Sabtu, 25 Februari 2023

Abu Nawas dan Syair Penyesalan Dosa

 


Siapa yang tidak mengenal Abu Nawas, seorang tokoh central Islam dalam bidang Tasawuf, Sastra dan seorang yang sangat cerdas dan jenaka. Seorang dengan nama asli Hasan ini merupakan penyair dengan bakat yang besar, jangkauandan variasi puisinya luas, memiliki cakrawala pengetahuan yang luas, hafal al-Qur’an dan Hadis, seorang yang dermawan bahkan karena kedermawanannya ini beliau hidup miskin.

Namun dalam sejarahnya dikatakan bawha Abu Nawas dikenal publik sebagai seorang yang bejat dan tidak bermoral karena puisi-puisinya yang menggambarkan tentang homo, penikmat seks, penggila anggur, pemuja Iblis, antipati terhadap agama dan metafora-metafora lain yang amoral. Namun apakah benar Abu Nawas seseorang yang seperti ditulis dalam pusinya ataukah itu hanya metafora yang Abu Nawas cipta untuk mengkritk praktik agama para pembesar pemerintahan kala itu.

Karena dalam banyak syairnya juga Abu Nawas menuliskan syair-syair yang penuh dengan nilai-nilai batiniah Islam, karena hal inilah Abu Nawas dikategorikan sebagai seorang sufi yang mempraktikan tasawuf secara nyata di tengah-tengah kehidupan sosial.

Abu Nawas dikenal dekat dengan penguasa kala itu, meskipun beberapakali pernah dipenjara olehnya. Abu Nawas juga dikenal oleh parapenguasa sebagai Problem Solver untuk pihak istana yaitu ketika warganya datang ke istana raja dan meminta solusi atas permasalahan mereka, dan ketika raja tidak menemukan solusi atas permasalahan tersebut, Abu Nawas menjadi orang pertama yang dipanggil ke Istana.

Dalam syairnya Abu Nawas mengkritisi pemerintah tetapi di sisi lain ia memuji para pemimpin dengan syair-syair indahnya. Dalam syairnya Abu Nawas mengkritisi orang-orang yang sholat dan memuji orang-orang yang mabuk, tapi di sisi lain ia merendahkan dirinya sendiri karena dosa-dosanya.

Tenggaklah anggur,meski dilarang

Karena Allah mengampuni bahkan dosa yang besar

Bintang keberuntungan telah terbit malam ini

Ketika seorang pemabuk menyerang pemabuk yang lain

Kami melewatkan waktu untuk bersujud kepada iblis

Hingga para biarawan membunyikan lonceng saat fajar

Dan seorang pemuda pergi, menyeret jubah yang menyenangkan

Yang telah kunodai dengan perilaku-ku yang jahat

Khalifah Harun ar-Rasyid pernah memerintahkan Abu Nawas untuk menjadi tenaga pendidik di Persia. Ia terkenal sebagai guru agama yang jenaka dan sangat humoris. Penjelasannya luas dan segar, sebab ucapan-ucapannya senantiasa puitis. Di luar kelas, Abu nawas  menulis puisi-puisi yang kontroversial, kritis terhadap pembesar dan kondisi masyarakat, namun dengan nada yang jenaka. Meski banyak yang mencemooh Abu Nawas karena syair-syair yang ditulisnya, namun rasa kagus dan cinta para murid kepadanya tidak berkurang.

Abu Nawas dikenal sebagai orang yang toleran dalam beragama, ia bahkan mengajak penganut Yahudi dan Nasrani untuk memperthankan keyakinannya agar bisa menjalankan agama dengan baik sesuai dengan panduan agamanya masing-masing. Meski begitu Abu Nawas merupakan seorang muslim yang tak tergoyahkan, meskupun banyak pandangan-pandangan tidak baik pada dirinya disebabkan syair-syair yang ditorehkannya.

Seseorang yang dihormati Abu Nawas yang bernama Syekh Zakariyah al-Qusyairi pernah memprotes kepada Abu Nawas, karena tidak menemukan satu mushafpun di rumah Abu Nawas. namun sang penyairpun hanya menjawab tenang “ terang (al-Qur’an) dan gelap (diri Abu Nawas) bukanlah teman sekamar.”

 Selain terkenal dengan puisi anggurnya, Abu Nawas juga sering membuat syair untuk dirinya sendiri atau biasa disebut dengan Puisi Kemusnahan Diri yang paling fasih dan indah sepanjang kesusastraan Abbasiyah. Puisi ratapan ini ditulis ketika Abu Nawas terbaring sakit.

Kemusnahan telah merayapi bagian bawah dan atas diriku

Kulihat anggota tubuhku sekarat satu demi satu

Tidak ada satu jam pun kulewati kecuali demikian kurasa

Ia mengurangi bagian diriku sepintas lalu

Seiring kekuatanku berkurang, berkurang pula ketaatanku

Kini kuingat semuanya

Ketika sujud kepada Tuhan dalam keadaan kurus lemah

Betapa kusesali malam-malam itu

Dihabiskan dalam hiburan dan main-main

Kini telah melakukan setiap perbuatan jahat

Semoga Allah memaafkan dan memberi kita pengampunan.

Di akhir hidupnya, Abu Nawas menulis banyak puisi Zuhdiyat. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa di akhir-akhir hidupnya ia bertaubat dari kehidupannya yang bergelimang lumpur dunia. Meskipun apakah benar Abu Nawas di masa lalunya adalah seorang peminum dan penjilat penguasa. Tidak ada yang memastikan kebenaran sejarah tersebut, meskipun selalu dinarasikan bahwa Abu Nawas adalah seorang peminum berat dan melakukan perbuatan-perbuatan bejad lainnya.

Apa yang akan menjadi pembelaanku

Terhadap segala yang telah aku lakukan?

Apa yang akan aku katakan pada Tuhanku?

Alasan apa yang akan menjadi milikku

Yang hidup tiada mencari kebenaran

Atau merangkul kebaikan yang akan kutinggalkan?

Duhai kesengsaraan saat kembaliku

Betapa kasihanapa yang telah hilang dari hidupku!

Abu Nawas memang tidak memiliki karya besar seperti imam Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin, atau Ibnu Arabi dengan Fushush al-Hikam, atau Jalaluddin Rumi dengan Matsnawi, atau Ibnu Atha’illah as-Sakandari dengan al-Hikam. Abu Nawas mewariskan kesufiannya bukan dalam bentuk kitab, melainkan dalam bentuk anekdot dan syair-syairnya. Salah satu syair termahsyurnya sampai saat ini adalah syair al-I’tiraf.

Ada dua pendapat mengenai lahirnya syair al-I’tiraf ini. ada yang mengatakan bahwa aslah seorang murid Abu Nawas yang bertanya bagaimana cara merayu Tuhan, lalu Abu Nawas menyodorkan syairnya. Namun ada pula yang mengatakan bahwa syair ini ditulis oleh Abu Nawas setelah beliau bermimpi, dalam mimpinya Abu Nawas dinasihati oleh seseorang yang berkata kepadanya, “jika engkau tidak mampu menjadi garam yang bisa melezatkan makanan, setidaknya jangan menjadi lalat yang membuat jijik dan merusak makanan.”

Setelah itu Abu Nawas langsung terbangun dan menangis histeris. Ia menyesali hidupnya yang telah ia sia-siakan. Puisi-puisi yang diciptakannya praktis berubah menjadi untaian dzikir dan doa. Dan salah satunya syair al-I’tirof ini:

Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli Surga Firdaus

Dan aku tidak kuat menahan siksa Neraka jahim

Maka terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku

Sesungguhnya engkau Pengampun dosa-dosa yang besar

Dosa-dosaku bak bilangan pasir

Maka terimalah taubatku, wahai Tuhan yang maha agung

Umurku berkurang setiap hari, sedang dosaku kian bertambah

Bagaimanakah aku menanggungnya?

Wahai Tuhan, hambamu yang penuh maksiat datang menghadapmu

Mengakui segala dosa dan berdoa kepadamu dengan sungguh-sungguh

Bila engkau mengampuninya, sungguh engkau memang maha pengampun

Dan bila engkau menolaknya, maka kepada siapa lagi

Aku berharap selain kepadamu?

Ketika masa di saat Abu Nawas  wafat, kawannya yang bernama Ibnu Khalikan tidak mengetahui kabar tersebut karena ia sedang tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu Abu Nawas. Ibnu Khalikan bertanya, “wahai Abu Nawas, apa balasan Allah terhadapmu?” Abu Nawas menjawab “Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang kutulis saat sakit sebelum wafat. Syair itu kusimpan di bawah tempat tidurku.”

Ketika terbangun, Ibnu Khalikan langsung mendatangi kediaman keluarga Abu Nawas. Sesampainya di sana, ia benar-benar tak menyangka, rupanya sang teman telah meninggal dunia. Orang-orang berkumpul memandikan jenazahnya. Kemudian Ibnu Khalikan menuturkan mimpinya kepada keluarga Abu Nawas dan meminta izizn untuk menggeledah kamar Abu Nawas. Ternyata benar, ia menemukan secarik kertas berisi syair di bawah tempat tidur Abu Nawas. Ia membaca dengan seksama syair itu dan tak terasa ia menangis, berikut syair terakhir Abu Nawas tersebut:

Ya Allah jika dosaku sangat besar

Aku tahu, ampunan-mu amatlah besar

Jika tidak boleh berharap kepada-mu kecuali orang-orang baik

Lalu kepada siapa lagi si pendosa ini akan berharap?

Aku telah memohon kepada-mu dengan sikap hormat

Sebagaimana yang telah engkau perintahkan

Maka jika engkau menolak tanganku ini

Lalu siapa lagi yang akan mengasihiku?

Tak ada pada diriku tali penyambung

Antara aku dan engkau kecuali harapan

Maka demi keagungan ampunan-mu

Aku pun kepada-mu berserah diri.

Dalam sejarahnya konon Imam Syafi’i pernah berguru hadist kepada Abu Nawas, namun saat kewafatan Abu Nawas, Imam Syafi’i menolak untuk menshalati jenazah gurunya itu karena layaknya pandangan orang pada umumnya, Abu Nawas dipandang sebagai orang yang Zindiq, Bahkan Kafir. Dan dalam fiqh, Hukum menshalati orang kafir adalah haram. Lantas  Ibnu Khalikan mendekati Imam Syafi’i dan menceritakan mimpinya. Kemudian ia memberikan secarik kertas berisi puisi tersebut. Seketika, Imam Syafi’i menangis sejadi-jadinya, begitu juga beberapa orang yang hadir. Kemudian Imam Syafi’i mengajak orang-orang yang hadir untuk menshalati jenazah Abu Nawas dan Imam Syafi’i menjadi imamnya.

Abu Nawas pergi dengan meninggalkan syair-syair Master piecenya, syair penyesalan dosa-dosa masa lalunya menggugah para penikmat lembar-lembar sejarah. Perjalanan hidupnya yang jenaka membawa napas segar dalam dunia Tasawuf dan kesusatraan. Semoga ampunan dan rahmat Tuhan selalu menyelimutimu wahai Abu Ali al-Hasan bin Hani’al-Hakami. . .

 


BANJIR BAGIAN DARI INDONESIA by Ani Maftiyah (Kelas X IPS Al-Bustaniyah)

 


Siapa yang tidak kenal dengan bencana banjir?

Banjir di Indonesia sudah seperti perayaan, yang setiap tahun ada. Banjir tidak boleh dibiarkan menjadi ritual tahunan dari tahun ke tahun, bukannya berkurang melainkan malah bertambah parah. Kawasan yang terendam banjir makin meluas karena sekarang diperkirakan tidak kurang 70 % wilayah sekitar mengalami banjir. Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan sehingga merendam daratan (seringnya curah hujan).

Adapun penyebab banjir  terjadi yaitu penyumbatan aliran sungai yang disebabkan membuang sampah di sungai sembarangan. bisa juga karena penggundulan hutan yang dilakukan oleh ulah tangan manusia yang berpikir singkat tanpa berpikir efek ke depannya bagaimana, tindakan tersebut berupa penebangan hutan yang tidak menggunakan sistem tebang pilih, akibatnya tidak ada pohon menyerap air sehingga air mengalir tanpa terkendali.

Dampak yang ditimbulkan dari banjir dapat menimbulkan korban jiwa , rusaknya sarana dan prasarana, dan timbulnya berbagai macam penyakit.

Mari kita sama-sama menanggulangi bencana banjir dengan menghilangkan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan mari kita menghijaukan negara INDONESIA ini.


72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...