Sabtu, 27 Desember 2014

Tafsir al-Mizan karya ath-Thabataba'i (Tokoh Syi'ah). Makalah : Fitriyah & Maria Ulfah baniry.

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Al-Qur’an al-Karim adalah sumber hidayah bagi manusia. Ia menjadi pusat kebahagian abadi manusia, ia merupakan sumber hukum pertama bagi umat ini. Darinya umat ini mencari bimbingan dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Dengannya mereka mencari petunjuk, diatas hidayahnya mereka berjalan. Dengannya mereka selamat dari berbagai kerusakan dan mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus.[1]
Kandungan al-Qur’an bukan hanya menjadi pedoman bagi manusia akan tetapi . Kandungan Al-Quran melahirkan berbagai ilmu yang menantang bagi siapa saja untuk dikaji, baik orang Islam sendiri maupun nonmuslim. Al-Quran tidak hanya untuk dikaji tapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk memahami kandungannya, diperlukan penafsiran dalam memudahkan kita untuk lebih mengenal dan memahami maksud dari pada ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu kami akan sedikit mengkaji tentang penafsiran dari salah satu mufassir ternama dikalangan syiah yaitu Allamah ath-Thabathaba’i dalam karya tafsirnya “Al-Mizan.

B. Rumusan Masalah
·         Biografi Ath-Thabathaba’i
·         Apa saja Karya-karya ath-Thabathaba’i?
·         Siapakah Murid-murid ath-thabathaba’i?
·         Bagaimana Gambaran umum Tafsir al-Mizan?
·         Kitab-Kitab apa saja yang menjadi rujukan Tafsir al-Mizan?
·         Metode apa yang digunakan dalam Tafsir al-Mizan?
·         Corak apa yang digunakan Tafsir al-Mizan?
·         Apa saja Karakteristik Tafsir al-Mizan?
·         Bagaimana komentar para ulama mengenai Tafsir al-Mizan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ath-Thabataba’i
Muhammad Husain ath-Thabathaba’i adalah putra dari as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad Husain ath-Thabathaba’i. Ayahnya meninggal pada 1330 (1912), Ia dilahirkan di Tabriz pada 30/12/1321 H (17/3/1904 M). Ia adalah seorang ulama, mufassir dan sekaligus filosof Islam. Ath-Thabathaba’i tumbuh besar di Tabriz, dan setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana, sekitar 1341 (1923) ia pergi ke an-Najaf al-Asyraf (Irak), pusat paling penting untuk pendidikan keagamaan Islam.[2]
Di an-Najaf al-Asyraf, dia mengawali studi-studi lebih tingginya bersama ulama-ulama termasyhur seperti asy-Syaikh (Al-Mirza) Muhammad Husain Na’ini al-Gharawi dan asy-Syaikh Muhammad Husain Ishfahani[3]. Keduanya ini bersama asy-Syaikh Dhiyauddin sangat dihormati di dunia Syiah. Mereka termasuk di antara ulama-ulama paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurisprudensi Syiah dan prinsip-prinsip dasar yurisprudensi, namun juga dalam semua studi Islam. Pendapat-pendapat yang mereka paparkan dan teori yang mereka kemukakan, diikuti oleh semua ulama setelah mereka.[4]
Ath-Thabathaba’i banyak dipengaruhi oleh dua guru ini, (khususnya oleh Ishfahani) dalam perkembangan pemikiran dan pengetahuannya. Pengaruh ketiga datang dari as-Sayid Abdul Qasim Ja’far Khwansari yang dikenal sebagai “alhi matematika”. Ia merasa bangga dapat belajar matematika darinya. Kemudian ia belajar filosofi dan metafisika melalui as-Sayid Husain al-Husaini al-Badkubi[5], seorang guru termasyhur di bidang filosofi dan studi-studi yang terkait pada masa-masa itu. Di bidang etika dan spiritual, dia menerima pendidikannya dari keluarganya, as-Sayid (Al-Mirza) Ali Agha Thabathaba’i, seorang ulama yang mendirikan sebuah sekolah pendidikan spiritual dan etika yang tumbuh sehat dan kuat hingga saat ini.[6]
Segenap pengaruh itu berada dalam diri ath-Thabathaba’i untuk menciptaan dalam dirinya sebuah personalitas akademis dan spiritual yang berimbang sempurna. Seorang otoritas terpandang di bidang studi-studi keagamaan seperti fiqih dan prinsip-prinsip dasarnya; seorang filosof yang pandangan-pandanganya independen dan memiliki beragam teori baru; sebuah model kesempurnaan etika dan spiritual yang bersemangat, yang bukan saja mengajarkan moralitas namun juga mengamalkannya. [7]
At-Thabataba’i telah mencapai tingkat ilmu Ma’rifah dan Kasysyaf. Ia mempelajari Ilmu ini dari seorang guru besar Mirza Ali Qadhi dan menguasai Fushushul Hikam karya Ibn Arabi.[8]
Kemudian ia kembali ke Tabriz pada 1353 (1943). Di sini ia disambut hangat sebagai ulama. Di Tabriz inilah ia menghabiskan waktunya dengan mengajar filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias. Pada 1364 (1945) ia hijrah ke Qum, pusat pendidikan keagamaan paling penting di Iran. Di Qum, ia tenggelam dalam berbagai pengetahuan etika, filosofi dan tafsir al-Qur’an kepada murid-murid yang sudah mencapai tingakatn pengetahuan yang tinggi. Di sini ia tinggal sampai kewafatannya pada Minggu, 18/11/1402 (15/11/1981).[9]
At-Thabataba’i adalah seorang ulama yang mempelajari filsafat materialisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberikan jawaban yang mendasar sebagai seorang mufassir besar Filosof sekaligus sufi, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual seperti Murtadha Mutahhari guru besar di Universitas Teheran dan Sayyid Jalaluddin Asytiyani guru besar di Universitas Masyhad.[10]
B.     Karya-karya at-Thabataba’i
Ath-thabathaba’i mengukir reputasi berkat beragam karya akademisnya yang penting adalah tafsir al-Qur’an al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an. Akurat kalau dikatakan bahwa karya ini merupakan fondasi atau basis prestise akademisnya di dunia Muslim.[11] Diantara karya lainnya adalah:
1.      Ushul e Falsafeh wa Rawish Riyalisn.
2.      Hasyiyah bar Asfar.
3.      Mushahabeh ba Ustad Corbin.
4.      Ali wa Falsafeh ye al-Illahi.
5.      Syi’eh dar Islam.
6.      Qur’an dar Islam.
7.      Bidayah al-Hikmah.
8.      Nihayah al-Hikmah.
9.      Risalah dar Hukumat e Islam dan lain-lain.[12]

C.    Murid-murid at-Thabtaba’i
Ath-Thabataba’i telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya, seperti:
1.      Ayatullah Zawadi Amoli.
2.      Ayatullah Murtadho Mutahhari.
3.      Ayatullah Hasan Hasan Zadeh Amoli.
4.      Ayatullah Yahya Anshari syirazi.
5.      Ayatullah Muhammad Husein Bhesyti.
6.      Ayatullah Mehdi Haeri Yazdi.
7.      Ayatullah Murtadha Haeri Yazdi.
8.      Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
9.      Ayatullah Jalalud-Din Asytiyani.
10.  Ayatullah Ja’far Subhani, Dan lain-lain.[13]




D.    Gambaran umum Tafsir al-Mizan
Tafsir al-Mizan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, pada tahun 1375 H, kemudian dicetak lagi tahun 1389 H dan cetakan ketiga tahun 1392 H. Lalu diterbitkan oleh Mu’assasah al-A’lami, beirut, tahun 1393 H.
Tafsir al-Mizan bisa dibilang sebagai kitab tafsir Syi’ah ternama dan komprehensif, yang terlahir setelah kitab Majma’ al-Bayan (Imam al-Thabarsi). Al-Mizan juga merupakan kitab tafsir yang concern dalam membahas persoalan-persoalan kekinian, dengan berpedoman kepada kaidah Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.[14]
Lahirnya tafsir al-Mizan diawali oleh perjalanan beliau pertama kali ketika tiba di Qum dan memberikan kuliah-kuliah mengenai berbagai cabang keilmuan Islam. Salah satu topik kajian beliau di lingkungan Hauzah Ilmiyah di Qum adalah tentang penafsiran al-Qur’an, yang melibatkan banyak sarjana dan pelajar. Dia juga melakukan dialog interaktif dengan seorang sarjana Perancis, Profesor Henry Cobyn, yang juga dihadiri para ilmuan lainnya, emgenai ajaran-ajaran mistik dalam agama-agama besar dunia dan Filsafat.[15]
Kitab tafsir ini juga sengaja disebut dengan al-Mizan, karena di dalamnya Thabataba’i menampilkan banyak pendapat, baik dari mufassir maupun pakar keilmuan lainnya seperti ahli hadis, sejarah dan lain-lain, yang kemudian dikritisi dan analisa dengan cukup mendalam.
Thabataba’i juga mendasarkan penafsirannya kepada kitab-kitab lain yang dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik bidang tafsir, hadis, sirah, sejarah, bahasa dan lain-lain. Namun, begitu beliau tetap memberikan kritikan dan komentar. Disinilah letak keunggulan beliau di antara mufassir-mufassir lainnya.
E.     Kitab-kitab Tafsir yang menjadi rujukan Tafsir al-Mizan adalah:
1.      Jami’ al-bayan (al-Thabari)
2.      Al-Kasyaf (al-Zamakhsyari)
3.      Majma’ al-Bayan (al-Thabrasi)
4.      Mafatih al-Ghaib (Fakhruddin al-Razi)
5.      Anwar al-Tanzil (Baidhawi)
6.      Ruh al-Ma’ani (al-Alusi), dan lain-lain.
Sementara dalam persoalan kebahasaan, beliau mendasarkan pada beberapa kitab, antara lain al-Mufradat (al-Ragib al-Isfahani), al-Shihah (al-Jauhari), Lisan al-Arab (Ibn al-Manzhur), Qamus al-Muhith (al-Fairuzzabadi).
F.     Metode tafsir al-Mizan
Metode penafsirannya adalah metode Tahlili, dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu Bi al-Matsur dan Bi al-Ra’yi. Adapun menurut ‘Ali al-Usi dan al-Iyazi jenis bi al-Matsur nya al-Mizan adalah dengan cara Maudhu’i. Namun jenis bi al-Matsur nya tafsir al-Mizan berbeda, misalnya dengan tafsir al-Thabari. Hal ini karena al-Mizan sebagai kitab tafsir yang bercorak Syi’ah, juga didasarkan kepada pendapat para Imam yang diyakini sebagai orang orang yang maksum. Bahkan, Thabataba’i juga menggunakan rasio untuk memahami ayat, teurtama ayat-ayat yang menuntutnya untuk dijelaskan secara filosofis dan logis, seperti masalah Tauhid. ‘Ishmah, keadilan tuhan, perbuatan manusia antara Jabr dan Qadr.[16]
Sebelum memulai menafsirkan, terlebih dahulu dijelaskan beberapa corak Tafsir dan Mazhab para mufassir, juga perbedaan pendapat di kalangan Mufassir, menyangkut riwayat, kalam, filsafat, tasawuf, teori-teori Ilmiah, baru kemudian beliau menjelaskan dengan manhaj yang diyakininya sebagai yang paling tepat. Dalam hal ini Thabataba’i berkata:
“jika anda merenungkan berbagai macam manhaj tafsir yang sudah ada, maka anda akan melihat bahwa mereka sesungguhnya telah berserikat dalam kekurangan. Mereka telah membawa kepada pembahasan ilmiah dan filsafat yang jauh dari apa yang ditunjukkan oleh ayat. Pada tataran penerapan mereka terkadang mengubahnya jika tidak sesuai dengan manhajnya, sehinga makna-makna hakiki sengaja diubah menjadi makna majazi. Perhatikan, bagaimana al-Qur’an memperkenalkan dirirnya sendiri dengan kalimat Hudan li al-Muttaqin, Nur Mubin, Tibyan likulli Syai’. Artinya al-Qur’an memberi petunjuk kepada yang lain dan menyinarinya.”
Kemudian Thabataba’i menegaskan kembali bahwa metode yang paling tepat untuk memahami al-Qur’an adalah dengan membiarkan al-Qur’an menjelaskannya sendiri. Tugas kita hanya menganalisa untuk memperoleh pemahaman yang bersifat Qur’ani, sambil diperkuat dengan hadis dan riwayat dari ahli bait yang secara konsisten senantiasa menapaki jejak beliau.
Tafsir al-Mizan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Perancis, Urdu, dan Inggris, dan telah dicetak berulang-ulang diberbagai negara, antara lain, Iran, Beirut, dan Pakistan.[17]
G.    Corak Tafsir al-Mizan
Tafsir al-Mizan menggunakan corak Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an,  konsisten termasuk menyangkut masalah akidah dan kisah-kisah. Dalam pandangan al-Thabathaba’i, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode penafsiran yang paling valid (ahsan al-Turuq). Bagaimana mungkin al-qur’an akan menjadi penjelas bagi segala sesuatu, Dan menjadi petunjuk serta penjelas bagi setiap permasalahan, Jika kemudian ayat al-Qur’an masih menyimpan makna yang misteri, tidak bisa ditangkap atau diungkap maksudnya. Dengan kata lain dikatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada ayat yang samar (Mutasyabih)  dalam al-Qur’an, sebab kesamaran makna al-qur’an telah dijelaskan oleh ayat al-Qur’an lainnya. Memang benar dalam al-Qur’an menegaskan terdapat 2 ayat, yaitu ayat Muhkam dan ayat Mutashabih. Namun Muhkam dalam pandangan Athabataba’i adalah induk dan menjadi rujukan dari ayat-ayat yang dianggap samar.
Pemahaman al-Thabathaba’i tentang Muhkam dan Mutashabih berdasarkan pada beberapa landasan normatif yaitu pertama, sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa adanya kemustahilan saling mendustakannya antara ayat al-Qur’an. kedua, perkataan Imam Ali ibn Thalib yang berkeyakinan bahwa antara ayat-ayat al-Qur’an saling mengokohkan dan saling mengisi di antara sesama ayat al-Qur’an. dan ketiga, pandangan Imam Rida yang menegaskan bahwa barangsiapa yang mengembalikan ayat Mutshabih kepada ayat Muhkam, maka ia telah ditunjukan pada jalan yang lurus.[18]
H.    Karakteristik Tafsir al-Mizan
Dalam menjelaskan ayat, Thabtaba’i berpedoman kepada pendapat para pakar dari berbagai disiplin Ilmu, seperti tafsir, hadis, tarikh, dan lain-lain, baik yang bersumber dari para Imam Syi’ah Imamiyah, maupun dari kalangan ulama Sunni. Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Misalnya tentang kedudukan Basmalah, baik dalam surat al-Fatihah, dan surat-surat yang lain, Thabataba’i mengambil beberapa riwayat dari para Imam, di antaranya: “dari Amir al-Mu’min (Ali bin Abi Thalib) as. Bahwasanya basmalah termasuk dari surat al-Fatihah, dan Rasulullah SAW selalu membacanya, serta menganggapnya sebagai bagian darinya. Beliau juga bersabda: ‘surat al-Fatihah adalah al-Sab’ al-Matsani’,”
Hadis tersebut menyatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Sementara dalam beberapa riwayat yang lain menyatakan bahwa basmalah juga termasuk salah satu ayat dari semua surat dalam al-Qur’an, kecuali surat al-Bara’ah, dan ini tidak ada perselisihan pendapat di antara mereka.
Selanjutnya Thabtaba’i juga mengambil beberapa riwayat dari ulama Sunni, diantaranya adalah riwayat Muslim, al-Daruquthni, dan Abu daud. Misalnya dalam riwayat Muslim: “dari Anas, rasulullah SAW bersabda: beru saja turun kepadaku satu surat, lalu beliau membaca Bsmillahirrahmanirahim Inna A’toyna kal Kautsar.”
Berdasarkan kedua hadis di atas, Thabtaba’i menyimpulkan bahwa basmalah, baik di kalangan Syiah maupun Sunni (sesuai dengan hadis riwayat Muslim diatas), bukan hanya bagian dari surat al-Fatihah saja, tetapi ia juga termasuk salah satu ayat dari seluruh surat dalam al-Qur’an, selain al-Bara’ah. Sementara dikalangan Sunni terdapat perbedaan pendapat tentang hukum basmalah ini, yang terbagi dalam tiga pendapat: pertama, Basmalah termasuk salah satu ayat dari al-Fatihah dan surat-surat yang lain. Kedua, Basmalah bukan termasuk bagian dari ayat, baik al-Fatihah maupun surat lainnya. Ketiga, Basmalah termasuk salah satu ayat al-Qur’an, yang berfungsi untuk memisahkan antara surat satu dengan surat lainnya, dan bukan termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah.
Dalam teknik penafsirannya, Thabtaba’i mengambil beberapa ayat, lalu disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya dijelaskan tujuan pokok dan kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.
I.       Komentar para ulama mengenai Tafsir al-Mizan
Menurut al-Usi munculnya tafsir al-Mizan ini disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak dari kalangan masyarakat akan adanya satu tafsir alternatif, yang dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna-makna yang tersurat maupun yang tersirat dari ayat0ayat al-Qur’an, sebagai teks yang paling tinggi kedudukannya dan paling penting dalam wacana keilmuan Islam. Sebab kitab-kitab tafsir yang telah ada banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat pribadi, sehingga terkadang mereduksi sedemikian dalam makna-makna tekstual dan kontekstual dari ayat-ayat al-Qur’an.
Berkaitan dengan al-Mizan. ‘Ali al-usi berkomentar; “Thabataba’i telah mengumpulkan berbagai macam persoalan penting yang dipengaruhi oleh kebangkitan modern dalam dunia penafsiran. Beliau melakukan perlawanan dengan musuh-musuh Islam yang secara sengaja membelokkan pemahaman keislaman yang benar, yang dilandasi atas jiwa kemasyarakatan yang terlahir dari al-Qur’an itu sendiri. Di dalamnya terdapat sepuluh pembahasan yang cukup penting.”
Fahmi al-Rumi berkomentar: “ketika membaca Tafsir ini secara sekilas memunculkan sebuah kesan bahwa tafsir ini memang tidak untuk orang awam tetapi untuk level ulama. Hal ini ditunjukkan pada pembahasan-pembahasannya yang sangat mendalam. Sebagai mana tafsir al-Kasyaf, yang dianggap oleh para pengkaji tafsir sebagai kitab tafsir terbaik, seandainya tidak terlalu kentara muktazilahnya. Demikian juga al-Mizan, ia kan menjadi kitab tafsir yang terbaik seandainya tidak terlalu menonjol kesyi’ahannya.”[19]
Menurut Abu al-Qasim Razzaqi, tafsir menduduki posisi penting karena kulitasnya yang istimewa, tidak hanya diantara buku-buku sejenis, tetapi juga diantara berbagai jenis keislaman baik agama, Ilmu, filsafat dan telebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Syiah.
Penilaian senada diungkapkan Murtada Mutahhari, salah seorang muridnya. Ia mengatakan bahwa al-Mizan adalah karya terbesar yang pernah ditulis sepanjang sejarah kejayaan islam, dan diperlukan waktu hingga 60 atau 100 tahun (1 abad) sampai orang menyadari kebesarannya.[20]
J. Beberapa Studi tentang tafsir al-Mizan
1.      Al-Thabathaba’i wa Mnahajuhu fi al-Tafsir, karya ‘Ali al-usi.
2.      Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an ‘inda al-Thabathaba’i, karya Khadhir Ja’far.
3.      Miftah al-Mizan, karya ‘Ali Ridha Mirza Muhammad.
4.      Dalil al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, karya Ilyas Kalanturi.
5.      Faharis al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, karya I’dad ibn Fazzu.[21]














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji biografi dan metode yang digunakan Thabathabai dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Thabathabai memiliki banyak disiplin ilmu sehingga ia bisa memunculkan karya-karya fenomelnya salah satunya adalah tafsir Al-Mizan fi Tafsiri Al-Quran. Ia juga adalah seorang mufassir dari kalangan Syi'ah sehingga warna penafsirannya masih mengikuti alur atau pandangan mazhabnya. Thabathaba'i meyakini bahwa keseluruhan Ayat-ayat Al-Quran bisa dipahami maksudnya baik itu yang muhkam maupun mutasyabih. Dengan kitab tafsirnya tersebut orang-orang masih rabun akan corak penafsirannya karena didalamya tedapat berbagai macam disiplin ilmu seperi filsafat, mistik dan lain sebagainya.
B. Saran dan Kritik
Pemakalah menyadari bahwa tulisan ini masih ada kekurangan pemahaman ataupun kedangkalan pembahasan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, pemakalah sangat terbuka akan kritik dan saran guna menambah kedalaman wawasan ilmu pemakalah.











DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan. 2007. Tafsir al-Qur’an. Pamulang
Thabathabai, Sayid Muhammad. 2010. Terjemah Tafsir al-Mizan. Jakata.
Thabataba’i, Allamah. Tafsir al-Mizan (mengupas ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh), Hlm 4.
Labib, Muhsin. 2005.  Para Filosof. Jakarta.
Musolli. 2014. Sunni Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an. Jawa Timur
IMZI. A. Husnul Hakim. 2013. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir. Depok.



[1] Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an, (Pamulang: Gaya Media Pratama, 2007), cet. I, Hlm. xix
[2] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, (Jakata:Lentera, 2010) cet. I, Hlm. 11.
[3] Syaikh Isfahani adalah seorang filosof yang tak tertandingi pada zamannya, seorang penulis dan seorang penyair Arab dan Persia yang paiwai, dia adalah seorang yang jenius yang prestasi-prestasinya membuat orang memandang dirinya sebagai ideal.
[4] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, hlm. 11.
[5] Sekarang disebut Baku, Ibukota Azarbaijan Soviet.
[6] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, Hlm. 12.
[7] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, Hlm. 12-13.
[8] Allamah Thabataba’i, Tafsir al-Mizan (mengupas ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh), (Jakarta: CV Firdaus, 1991) Cet I, Hlm 3.
[9] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, Hlm. 13.
[10] Allamah Thabataba’i, Tafsir al-Mizan (mengupas ayat-ayat Ruh dan Alam Barzakh), Hlm 4.
[11] Sayid Muhammad Thabathabai, Terjemah Tafsir al-Mizan, Hlm. 13.
[12] Muhsin Labib, Para Filosof, (Jakarta: al-Huda, 2005) Cet I, Hlm 263-264
[13]  Muhsin Labib, Para Filosof, Hlm 268
[14] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013), cet. I, Hlm 187
[15] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 189-190
[16] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 190
[17] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 189
[18] Musolli, Sunni Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an, Hlm 75-76
[19] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 187-188
[20] Musolli, Sunni Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an, (Jawa Timur: Yayasan Pondok Pesantren Nurud Dhalam, 2014) Hlm 71

[21] A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Hlm 192

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...