Siapa
yang tidak mengenal Abu Nawas, seorang tokoh central Islam dalam bidang Tasawuf,
Sastra dan seorang yang sangat cerdas dan jenaka. Seorang dengan nama asli
Hasan ini merupakan penyair dengan bakat yang besar, jangkauandan variasi
puisinya luas, memiliki cakrawala pengetahuan yang luas, hafal al-Qur’an dan
Hadis, seorang yang dermawan bahkan karena kedermawanannya ini beliau hidup
miskin.
Namun
dalam sejarahnya dikatakan bawha Abu Nawas dikenal publik sebagai seorang yang
bejat dan tidak bermoral karena puisi-puisinya yang menggambarkan tentang homo,
penikmat seks, penggila anggur, pemuja Iblis, antipati terhadap agama dan
metafora-metafora lain yang amoral. Namun apakah benar Abu Nawas seseorang yang
seperti ditulis dalam pusinya ataukah itu hanya metafora yang Abu Nawas cipta
untuk mengkritk praktik agama para pembesar pemerintahan kala itu.
Karena
dalam banyak syairnya juga Abu Nawas menuliskan syair-syair yang penuh dengan
nilai-nilai batiniah Islam, karena hal inilah Abu Nawas dikategorikan sebagai
seorang sufi yang mempraktikan tasawuf secara nyata di tengah-tengah kehidupan
sosial.
Abu Nawas
dikenal dekat dengan penguasa kala itu, meskipun beberapakali pernah dipenjara
olehnya. Abu Nawas juga dikenal oleh parapenguasa sebagai Problem Solver untuk
pihak istana yaitu ketika warganya datang ke istana raja dan meminta solusi
atas permasalahan mereka, dan ketika raja tidak menemukan solusi atas
permasalahan tersebut, Abu Nawas menjadi orang pertama yang dipanggil ke
Istana.
Dalam
syairnya Abu Nawas mengkritisi pemerintah tetapi di sisi lain ia memuji para
pemimpin dengan syair-syair indahnya. Dalam syairnya Abu Nawas mengkritisi
orang-orang yang sholat dan memuji orang-orang yang mabuk, tapi di sisi lain ia
merendahkan dirinya sendiri karena dosa-dosanya.
Tenggaklah
anggur,meski dilarang
Karena
Allah mengampuni bahkan dosa yang besar
Bintang
keberuntungan telah terbit malam ini
Ketika
seorang pemabuk menyerang pemabuk yang lain
Kami
melewatkan waktu untuk bersujud kepada iblis
Hingga
para biarawan membunyikan lonceng saat fajar
Dan seorang
pemuda pergi, menyeret jubah yang menyenangkan
Yang
telah kunodai dengan perilaku-ku yang jahat
Khalifah
Harun ar-Rasyid pernah memerintahkan Abu Nawas untuk menjadi tenaga pendidik di
Persia. Ia terkenal sebagai guru agama yang jenaka dan sangat humoris. Penjelasannya
luas dan segar, sebab ucapan-ucapannya senantiasa puitis. Di luar kelas, Abu
nawas menulis puisi-puisi yang
kontroversial, kritis terhadap pembesar dan kondisi masyarakat, namun dengan
nada yang jenaka. Meski banyak yang mencemooh Abu Nawas karena syair-syair yang
ditulisnya, namun rasa kagus dan cinta para murid kepadanya tidak berkurang.
Abu Nawas
dikenal sebagai orang yang toleran dalam beragama, ia bahkan mengajak penganut
Yahudi dan Nasrani untuk memperthankan keyakinannya agar bisa menjalankan agama
dengan baik sesuai dengan panduan agamanya masing-masing. Meski begitu Abu
Nawas merupakan seorang muslim yang tak tergoyahkan, meskupun banyak
pandangan-pandangan tidak baik pada dirinya disebabkan syair-syair yang
ditorehkannya.
Seseorang
yang dihormati Abu Nawas yang bernama Syekh Zakariyah al-Qusyairi pernah
memprotes kepada Abu Nawas, karena tidak menemukan satu mushafpun di rumah Abu
Nawas. namun sang penyairpun hanya menjawab tenang “ terang (al-Qur’an) dan
gelap (diri Abu Nawas) bukanlah teman sekamar.”
Selain terkenal dengan puisi anggurnya, Abu
Nawas juga sering membuat syair untuk dirinya sendiri atau biasa disebut dengan
Puisi Kemusnahan Diri yang paling fasih dan indah sepanjang kesusastraan
Abbasiyah. Puisi ratapan ini ditulis ketika Abu Nawas terbaring sakit.
Kemusnahan
telah merayapi bagian bawah dan atas diriku
Kulihat
anggota tubuhku sekarat satu demi satu
Tidak
ada satu jam pun kulewati kecuali demikian kurasa
Ia mengurangi
bagian diriku sepintas lalu
Seiring
kekuatanku berkurang, berkurang pula ketaatanku
Kini
kuingat semuanya
Ketika
sujud kepada Tuhan dalam keadaan kurus lemah
Betapa
kusesali malam-malam itu
Dihabiskan
dalam hiburan dan main-main
Kini
telah melakukan setiap perbuatan jahat
Semoga
Allah memaafkan dan memberi kita pengampunan.
Di akhir
hidupnya, Abu Nawas menulis banyak puisi Zuhdiyat. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa di akhir-akhir hidupnya ia bertaubat dari
kehidupannya yang bergelimang lumpur dunia. Meskipun apakah benar Abu Nawas di
masa lalunya adalah seorang peminum dan penjilat penguasa. Tidak ada yang
memastikan kebenaran sejarah tersebut, meskipun selalu dinarasikan bahwa Abu
Nawas adalah seorang peminum berat dan melakukan perbuatan-perbuatan bejad lainnya.
Apa yang
akan menjadi pembelaanku
Terhadap
segala yang telah aku lakukan?
Apa yang
akan aku katakan pada Tuhanku?
Alasan
apa yang akan menjadi milikku
Yang
hidup tiada mencari kebenaran
Atau
merangkul kebaikan yang akan kutinggalkan?
Duhai
kesengsaraan saat kembaliku
Betapa
kasihanapa yang telah hilang dari hidupku!
Abu
Nawas memang tidak memiliki karya besar seperti imam Ghazali dengan Ihya’
Ulumuddin, atau Ibnu Arabi dengan Fushush al-Hikam, atau Jalaluddin
Rumi dengan Matsnawi, atau Ibnu Atha’illah as-Sakandari dengan al-Hikam.
Abu Nawas mewariskan kesufiannya bukan dalam bentuk kitab, melainkan dalam
bentuk anekdot dan syair-syairnya. Salah satu syair termahsyurnya sampai saat
ini adalah syair al-I’tiraf.
Ada dua
pendapat mengenai lahirnya syair al-I’tiraf ini. ada yang mengatakan bahwa
aslah seorang murid Abu Nawas yang bertanya bagaimana cara merayu Tuhan, lalu
Abu Nawas menyodorkan syairnya. Namun ada pula yang mengatakan bahwa syair ini
ditulis oleh Abu Nawas setelah beliau bermimpi, dalam mimpinya Abu Nawas
dinasihati oleh seseorang yang berkata kepadanya, “jika engkau tidak mampu
menjadi garam yang bisa melezatkan makanan, setidaknya jangan menjadi lalat
yang membuat jijik dan merusak makanan.”
Setelah
itu Abu Nawas langsung terbangun dan menangis histeris. Ia menyesali hidupnya
yang telah ia sia-siakan. Puisi-puisi yang diciptakannya praktis berubah
menjadi untaian dzikir dan doa. Dan salah satunya syair al-I’tirof ini:
Wahai
Tuhanku, aku bukanlah ahli Surga Firdaus
Dan aku
tidak kuat menahan siksa Neraka jahim
Maka
terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya
engkau Pengampun dosa-dosa yang besar
Dosa-dosaku
bak bilangan pasir
Maka
terimalah taubatku, wahai Tuhan yang maha agung
Umurku
berkurang setiap hari, sedang dosaku kian bertambah
Bagaimanakah
aku menanggungnya?
Wahai
Tuhan, hambamu yang penuh maksiat datang menghadapmu
Mengakui
segala dosa dan berdoa kepadamu dengan sungguh-sungguh
Bila
engkau mengampuninya, sungguh engkau memang maha pengampun
Dan bila
engkau menolaknya, maka kepada siapa lagi
Aku berharap
selain kepadamu?
Ketika
masa di saat Abu Nawas wafat, kawannya
yang bernama Ibnu Khalikan tidak mengetahui kabar tersebut karena ia sedang
tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu Abu Nawas. Ibnu Khalikan bertanya,
“wahai Abu Nawas, apa balasan Allah terhadapmu?” Abu Nawas menjawab “Allah
mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang kutulis saat sakit sebelum
wafat. Syair itu kusimpan di bawah tempat tidurku.”
Ketika
terbangun, Ibnu Khalikan langsung mendatangi kediaman keluarga Abu Nawas. Sesampainya
di sana, ia benar-benar tak menyangka, rupanya sang teman telah meninggal
dunia. Orang-orang berkumpul memandikan jenazahnya. Kemudian Ibnu Khalikan
menuturkan mimpinya kepada keluarga Abu Nawas dan meminta izizn untuk
menggeledah kamar Abu Nawas. Ternyata benar, ia menemukan secarik kertas berisi
syair di bawah tempat tidur Abu Nawas. Ia membaca dengan seksama syair itu dan
tak terasa ia menangis, berikut syair terakhir Abu Nawas tersebut:
Ya Allah
jika dosaku sangat besar
Aku tahu,
ampunan-mu amatlah besar
Jika
tidak boleh berharap kepada-mu kecuali orang-orang baik
Lalu
kepada siapa lagi si pendosa ini akan berharap?
Aku telah
memohon kepada-mu dengan sikap hormat
Sebagaimana
yang telah engkau perintahkan
Maka
jika engkau menolak tanganku ini
Lalu
siapa lagi yang akan mengasihiku?
Tak ada
pada diriku tali penyambung
Antara
aku dan engkau kecuali harapan
Maka
demi keagungan ampunan-mu
Aku pun
kepada-mu berserah diri.
Dalam
sejarahnya konon Imam Syafi’i pernah berguru hadist kepada Abu Nawas, namun saat
kewafatan Abu Nawas, Imam Syafi’i menolak untuk menshalati jenazah gurunya itu
karena layaknya pandangan orang pada umumnya, Abu Nawas dipandang sebagai orang
yang Zindiq, Bahkan Kafir. Dan dalam fiqh, Hukum menshalati orang kafir
adalah haram. Lantas Ibnu Khalikan mendekati
Imam Syafi’i dan menceritakan mimpinya. Kemudian ia memberikan secarik kertas
berisi puisi tersebut. Seketika, Imam Syafi’i menangis sejadi-jadinya, begitu
juga beberapa orang yang hadir. Kemudian Imam Syafi’i mengajak orang-orang yang
hadir untuk menshalati jenazah Abu Nawas dan Imam Syafi’i menjadi imamnya.
Abu
Nawas pergi dengan meninggalkan syair-syair Master piecenya, syair penyesalan
dosa-dosa masa lalunya menggugah para penikmat lembar-lembar sejarah. Perjalanan
hidupnya yang jenaka membawa napas segar dalam dunia Tasawuf dan kesusatraan. Semoga
ampunan dan rahmat Tuhan selalu menyelimutimu wahai Abu Ali al-Hasan bin Hani’al-Hakami.
. .