BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Al-Qur’an al-Karim adalah sumber hidayah
bagi manusia. Ia menjadi pusat kebahagian abadi manusia, ia merupakan sumber
hukum pertama bagi umat ini. Darinya umat ini mencari bimbingan dalam menempuh
kehidupan dunia dan akhirat. Dengannya mereka mencari petunjuk, diatas
hidayahnya mereka berjalan. Dengannya mereka selamat dari berbagai kerusakan
dan mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus.[1]
Kandungan al-Qur’an bukan hanya menjadi
pedoman bagi manusia akan tetapi . Kandungan Al-Quran
melahirkan berbagai ilmu yang menantang bagi siapa saja untuk dikaji, baik
orang Islam sendiri maupun nonmuslim. Al-Quran tidak hanya untuk dikaji
tapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk
memahami kandungannya, diperlukan penafsiran dalam memudahkan kita untuk lebih
mengenal dan memahami maksud dari pada ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu kami akan sedikit mengkaji tentang penafsiran dari
salah satu mufassir ternama dikalangan syiah yaitu Allamah ath-Thabathaba’i dalam karya tafsirnya “Al-Mizan”.
B. Rumusan Masalah
·
Biografi Ath-Thabathaba’i
·
Apa
saja Karya-karya ath-Thabathaba’i?
·
Siapakah
Murid-murid
ath-thabathaba’i?
·
Bagaimana
Gambaran umum Tafsir al-Mizan?
·
Kitab-Kitab apa
saja yang menjadi rujukan Tafsir al-Mizan?
·
Metode apa
yang digunakan dalam Tafsir al-Mizan?
·
Corak apa
yang digunakan Tafsir al-Mizan?
·
Apa
saja Karakteristik Tafsir al-Mizan?
·
Bagaimana
komentar para
ulama mengenai Tafsir al-Mizan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ath-Thabataba’i
Muhammad Husain ath-Thabathaba’i adalah putra dari as-Sayid
Muhammad bin as-Sayid Muhammad Husain ath-Thabathaba’i. Ayahnya meninggal pada
1330 (1912), Ia dilahirkan di Tabriz pada 30/12/1321 H (17/3/1904 M). Ia adalah
seorang ulama, mufassir dan sekaligus filosof Islam. Ath-Thabathaba’i tumbuh
besar di Tabriz, dan setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana,
sekitar 1341 (1923) ia pergi ke an-Najaf al-Asyraf (Irak), pusat paling penting
untuk pendidikan keagamaan Islam.[2]
Di an-Najaf al-Asyraf, dia mengawali studi-studi lebih tingginya
bersama ulama-ulama termasyhur seperti asy-Syaikh (Al-Mirza) Muhammad Husain
Na’ini al-Gharawi dan asy-Syaikh Muhammad Husain Ishfahani[3].
Keduanya ini bersama asy-Syaikh Dhiyauddin sangat dihormati di dunia Syiah.
Mereka termasuk di antara ulama-ulama paling menonjol bukan saja di
bidang-bidang yurisprudensi Syiah dan prinsip-prinsip dasar yurisprudensi,
namun juga dalam semua studi Islam. Pendapat-pendapat yang mereka paparkan dan
teori yang mereka kemukakan, diikuti oleh semua ulama setelah mereka.[4]
Ath-Thabathaba’i banyak dipengaruhi oleh dua guru ini, (khususnya
oleh Ishfahani) dalam perkembangan pemikiran dan pengetahuannya. Pengaruh
ketiga datang dari as-Sayid Abdul Qasim Ja’far Khwansari yang dikenal sebagai
“alhi matematika”. Ia merasa bangga dapat belajar matematika darinya. Kemudian
ia belajar filosofi dan metafisika melalui as-Sayid Husain al-Husaini
al-Badkubi[5],
seorang guru termasyhur di bidang filosofi dan studi-studi yang terkait pada
masa-masa itu. Di bidang etika dan spiritual, dia menerima pendidikannya dari
keluarganya, as-Sayid (Al-Mirza) Ali Agha Thabathaba’i, seorang ulama yang
mendirikan sebuah sekolah pendidikan spiritual dan etika yang tumbuh sehat dan
kuat hingga saat ini.[6]
Segenap pengaruh itu berada dalam diri ath-Thabathaba’i untuk
menciptaan dalam dirinya sebuah personalitas akademis dan spiritual yang
berimbang sempurna. Seorang otoritas terpandang di bidang studi-studi keagamaan
seperti fiqih dan prinsip-prinsip dasarnya; seorang filosof yang pandangan-pandanganya
independen dan memiliki beragam teori baru; sebuah model kesempurnaan etika dan
spiritual yang bersemangat, yang bukan saja mengajarkan moralitas namun juga
mengamalkannya. [7]
At-Thabataba’i telah mencapai tingkat ilmu Ma’rifah dan Kasysyaf.
Ia mempelajari Ilmu ini dari seorang guru besar Mirza Ali Qadhi dan menguasai Fushushul
Hikam karya Ibn Arabi.[8]
Kemudian ia kembali ke Tabriz pada 1353 (1943). Di sini ia disambut hangat
sebagai ulama. Di Tabriz inilah ia menghabiskan waktunya dengan mengajar
filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias. Pada 1364 (1945) ia hijrah ke
Qum, pusat pendidikan keagamaan paling penting di Iran. Di Qum, ia tenggelam
dalam berbagai pengetahuan etika, filosofi dan tafsir al-Qur’an kepada
murid-murid yang sudah mencapai tingakatn pengetahuan yang tinggi. Di sini ia
tinggal sampai kewafatannya pada Minggu, 18/11/1402 (15/11/1981).[9]
At-Thabataba’i adalah seorang ulama yang mempelajari filsafat
materialisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberikan jawaban yang
mendasar sebagai seorang mufassir besar Filosof sekaligus sufi, ia telah
mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual seperti Murtadha
Mutahhari guru besar di Universitas Teheran dan Sayyid Jalaluddin Asytiyani
guru besar di Universitas Masyhad.[10]
B.
Karya-karya at-Thabataba’i
Ath-thabathaba’i mengukir reputasi berkat beragam karya akademisnya
yang penting adalah tafsir al-Qur’an al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an.
Akurat kalau dikatakan bahwa karya ini merupakan fondasi atau basis prestise
akademisnya di dunia Muslim.[11] Diantara karya lainnya adalah:
1.
Ushul
e Falsafeh wa Rawish Riyalisn.
2.
Hasyiyah
bar Asfar.
3.
Mushahabeh
ba Ustad Corbin.
4.
Ali
wa Falsafeh ye al-Illahi.
5.
Syi’eh
dar Islam.
6.
Qur’an
dar Islam.
7.
Bidayah
al-Hikmah.
8.
Nihayah
al-Hikmah.
9.
Risalah
dar Hukumat e Islam dan lain-lain.[12]
C.
Murid-murid at-Thabtaba’i
Ath-Thabataba’i telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang
memberikan kontribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, irfan,
tafsir dan lainnya, seperti:
1.
Ayatullah
Zawadi Amoli.
2.
Ayatullah
Murtadho Mutahhari.
3.
Ayatullah
Hasan Hasan Zadeh Amoli.
4.
Ayatullah
Yahya Anshari syirazi.
5.
Ayatullah
Muhammad Husein Bhesyti.
6.
Ayatullah
Mehdi Haeri Yazdi.
7.
Ayatullah
Murtadha Haeri Yazdi.
8.
Ayatullah
Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
9.
Ayatullah
Jalalud-Din Asytiyani.
10.
Ayatullah
Ja’far Subhani, Dan lain-lain.[13]
D. Gambaran umum Tafsir al-Mizan
Tafsir al-Mizan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Kutub
al-Islamiyah, Teheran, pada tahun 1375 H, kemudian dicetak lagi tahun 1389 H
dan cetakan ketiga tahun 1392 H. Lalu diterbitkan oleh Mu’assasah al-A’lami,
beirut, tahun 1393 H.
Tafsir al-Mizan bisa dibilang sebagai kitab tafsir Syi’ah ternama
dan komprehensif, yang terlahir setelah kitab Majma’ al-Bayan (Imam
al-Thabarsi). Al-Mizan juga merupakan kitab tafsir yang concern dalam membahas
persoalan-persoalan kekinian, dengan berpedoman kepada kaidah Tafsir al-Qur’an
bi al-Qur’an.[14]
Lahirnya
tafsir al-Mizan diawali oleh perjalanan beliau pertama kali ketika tiba di Qum
dan memberikan kuliah-kuliah mengenai berbagai cabang keilmuan Islam. Salah
satu topik kajian beliau di lingkungan Hauzah Ilmiyah di Qum adalah tentang
penafsiran al-Qur’an, yang melibatkan banyak sarjana dan pelajar. Dia juga
melakukan dialog interaktif dengan seorang sarjana Perancis, Profesor Henry
Cobyn, yang juga dihadiri para ilmuan lainnya, emgenai ajaran-ajaran mistik
dalam agama-agama besar dunia dan Filsafat.[15]
Kitab tafsir ini juga sengaja disebut dengan al-Mizan, karena di
dalamnya Thabataba’i menampilkan banyak pendapat, baik dari mufassir maupun
pakar keilmuan lainnya seperti ahli hadis, sejarah dan lain-lain, yang kemudian
dikritisi dan analisa dengan cukup mendalam.
Thabataba’i juga mendasarkan penafsirannya kepada kitab-kitab lain
yang dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik bidang
tafsir, hadis, sirah, sejarah, bahasa dan lain-lain. Namun, begitu beliau tetap
memberikan kritikan dan komentar. Disinilah letak keunggulan beliau di antara
mufassir-mufassir lainnya.
E.
Kitab-kitab Tafsir yang menjadi rujukan Tafsir al-Mizan adalah:
1.
Jami’
al-bayan (al-Thabari)
2.
Al-Kasyaf (al-Zamakhsyari)
3.
Majma’
al-Bayan (al-Thabrasi)
4.
Mafatih
al-Ghaib (Fakhruddin al-Razi)
5.
Anwar
al-Tanzil (Baidhawi)
6.
Ruh
al-Ma’ani (al-Alusi), dan lain-lain.
Sementara dalam persoalan kebahasaan, beliau mendasarkan pada
beberapa kitab, antara lain al-Mufradat (al-Ragib al-Isfahani), al-Shihah
(al-Jauhari), Lisan al-Arab (Ibn al-Manzhur), Qamus al-Muhith
(al-Fairuzzabadi).
F.
Metode tafsir al-Mizan
Metode penafsirannya adalah metode Tahlili, dengan menggunakan dua
pendekatan sekaligus yaitu Bi al-Matsur dan Bi al-Ra’yi. Adapun
menurut ‘Ali al-Usi dan al-Iyazi jenis bi al-Matsur nya al-Mizan adalah dengan
cara Maudhu’i. Namun jenis bi al-Matsur nya tafsir al-Mizan berbeda, misalnya
dengan tafsir al-Thabari. Hal ini karena al-Mizan sebagai kitab tafsir yang
bercorak Syi’ah, juga didasarkan kepada pendapat para Imam yang diyakini
sebagai orang orang yang maksum. Bahkan, Thabataba’i juga menggunakan rasio
untuk memahami ayat, teurtama ayat-ayat yang menuntutnya untuk dijelaskan
secara filosofis dan logis, seperti masalah Tauhid. ‘Ishmah, keadilan tuhan,
perbuatan manusia antara Jabr dan Qadr.[16]
Sebelum memulai menafsirkan, terlebih dahulu dijelaskan beberapa
corak Tafsir dan Mazhab para mufassir, juga perbedaan pendapat di kalangan
Mufassir, menyangkut riwayat, kalam, filsafat, tasawuf, teori-teori Ilmiah,
baru kemudian beliau menjelaskan dengan manhaj yang diyakininya sebagai yang
paling tepat. Dalam hal ini Thabataba’i berkata:
“jika anda merenungkan berbagai macam manhaj tafsir yang sudah ada,
maka anda akan melihat bahwa mereka sesungguhnya telah berserikat dalam
kekurangan. Mereka telah membawa kepada pembahasan ilmiah dan filsafat yang
jauh dari apa yang ditunjukkan oleh ayat. Pada tataran penerapan mereka
terkadang mengubahnya jika tidak sesuai dengan manhajnya, sehinga makna-makna
hakiki sengaja diubah menjadi makna majazi. Perhatikan, bagaimana al-Qur’an
memperkenalkan dirirnya sendiri dengan kalimat Hudan li al-Muttaqin, Nur
Mubin, Tibyan likulli Syai’. Artinya al-Qur’an memberi petunjuk kepada yang
lain dan menyinarinya.”
Kemudian Thabataba’i menegaskan kembali bahwa metode yang paling
tepat untuk memahami al-Qur’an adalah dengan membiarkan al-Qur’an
menjelaskannya sendiri. Tugas kita hanya menganalisa untuk memperoleh pemahaman
yang bersifat Qur’ani, sambil diperkuat dengan hadis dan riwayat dari ahli bait
yang secara konsisten senantiasa menapaki jejak beliau.
Tafsir al-Mizan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
diantaranya bahasa Perancis, Urdu, dan Inggris, dan telah dicetak
berulang-ulang diberbagai negara, antara lain, Iran, Beirut, dan Pakistan.[17]
G.
Corak Tafsir al-Mizan
Tafsir al-Mizan menggunakan corak Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an,
konsisten termasuk menyangkut
masalah akidah dan kisah-kisah. Dalam pandangan al-Thabathaba’i, menafsirkan
al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode penafsiran yang paling valid (ahsan
al-Turuq). Bagaimana mungkin al-qur’an akan menjadi penjelas bagi segala
sesuatu, Dan menjadi petunjuk serta penjelas bagi setiap permasalahan, Jika
kemudian ayat al-Qur’an masih menyimpan makna yang misteri, tidak bisa
ditangkap atau diungkap maksudnya. Dengan kata lain dikatakan bahwa pada
hakikatnya tidak ada ayat yang samar (Mutasyabih) dalam al-Qur’an, sebab kesamaran makna
al-qur’an telah dijelaskan oleh ayat al-Qur’an lainnya. Memang benar dalam
al-Qur’an menegaskan terdapat 2 ayat, yaitu ayat Muhkam dan ayat Mutashabih.
Namun Muhkam dalam pandangan Athabataba’i adalah induk dan menjadi rujukan dari
ayat-ayat yang dianggap samar.
Pemahaman al-Thabathaba’i tentang Muhkam dan Mutashabih berdasarkan
pada beberapa landasan normatif yaitu pertama, sabda Nabi Muhammad SAW, yang
mengatakan bahwa adanya kemustahilan saling mendustakannya antara ayat
al-Qur’an. kedua, perkataan Imam Ali ibn Thalib yang berkeyakinan bahwa antara
ayat-ayat al-Qur’an saling mengokohkan dan saling mengisi di antara sesama ayat
al-Qur’an. dan ketiga, pandangan Imam Rida yang menegaskan bahwa barangsiapa
yang mengembalikan ayat Mutshabih kepada ayat Muhkam, maka ia telah ditunjukan
pada jalan yang lurus.[18]
H.
Karakteristik Tafsir al-Mizan
Dalam menjelaskan ayat, Thabtaba’i berpedoman kepada pendapat para
pakar dari berbagai disiplin Ilmu, seperti tafsir, hadis, tarikh, dan
lain-lain, baik yang bersumber dari para Imam Syi’ah Imamiyah, maupun dari
kalangan ulama Sunni. Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan
yang dikehendaki oleh tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap
masalah yang dibahas.
Misalnya tentang kedudukan Basmalah, baik dalam surat al-Fatihah,
dan surat-surat yang lain, Thabataba’i mengambil beberapa riwayat dari para
Imam, di antaranya: “dari Amir al-Mu’min (Ali bin Abi Thalib) as. Bahwasanya
basmalah termasuk dari surat al-Fatihah, dan Rasulullah SAW selalu membacanya,
serta menganggapnya sebagai bagian darinya. Beliau juga bersabda: ‘surat
al-Fatihah adalah al-Sab’ al-Matsani’,”
Hadis tersebut menyatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat
dari surat al-Fatihah. Sementara dalam beberapa riwayat yang lain menyatakan
bahwa basmalah juga termasuk salah satu ayat dari semua surat dalam al-Qur’an,
kecuali surat al-Bara’ah, dan ini tidak ada perselisihan pendapat di antara
mereka.
Selanjutnya Thabtaba’i juga mengambil beberapa riwayat dari ulama
Sunni, diantaranya adalah riwayat Muslim, al-Daruquthni, dan Abu daud. Misalnya
dalam riwayat Muslim: “dari Anas, rasulullah SAW bersabda: beru saja turun
kepadaku satu surat, lalu beliau membaca Bsmillahirrahmanirahim Inna A’toyna
kal Kautsar.”
Berdasarkan kedua hadis di atas, Thabtaba’i menyimpulkan bahwa
basmalah, baik di kalangan Syiah maupun Sunni (sesuai dengan hadis riwayat
Muslim diatas), bukan hanya bagian dari surat al-Fatihah saja, tetapi ia juga
termasuk salah satu ayat dari seluruh surat dalam al-Qur’an, selain al-Bara’ah.
Sementara dikalangan Sunni terdapat perbedaan pendapat tentang hukum basmalah
ini, yang terbagi dalam tiga pendapat: pertama, Basmalah termasuk salah
satu ayat dari al-Fatihah dan surat-surat yang lain. Kedua, Basmalah
bukan termasuk bagian dari ayat, baik al-Fatihah maupun surat lainnya. Ketiga,
Basmalah termasuk salah satu ayat al-Qur’an, yang berfungsi untuk
memisahkan antara surat satu dengan surat lainnya, dan bukan termasuk salah
satu ayat dari surat al-Fatihah.
Dalam teknik penafsirannya, Thabtaba’i mengambil beberapa ayat,
lalu disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya dijelaskan tujuan pokok
dan kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.
I.
Komentar para ulama mengenai Tafsir al-Mizan
Menurut al-Usi munculnya tafsir al-Mizan ini disebabkan adanya
kebutuhan yang mendesak dari kalangan masyarakat akan adanya satu tafsir
alternatif, yang dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang
makna-makna yang tersurat maupun yang tersirat dari ayat0ayat al-Qur’an,
sebagai teks yang paling tinggi kedudukannya dan paling penting dalam wacana
keilmuan Islam. Sebab kitab-kitab tafsir yang telah ada banyak dipengaruhi oleh
pendapat-pendapat pribadi, sehingga terkadang mereduksi sedemikian dalam
makna-makna tekstual dan kontekstual dari ayat-ayat al-Qur’an.
Berkaitan dengan al-Mizan. ‘Ali al-usi berkomentar; “Thabataba’i
telah mengumpulkan berbagai macam persoalan penting yang dipengaruhi oleh
kebangkitan modern dalam dunia penafsiran. Beliau melakukan perlawanan dengan
musuh-musuh Islam yang secara sengaja membelokkan pemahaman keislaman yang
benar, yang dilandasi atas jiwa kemasyarakatan yang terlahir dari al-Qur’an itu
sendiri. Di dalamnya terdapat sepuluh pembahasan yang cukup penting.”
Fahmi al-Rumi berkomentar: “ketika membaca Tafsir ini secara
sekilas memunculkan sebuah kesan bahwa tafsir ini memang tidak untuk orang awam
tetapi untuk level ulama. Hal ini ditunjukkan pada pembahasan-pembahasannya
yang sangat mendalam. Sebagai mana tafsir al-Kasyaf, yang dianggap oleh para
pengkaji tafsir sebagai kitab tafsir terbaik, seandainya tidak terlalu kentara
muktazilahnya. Demikian juga al-Mizan, ia kan menjadi kitab tafsir yang terbaik
seandainya tidak terlalu menonjol kesyi’ahannya.”[19]
Menurut Abu al-Qasim Razzaqi, tafsir menduduki posisi penting
karena kulitasnya yang istimewa, tidak hanya diantara buku-buku sejenis, tetapi
juga diantara berbagai jenis keislaman baik agama, Ilmu, filsafat dan telebih
lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Syiah.
Penilaian senada diungkapkan Murtada Mutahhari, salah seorang
muridnya. Ia mengatakan bahwa al-Mizan adalah karya terbesar yang pernah
ditulis sepanjang sejarah kejayaan islam, dan diperlukan waktu hingga 60 atau
100 tahun (1 abad) sampai orang menyadari kebesarannya.[20]
J. Beberapa Studi tentang
tafsir al-Mizan
1.
Al-Thabathaba’i
wa Mnahajuhu fi al-Tafsir, karya ‘Ali
al-usi.
2.
Tafsir
al-Qur’an bi al-Qur’an ‘inda al-Thabathaba’i, karya Khadhir Ja’far.
3.
Miftah
al-Mizan, karya ‘Ali Ridha Mirza Muhammad.
4.
Dalil
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, karya Ilyas Kalanturi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji biografi dan metode yang
digunakan Thabathabai dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa Thabathabai memiliki banyak disiplin ilmu sehingga ia bisa
memunculkan karya-karya fenomelnya salah satunya adalah tafsir Al-Mizan fi
Tafsiri Al-Quran. Ia juga adalah seorang mufassir dari kalangan Syi'ah sehingga
warna penafsirannya masih mengikuti alur atau pandangan mazhabnya. Thabathaba'i
meyakini bahwa keseluruhan Ayat-ayat Al-Quran bisa dipahami maksudnya baik itu
yang muhkam maupun mutasyabih. Dengan kitab tafsirnya tersebut orang-orang masih
rabun akan corak penafsirannya karena didalamya tedapat berbagai macam disiplin
ilmu seperi filsafat, mistik dan lain sebagainya.
B. Saran dan Kritik
Pemakalah
menyadari bahwa tulisan ini masih ada kekurangan pemahaman ataupun kedangkalan
pembahasan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, pemakalah sangat terbuka
akan kritik dan saran guna menambah kedalaman wawasan ilmu pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan.
2007. Tafsir al-Qur’an. Pamulang
Thabathabai, Sayid Muhammad. 2010. Terjemah Tafsir al-Mizan. Jakata.
Thabataba’i, Allamah. Tafsir al-Mizan (mengupas ayat-ayat
Ruh dan Alam Barzakh), Hlm 4.
Labib, Muhsin. 2005. Para
Filosof. Jakarta.
Musolli. 2014. Sunni Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam
Penafsiran al-Qur’an. Jawa Timur
IMZI. A. Husnul Hakim. 2013. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir. Depok.
[3] Syaikh
Isfahani adalah seorang filosof yang tak tertandingi pada zamannya, seorang
penulis dan seorang penyair Arab dan Persia yang paiwai, dia adalah seorang
yang jenius yang prestasi-prestasinya membuat orang memandang dirinya sebagai
ideal.
[5] Sekarang
disebut Baku, Ibukota Azarbaijan Soviet.
[8] Allamah
Thabataba’i, Tafsir al-Mizan (mengupas ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh),
(Jakarta: CV Firdaus, 1991) Cet I, Hlm 3.
[12] Muhsin Labib,
Para Filosof, (Jakarta: al-Huda, 2005) Cet I, Hlm 263-264
[13] Muhsin Labib, Para Filosof, Hlm 268
[14] A. Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi
al-Qur’an, 2013), cet. I, Hlm 187
[15] A. Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 189-190
[16] A. Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 190
[17] A. Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 189
[18] Musolli, Sunni
Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an, Hlm 75-76
[19] A. Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 187-188
[20] Musolli, Sunni
Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an, (Jawa
Timur: Yayasan Pondok Pesantren Nurud Dhalam, 2014) Hlm 71