buruk
dalam hidup kita semua sudah ditentukan Allah.
Banyak yang datang menjenguk Ayah, memberikan saran berobat sana, berobat sini, berobat ini dan itu. Terimakasih semoga Allah membalas semua nilai ikhlas kebaikan kalian untuk Ayah. Hari sabtu, sebenarnya aku ada jam kuliah, tapi aku bersyukur aku tidak berangkat. Pagi hari sabtu, ayah mengucapkan terimakasih padaku karena aku tidak kuliah, mengatakan 'sudah izin sama dosennya kan? ' aku katakan sudah semua yah. Di tengah hari, hari sabtu ayah menyuruh mamah dan saudara tertua untuk membayarkan beberapa hutang kepada teman beliau. Oh iya pada hari sabtu juga, keluarga mencari kursi terapi buat ayah, yang merupakan saran dari beberapa orang yang menjenguk. Tapi kursi itu tidak ada, alias kosong, Habis.
Aku ingat di tengah
hari itu ayah marah, karena saudara tertua dan saudari tertua menyarankan ayah
agar mau berobat ke salah satu tempat. Setelah marah, ayah dengan lembut
mengatakan 'kamunya yang sabaaaaarrrr, ayah lagi nunggu obat yang udah
dipesan'. Di hari sabtu ini juga aku terakhir menuntun ayah ke kamar mandi.
Maghrib Ahad, ayah
yang sedang kesakitan, melakukan tayamum dan solat sendiri. Kami tidak tau
bahwa di ruangan itu ayah sendirian. Tapi ayah melakukannya sendiri dan
ternyata itu adalah solat maghrib terakhirnya. Malam Ahad, masih banyak
orang-orang membesuk Ayah, Terimakasih saudara-saudara ku, semoga nanti kita
berkumpul lagi di surga Allah. Malam itu aku tidak menemani ayah tidur di
depan, karena masih banyak orang. Akhirnya aku dan teteh yang dari Bandung,
tidur berdua di kamar belakang. Kemudian saudara tertua membangunkanku agar
menemani ayah di depan. Kemudian aku ke depan, ayah sempat marah karena
oksigennya sudah habis dan masih menunggu paman dan kakak ipar yang masih
mencari oksigen di beberapa Apotek. Setelah itu aku tertidur di ruangan ayah,
tapi melihat masih ada yang datang dan mengobati, aku pindah ke ruang TV.
Disinilah awal sesak dan air mata itu dimulai. Kurang lebih Jam 02.00 dini
hari, Bibi yang merupakan adik perempuan ayah membangunkanku sambil mengatakan
'bangun-bangun ayah udah sesak'. Aku yang kaget langsung berdiri, lari ke kamar
belakang membangunkan teteh yg tertidur di situ. Kita langsung kumpul semua di
depan dan apa yang dikatakan ayah membuat aku rasanya marah sekali saat itu.
Ayah mengatakan 'udah jangan diurut lagi udah tidak terasa', ayah melihat jam
lagi dan mengatakan 'jam berapa saya mau dijemput ya allah' kemudian beliau
mengatakan pada kami semua yang ada di situ 'kalian yang ikhlas yaa' sontak
kami semua menangis termasuk aku yang mengatakan 'bagaimana kalau aku tidak
ikhlas' jika mengingat bagaimana aku kala itu, aku seperti orang yang tidak
paham agama. Aku nangis sambil jalan menuju ruang belakang, kemudian aku ke
depan lagi. Saat itulah aku melihat ayah seperti sedang melihat sesuatu,
kemudian sadar kembali dan memberikan beberapa nasehat kepada aku dan teteh
yang dari Bandung, setelah itu beliau minta agar orang-orang disekitar membaca
surat AlMulk setelah sebelumnya mereka membaca surah Yaasin dan beliau mengatakan
'adem/sejuk' saat mendengar surat Almulk dibacakan. setelah itu beliau solat
isya jam 03.45. Karena memang biasanya beliau solat menunggu sakitnya sedikit
mereda, sedangkan malam itu sakitnya luar biasa. Kemudian Beliau tayamum
dibantu saudara tertua, ipar-ipar dan keponakan2 nya. Di rakaat kedua itulah
ayah pergi di pangkuan Allah, semoga Allah jadikan kuburnya taman-taman
surganya. Ayah sudah menerima jemputan yang sedari itu ditunggunya,
tanggal 18 Safar/29 November pukul 04.00 ayah kembali lagi ke alam kekal.
Oh iya obat yang ditunggu ayah, baru datang hari senin, saat melihat obat itu, kamipun menangis lagi. Bukan menangisi takdir yang sudah tertulis, kami hanya menangis karena Rindu.
Ayah Di malam 27 Ramadhan ini aku menulisnya, aku seorang anak yang penuh penyesalan karena tidak benar-benar berbakti kepadamu. Semoga saat kami menyusulmu ke dimensi sana, kita akan bersama lagi. Ayah aku menitipkan salam melalui Paman ( adik laki-laki ayah) yang menyusulmu bulan Sya'ban lalu, aku hanya membisikannya dalam hati, saat beberapa jam lagi paman akan pergi. apakah salam itu sampai? Ahh aku seperti terlalu banyak berimajinasi. Semoga Ayah dan saudara-saudara nya yang sudah tidak ada di dimensi dunia, bisa berkumpul bersama di sana dengan curahan Rahmat dan pengampunan Allah. اامين
Ini sekelumit cerita
aku dan hari-hari terakhir ayah, cerita singkat ini semoga dapat diambil Ibrah,
agar siapapun yang sedang merantau jangan lupa untuk pulang.