Sabtu, 28 April 2018

Pendidikan tanpa Nyawa



Wajah pendidikan tanpa nyawa. Gambaran pendidikan yang sedang kita hadapi saat ini, seperti jalan di tempat, bergerak tapi hanya di tempat tidak maju-maju, dengan alasan takut menghadapi perubahan. Seorang pendidik menurut saya memikul tanggung jawab yang tidak biasa, baik dan buruknya seorang murid seolah menempel pada seorang pendidik. Acapkali jika sang murid itu baik dan berprestasi, seorang pendidik dianggap angin lewat. Tapi jika sang murid buruk dengan segudang kelakuan nakalnya yang diluar batas, maka sang pendidiklah yang menjadi nomor wahid untuk disalahkan. Saya juga tidak paham kenapa sikap seperti ini menjamur bak virus menyeramkan. Itulah memang mengapa menjadi seorang pendidik itu tidaklah seperti membalikkan telapak tangan, seorang pendidik harus berperang melawan gejolak yang ada di dalam hatinya. tapi faktanya manusia di separuh Indonesia masih memandang sebelah mata untuk seorang guru atau pendidik, karena mungkin menurutnya itu profesi yang tidak keren atau sebagainya. Tapi apapun penilaian orang lain terhadap diri kita, tidak akan mengubah siapapun diri kita di hadapan Allah.
Saya akan sedikit bercerita di tengah rasa pesimis saya yang sudah hampir meledak. Saya memang harus banyak berkaca diri, setelah saya menghadapi seorang murid yang lebih memilih dihukum daripada harus belajar. Mungkin menurutnya mendapat hukuman itu keren atau memang ada hal lain yang membuat sang murid itu malas untuk belajar. Mungkin memang pengajaran saya sangat membosankan dan tidak menyenangkan, sampai akhirnya mereka menganggap belajar itu menjadi hal yang sangat angker seperti Kuntilanak. Atau mungkin juga mereka sendiri yang membiarkan Malas itu menjamur dalam urat nadi mereka. waallhu a’lam.
Mungkin sebagian teman saya yang juga seorang guru akan mengatakan ‘di tempat saya tidak seperti itu’, tapi itulah memang kenyataannya yang sedang saya hadapi sekarang, gairah belajar yang hilang. Otak yang merupakan investasi yang tidak akan pernah habis seolah mereka buang begitu saja. Seolah mereka  mengatakan bahwa yang mereka butuhkan adalah Ijazah, bukan Ilmu. Karena dengan Ijazah bisa mendatangkan uang, sedangkan ilmu tidak mendatangkan uang. Sungguh miris bukan? Tapi itulah faktanya paradigma yang di dewakan. Padahal Islam sudah jelas memberikan keterangan yang sangat gamblang sekali keutamaan manusia yang sedang Tholabul Ilmi, bahkan Islam mengajurkan kepada kita agar terus mencari ilmu sampai liang lahat. Itu artinya jangan pernah berhenti untuk belajar, karena hidup ini adalah perjalanan yang penuh pelajaran. Allah akan menuntun hambanya melalui Ilmu. Allah akan membukakan pintu rezeki hambanya melalui ilmu. Ilmu dan Ilmu yang merupakan cahaya Allah, yang tidak akan sampai pada manusia-manusia yang suka berbuat maksiat.
Menjadi seorang pendidik tidak bisa hanya berbekal Ijazah saja, tapi lebih dari itu. seorang pendidik membutuhkan kedalaman hati yang mulia, kesabaran dan keikhlasan harus berjalan bergandengan jangan sampai dipisahkan. Pondasi keduanya harus tertancap kuat tidak boleh oleng hanya karena sedikit terpaan angin. Ikhtiar tanpa henti, selebihnya serahkan pada Allah, karena bagaimanapun Allah lah yang maha membolak balikan hati.
Saya sering mengeluhkan sistem pendidikan yang bobrok di Indonesia, tapi tanpa sadar saya sendiri yang membuat bobrok pendidikan ini. Karena tidak jarang saya merasa pesimis menghadapi karakter pemuda sekarang yang menomor wahidkan Uang di atas segalanya. Tidak jarang saya merasa marah dan geram karena jauhnya akhlak mereka dari kata mulia. Tidak jarang saya merasa ingin meninggalkan mereka dan membiarkannya saja terpontang panting dengan kebobrokannya. Tidak jarang saya merasa benar-benar menyerah saat menghadapi mereka yang sudah acuh sekali dengan Ilmu. Tidak jarang saya masih mengharapkan materi yang besar atas lelah saya mendidik mereka. Sungguh inilah awal mula pendidikan Indonesia harus mundur ke belakang, menyebabkan masyarakat di dalamnya seperti  tak punya jati diri, yang bisanya hanya ikut musim-musiman yang silih berganti.
Sungguh wajah pendidikan tanpa nyawa adalah saya. Dan sekarang saya ingin nyawa itu kembali bukan hanya satu, tapi seribu nyawa dan satu jiwa yang kuat untuk menghadapi dan merubah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan takut untuk menghadapi perubahan, jangan gentar menghadapi cercaan, dan jangan menyerah menghadapi anak-anak yang jauh dari Akhlakul Kariiman.
”Ilmu tidak di dapat hanya dengan bersantai-santai” (Imam Syafi’i)
Tulisan ini dari Saya yang sedang dididik kesabaran dan keikhlasannya oleh tingkah laku mereka, semoga pendidikan dari mereka membuahkan hasil yang manis. Mari sama-sama belajar dari siapa-pun, kapan-pun dan dimana-pun. Semoga kita termasuk ke dalam hadis Nabi yang mencari ilmu sampai liang lahat, Aamiinn



72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...