BAB I
PENDAHULUAN
Orientalis bagi
sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai “momok” yang harus diwaspadai
dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah
obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya “berkedok”
sebagai pakar (scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan
kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far eastern, seperti Jepang, Cina
dan India) maupun yang “dekat” (near eastern, seperti Persia, Mesir, dan
Arabia).
Tetapi bagi sebagian
yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya yang
memang problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena kajian dan
analisis yang dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan
menghegemoni dunia islam. Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan
analisis dan kajian dengan begitu objektif, sehingga -diakui atau tidak- mereka
telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada
umumnya, dan dunia Islam khususnya.
Sikap kritis pada setiap
karya para orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan al-Qur’an
khususnya, jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain,
kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama mereka
bukan Islam, tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal
Muncul Kajian Orentalis Terhadap al-Qur’an
Perhatian para sarjana Eropa terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak
kunjungan Peter the Venerable, yang juga seorang paderi dari Cluny, ke Toledo
pada pertengahan abad ke-12. Ia menaruh perhatian terhadap seluruh permasalahan
tentang Islam, sehingga merasa perlu untuk mengumpulkan sekumpulan sarjana dan
memberi mereka tugas untuk memproduksi serangkaian karya yang menjadi basis
keilmuan bagi pertemuan intelektual dengan Islam. Proyek yang hasilnya disebut Clonic
Corpus ini menerjemahkan teks Arab yang ditujukan menjadi basis kesarjanaan
misionaris dan orientalis.
Beberapa karya yang dihasilkan dari
upaya awal ini adalah sebuah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Latin oleh
seorang sarjana berkebangsaan Inggris Robert Ketton (yang namanya sering
ditulis Robertus Retenensis) yang diselesaikan pada tahun 1143. Upaya ini
dianggap sebagai gerbang pertama mengkaji al-qur’an. Hanya saja, menurut Watt,
karya ini tidak pernah bisa mengangkat nilai penting kajian Islam, karena meski
beberapa abad selanjutnya terbit beberapa buku lain, namun tetap saja Islam
masih menjadi musuh besar Barat. Di satu sisi Islam ditakuti, tetapi di sisi
lain ia disanjung, namun apa yang ditulis para sarjana Barat ketika itu masih
bersifat apologetik dan polemikal, bahkan terkadang cenderung bernada menyerang
dan memanas-manasi.[1]
Upaya selanjutnya yang mengesankan dan menunjukkan perkembangan di
bidang ini adalah karya seorang sarjana Italia Ludovici Maracci pada abad 17,
yang mereproduksi al-qur’an berdasarkan beberapa manuskrip, dan dilengkapi
terjemahan latin. Hal ini belum pernah dilakukan oleh Orientalis sebelumnya,
mengingat hanya sebatas terjemahan yang mereka hasilkan.[2]
Dan karya Rodewell pada abad 18 yang menerjemahkan al-qur’an danmenyusunya
kembali menurut kronologinya dari al-alaq sampai al-Maidah.
Pada abad selanjutnya, studi al-qur’an semakin luar biasa di tangan
Flugel. Pada paruh abad 19, tepatnya 1834 Flugel memulai sebuah riset dengan
menulis edisi kritis teks al-qur’an. Karena penting dan signifikan, karya ini
direvisi dan diedit oleh orientalis-orientalis belakangan.[3]
Minat untuk mengkaji al-Qur’an meningkat dengan diadakannya sayembara penulisan
monograf tentang “kritik sejarah terhadap teks al-Qur’an” yang diprakarsai oleh
Akademi Inskripsi dan Sastra Paris pada tahun 1857. Sayembara ini dimenangkan
oleh Theodor Noldeke.
Tema lainnya yang menarik perhatian orientalis adalah tafsir
al-qur’an. Akan tetapi belum ada karya khusus dari mereka tentang tafsir
al-qur’an. Kalaupun ada hanyalah sebatas analisa terhadap sejarah tafsir
al-qur’an di kalangan umat, inilah yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher pada
akhir abad 19. Ia mengkaji secara kritis tafsir-tafsir pada masa klasik.[4]
Dewasa ini,
perkembangan menarik di bidang ini menunjukkan kemajuan berarti. Berbagai
pendekatan dan metode baru memahami al-qur’an secara lebih baik telah
ditawarkan. Pendekatan linguistik dan berbagai metode pendukungnya menjadi
metode paling laku. Misalnya Joseph Horovitz dengan karyanya Koranische
Untersuchungen yang berkenaan
dengan bahagian naratif dan nama-nama dalam al-Qur’an; Arthur Jeffery dengan
beberapa karyanya seperti Foreign Vocabulary of the Qur’an. Selain itu,
Jeffrey bersama para orientalis abad 20 juga berambisi membuat proyek al-qur’an
edisi kritis. Mereka mengumpulkan berbagai varian tekstual yang didapat dari
berbagai sumber. Konon mereka ingin merestorasi teks al-qur’an berdasarkan Kitab
al-Mashahif karya Abu Daud al-Sijistani yang ditengarai merekam
bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan.[5]
Menurut
Nasarudin Umar, hal yang melatarbelakangi kajian, kritik, dan penyerangan
mereka terhadap al-qur’an adalah karena ia merupakan kitab suci agama islam
yang menjadi rujukan standar nilai utama. Al-qur’an merupakan simbol pemersatu,
sebagai landasan dan pedoman hidup di sepanjang sejarah. Jika al-qur’an diusik,
baik mengenai orisinalitas dan otentisitasnya, maka kebesaran dan keutuhan
islam akan terancam menurut mereka.[6]
Selain itu, asumsi dasar para orientalis mengkaji al-Qur’an
dilatarbelakangi dua hal, pertama, kekecewaan orang Kristen dan
Yahudi terhadap kitab suci mereka. Kedua, disebabkan oleh kecemburuan
mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an. Mayoritas cendekiawan
Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel. Karena pada kenyataannya Bibel
yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti tidak asli. Terlalu banyak
campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang
benar-benar wahyu dan mana yang bukan.[7]
B.
Fokus
Utama Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an
Orientalis telah mengerahkan tenaga
dan pikiran mereka untuk mengkaji, mengkritik dan menyerang al-qur’an. Mereka
menyerang al-qur’an dari berbagai dimensi untuk menyajikan suatu citra beberapa
upaya dan tujuan mereka dalam mencemarkan kemurnian teks al-qur’an menggunakan
sumber-sumber tidak etis bahkan penipuan.[8] Secara
garis besar, diskursus kajian Barat terhadap al-qur’an menyoroti hal-hal
berikut ini:
1.
Otentisitas
al-Qur’an
Dalam membahas
otentisitas al-qur’an, orientalis memiliki tiga asumsi, yakni:
ü Mereka menganggap bahwa al-qur’an adalah dokuemn tertulis atau
teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka lantas mau
menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian bibble.
Akibatnya mereka menaggap al-qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman
situasi dan refleksi budaya arab. Mereka juga mengatakn bahwa mushaf sekarang
berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.
Al-qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan.
Proses pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui
lisan, bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua
berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses
transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi
ke generasi.[9]
ü Para orientalis ingin mengubah-ubah al-qur’an dengan mempertanyakan
fakta sejarah, menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah fiktif. Meskipun
pada prinsipnya diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui hafalan, telah
kita ketahui bahwa al-qur’an juga dicatat dengan menggunakan medium tulisan.
Hampir seluruh catatan tersebut adalah milik pribadi sahabat Nabi. Baru
kemudian hari, ketika jumlah penghafal menyusutkarena gugur di peperangan,
dilakukan kodifikasi hingga pada masa Utsan bin Affan. Jadi, jelas fakta
sejarah dan kodofikasinya.[10]
2.
Sumber
Yang Dipakai Nabi Muhammad
Kajian orientalis terhadap al-qur’an tidak sebatas mempertanyakan
otensititasnya. Isu klasik yang selalu iangkat adalah soal pengaruh Yahudi,
Kristen, Zoroaster terhadap islam maupun isi kandungan al-qur’an. Sebagian
mereka berusaha mengungkapkan apa sajayang bisa dijadikan bukti bagi teori
pinjaman dan pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen.[11]
Misalnya saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang
terdapat pada awal surah al-qur’an akibat pengaruh asing, kemungkinan besar
Yahudi yang diserap oleh nabi Muhammad. Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab
dari dua puluh tujuh surat yang terdapat dalam al-qur’an yang dimulai dengan
huruf demikian, hanya dua yang turun di Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum
Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan Yahudi.[12]
Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam
al-qur’an adalah jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia
adalah hasil dari kebohongan dan tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya
sekian kesamaan antara al-qur’an dan kitab mereka. Bahkan sekian ulama tafsir
menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi. Tetapi kesamaan tersebut
bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya mengunjungi
objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.[13]
3.
Upaya
Mengubah al-Qur’an
Terdapat
beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keyakinan umat islam
terhadap keaslian al-qur’an. Diantaranya adalah:
a)
Upaya
Flugel Mengubah al-Qur’an
Pada
tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks al-Qur’an, ia juga sengaja menguras
tenaga ingin mengubah teks-teks al-qur’an yang berbahasa arab sehingga dapat
diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan bagi kaum muslim
untuk membaca al-qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh bacaan pakar
terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah dalam
bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh
qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu
qiraat dengan tidak menentu.
b)
Upaya
Bachelere Merusak al-Qur’an
Ketika
terjadi penerjemahan al-qur’an ke dalamBahasa Perancis, Bachelere bukan saja
mengubah urutan surat dalam al-qur’an, malah juga menambahkan dua ayat ke
dalamnya. Dia berpijak pada cerita palsu yang menerangkan bahwa setan yang
memberi wahyu kepada Nabi Muhammad tampaknya tidak dapat membedakan antara
kalam Allah dan ucapan mantra-mantra kafir. Tak satupun manuskrip al-qur’an
yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara keseluruhan bersebrangan
dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.[14]
c)
Upaya
Mingana Merusak al-Qur’an
Mingana melakukan penelitian pada manuskrip yang
bernama Palimpset. Palimpset adalah manuskrip di mana tulisan aslinya telah
dihapus guna memberi peluang bagi tulisan baru. Ia menganalisis lembaran
tersebut, dan membuat daftar perbedaan al-qur’an pada manuskrip tersebut.hasil
dari daftar perbedaan tersebut ia cetak menjadi sebuah al-qur’an.[15]
C.
Pendekatan
Orientalis dalam Kajian terhadap al-Qur’an
Metodologi yang dipakai sarjana barat dalam mendekati Al Qur’an ada
tiga yaitu: Pendekatan historis, Pendekatan Fenomenologis,
Pendekatan Historis-Fenomenologis.
1.
Pendekatan Historis
Metode semacam ini muncul pada abad 19, yang
dipelopori oleh Leopold Von Ranke (1795-1886). Historis berpandangan
bahwa suatu entitas, baik itu intuisi, nilai-nila maupun agama berasal dari
lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu muncul.
Prinsip historisme menurut Meinecke adalah mencari kausalitas peristiwa
historis, dan kausalitas itu tidak berasal dari dunia metafisik atau trans-historis
tetapi empiric sensual. Bias dari munculnya teori ini menurut Fuck-Franfurt
mendorong kecendrungan dalam studi Al Qur’an di Barat yang yang mengasalkan Al
Qur’an dari kitab suci tradisi Yahudi dan Kristen.
Sedangkan Sarjana barat yang menggunakan metode
historisme dalam studi al-Qur’an ini antara lain adalah: Maxime Rodinson, Tor
Andre, A. Jeffery dan lain-lain. Namun dalam penjelasan ini kami hanya akan
menjelaskan pendapatnya J. Wasbrough yang mengasalkan al Qur’an dari Tradisi
Yahudi dan Perjanjian Lama dan Richard Bell yang mengasalkan al Qur’an dari
tradisi dan kitab suci Kristen.
Menurut Wansbrough (1977), Ajaran tentang kemukjizatan
Al Qur’an dipandang sebagai imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa,
sehingga kumpulan ucapan dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya menjadi kitab
suci yang mutlak kebenaranya.
Richard Bell mengatakan, al Qur’an berasal dari ajaran
Kristen. Pengaruh Kristen menurut Bell belum terjadi pada masa akhir Makkah dan
awal Madinah. Indikasinya ialah surah Al-Ikhlas. Menurut Bell surat tersebut
bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi kepada orang musrik
yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Surah Al-Alaq ayat 1
sampai 5 yang menjelaskan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep dari Bibel.
Karena dari konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Pada fase
berikutnya terdapat kesamaan antara al Qur’an dan Bibel, misalnya penolakan
penyaliban Yesus, yang diambil dari satu sekte Kristen di Syiria.
Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad
merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Pengetahuan tentang
agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan
tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti
yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, baginya sugesti terjadi secara natural.
2. Pendekatan Fenomenologis
Fenomologi di ambil
dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan dan menampakkan
dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan
apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa
adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck
zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri).
Fenomenologi Husserl bertujuan mencari suatu fenomena dalam mencari esensi
bermula dari membiarkan fenomena itu termanisfestasi apa adanya tanpa
dibarengai prasangkan.
Pendekatan semacam ini
tidak melacak asal-usul suatu intuisi, tetapi dengan mengidentifikasi struktur
internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan ini dalam studi al Qur’an
antara lain: Roest Crolius, Maurice BUcaille, Marcel A dan lain-lain. Namun
kami akan memunculkan pemikiranya Marcell A. Bouisard yang tidak melihat sisi
formal al Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi subtansinya. Boisard
memandang bahwa nabi Muhammad adalah nabi yang sebenarnya. Muhammad hanya sebagai
penyambung lidah wahyu yang abadi. Boisard juga memandang al Qur’an berisi
kebenaran universal dan bukan buatan manusia tetapi adalah wahyu Allah.
3. Pendekatan Historis-Fenomenologis
Pendekatan ini mendekatkan dua metode di atas, pendekatan ini dipelopori
oleh W. Montgomery Watt di lihat sebagai kegandaan sumber wahyu al Qur’an ,
yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Wahyu al Qur’an bersumber dari Allah tetapi
diproduksi oleh Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi
dan Kristen).
Watt dalam satu sisi tidak menolak Islam yang fundamelntal, tetapi disisi
lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan
Islam. Watt juga menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya
dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad
dalam subtansi wahyu, maka dari ini menurutnya dimungkinkan terhadinya keliru
dalam al Qur’an seperti tentang penolakan penyaliban Yesus dalam al Qur’an (QS
4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen
Syiria yang keliru.
Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi
wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam al Qur’an bila kekeliruan seperti
penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Maka dari
pendekatan metodologi yang mereka gunakan dalam studi al-Qur’an menghasilkan
berbagai golongan aliran orientalis dalam mengkaji al-Qur’an khususnya. Dimana
golongan itu secara garis besar dibagi antar Orientalis yang mengkaji al Qur’an
atau Islam secara objektif dan subjektif.[16]
D.
Tokoh
dan Pandangan Orientalis Terhadap al-Qur’an
Kaum Orientalis mengingkari
kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dan mengingkari kemukjizatan al-Qur’an. menurut
anggapan mereka al-Qur’an itu tidak lain adalah buatan manusia dengan bantuan
orang lain. Hal ini digambarkan Allah SWT dalam al-Qur’an:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ÷bÎ) !#x»yd HwÎ) î7øùÎ) çm1utIøù$# ¼çmtR%tær&ur Ïmøn=tã îPöqs% crãyz#uä ( ôs)sù râä!%y` $VJù=àß #Yrãur ÇÍÈ
Artinya: “dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak
lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh
kaum yang lain, Maka Sesungguhnya mereka
telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang besar. (Q.S al-Furqan: 4)[17]
Berikut pandangan para tokoh-tokoh Orientalis terhadap al-Qur’an:
a.
Washington
Irving (1783-1859), sarjana hukum
dan diplomat yang pernah mewakili Amerika Serikat di Spanyol dengan jabatan
Minister Resident, banyak meninggalkan karya. Di dalam karyanya diungkapkan
pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “sebenarnya
al-Qur’an yang ada sekarang ini tidaklah sama dengan al-Qur’an yang disampaikan
muhammad kepada muridnya pada masanya itu, tapi telah mengalami sekian banyak
penyelewengan dan sisipan-sisipan. Sesekali dicatat oleh juru surat atau para
murid, pelapah tamar atau lainnya, dan dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah
peti, yang diawasi oleh salah seorang istrinya. Seringkali pula hanya tersimpan
dalam ingatan dan hafalan seseorang yang kebetulan mendengarnya. Tampaknya
tidak ada perhatian untuk menyusunnya secara sistematis pada masa hidupnya.
Sepeninggalnya, yakni pada masa abu bakar, barulah ada ikhtiar mengumpulkan dan
menuliskannya. Zaid bin tsabit, yang merupakan salah seorang juru tulis
muhammad, ditugaskan untuk maksud tersebut. Dia dianggap mengenal sekian banyak
ayat al-Qur’an di dalam hafalan, yang menuliskannya berdasarkan dikte dari
Nabi. Sedangkan bagian-bagian lainnya dikumpulkannya sekelumit demi sekelumit
dari berbagai pihak, yang pernah mencatat dan menuliskannya dan sekian banyak
bagian lainnya dicatatnya kembali dari pernyataan berbagai murid yang
mengatakan pernah mendengarkannya secara lisan dari pihak Nabi sendiri. Sekian
banyak kekeliruan, sisipan-sisipan dan kontradiksi-kontradiksi menyelusup ke
dalam naskah-naskah tersebut, sehingga utsman khalifah yang ketiga.
Mengumpulkan kembali semua naskah yang beredar tersebut, dan membentuk naskah
baru yang dikatakannya al-Qur’an yang murni, dan lantas naskah-naskah lainnya
itu dimusnahkan.”
Sikap dan pandangan Washington Irving itu niscaya dirasakan
menyakitkan hati setiap muslim, karena banyak hal-hal yang tidak benar di dalam
ungkapan tersebut. Dari ungkapan Washington Irving itu tergambarlah, bahwa
seakan-akan dia memiliki naskah dari masa Nabi besar Muhammad SAW, dan juga
memiliki naskah pada masa Khalifah Abu Bakar, dan lalu membandingkannya dengan
naskah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang merupakan pegangan umat Islam
sampai saat ini. Tetapi benarkah Washington Irving memiliki dua jenis naskah
itu untuk dijadikan alat banding? Tentu saja tidak. Justru penalarannya
berpijak pada dasar yang tidak benar dan karena itu pula kesimpulan-kesimpulan
di dalam sikap dan pandangannya juga tidak benar. Apalagi tidak dikemukakan
pembuktian mengenai ayat-ayat yang dikatakannya sisipan, samar-samar, ketiadaan
ujung pangkal, kontradiksi dan sebagainya.
b.
Dr.
Theodore Noldeke (1836-1930) adalah
seorang Orientalis terkemuka di jerman yang khusus mendalami bahsa siryani,
Arab dan parsi, mengemukakan pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai
berikut: “kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan keseeluruhan
mengenai watak Muhammad itu, bahkan mempunyai karya yang otentik yaitu
al-Qur’an yang disampaikannya atas nama Allah. Sekalipun demikian, tokoh yang
luar biasa menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka
teki. Ia banyak sekali mendalami agama yahudi dan agama kristen, tapi hanya
melalui laporan lisan belaka. Sekalipun mengenai soal apakah betul muhammad itu
tak pandai membaca dan menulis, pasti bahwa dia tidak pernah membaca Bible
ataupun kitab-kitab lainnya. Tokoh-tokoh tempat dia mengumpulkan informasi
mengenai agama-agama tua yang monoteisis itu pastilah pihak yang kurang
terpelajar. Terlebih khusus guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”
Dari ungkapan Theodore Noldeke sarjana orientalis jerman itu,
terbayanglah di depan mata siapapun bahwa di Makkah, pada masa-masa sebelum
Nabi besar Muahammad SAW menjalankan dakwah pada tahun 610 M, ada fakultas
teologi dari sebuah Universitas dan Muhammad adalah mahasiswa yang tekun
mempelajari berbagai agama sekian tahun lamanya ke berbagai guru yahudi dan
keristen, seperti yang dilakukan mahasiswa Theodore Noldeke sendiri sewaktu
mempelajari agama Islam. Jadi Theodore Noldeke terlalu berkhayal dengan semua
ungkapannya tersebut.
c.
Reinhart Dozy (1820-1884) adalah
seorang orientalis terkemuka di Negeri Belanda dan mahaguru bahasa Arab di
Universitas Leiden, yang luas sekali studinya tentang berbagai daulat Islam di
Andalusia. Pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “kitab
yang berisikan wahyu kepada Muhammad, yang sekalipun tidak terlampau lengkap
tetapi setidaknya merupakan sumber yang dapat dipercayai mengenai riwayat hidup
Muhammad itu, mengungkapkan berbagai keistimewaan dan keluarbiasaan daripada sumber lainnya.
Al-Qur’an itu berisikan kumpulan kisah-kisah, bimbingan , hukum dan sebagainya,
ditempatkan damping-berdampingan tanpa memperhatikan urutan kronologis ataupun
urutan lainnya. Wahyu-wahyu itu jarang sekali yang panjang, kebanyakan
berisikan ayat-ayat singkat, yang langsung dituliskan pada masa Muhammad,
atupun dipercayakan kepada hafalan ingatan, karena sebagimana dibuktikan dari
silsilah keturunan beserta sajak-sajak dari masa jahiliah yang diwariskan turun
temurun secara lisan, menunjukkan orang-orang semasa Muhammad itu memiliki
ingatan yang kuat sekali, seperti halnya setiap kelompok yang sedikit sekali
mempergunakan tulisan. Pada masa Muhammad itu dikenali bahwa pihak yahudi
mengubah ayat-ayat perjanjian lama pada beberapa tempat, bahkan mereka dikutuk
atas perbuatnnya itu dan fakta itu dapat dibuktikan secara positif. Sepanjang
sejarah yahudi Terdapat alasan-alasan
untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut, yang dari titik pandang
tertentu dipandang suatu keharusan, tapi pihak Muhammad tidak punya alasan yang
sama seperti piihak yahudi itu untuk melakukan suatu perubahan ataupun
tambahan.”
Dari pandangan Reinhart Dozy, tokoh Orientalist dari holand
(belanda) itu, tampak bahwa ia mengakui dengan mengemukakan bukti-bukti yang
rasional sekali bahwa orang-orang pada masa nabi Muhammad SAW itu memiliki
kemampuan ingatan yang kuat sekali. Jika pada masa itu orang punya ingatan yang
kuat sekali dan andai ada sesuatu pihak pada masa itu dengan sesuatu alasan
yang lain melakukan perubahan maupun tambahan, niscaya akan cepat terlihat dan
cepat memperoleh reaksi dari sana sini. Karena itulah argumentasi terakhir dari
R. Dozy itu tidak logis sama sekali.
d.
Philip
K. Hitti adalah seorang Orientalis terkemuka, pandangannya mengenai kitab suci
al-Qur’an sebagai berikut: “dibanding dengan Bible, ketidakpastian pada ayat
al-Qur’an sedikit sekali. Versi resmi yang pertama dan terakhir dari al-Qur’an
itu dibanding 19 tahun sesudah Muhammad
wafat. Hal itu disebabkan karena tokoh-tokoh yang hafal al-Qur’an makin
berkurang karena pertempuran yang terus menerus, dari ayat-ayat yang ditulis
pada himpunan pelapah tamar dan kepingan-kepingan batu putih dan dari
hafalan-hafalan ingatan, maka naskah yang ula-mula dan tidak resmi itu disusun
kembali. Kemudian seluruh naskah lainnya dimusnahkan. Al-Qur’an yang memiliki
6.239 ayat, atau 77.934 kata, atau 323.621 huruf itu diawasi senantiasa dengan
sangat hati-hati. Al-Qur’an itu bukan hanya merupakan jantung agama, penuntun
kepada kerajaan samawi, tetapi juga Ikhtisar ilmu dan dokumen politik,
berisikan himpunan hukum untuk kerajaan di bumi.”
Dari sekelumit pendapat Philip K. Hitti mengenai kitab suci
al-Qur’an itu terlihat suatu kenyataan bahwa, dari banyaknya kekaburan, sisipan
dan tambahan pada ayat al-Qur’an itu menurut pendapat tokoh-tokoh Orientalis
sebelumnya, kini bergeser kepada sedikit sekali ketidakpastian pada ayat
al-Qur’an itu. Pergeseran pendapat serupa itu dari abad ke abad tidaklah
menakjubkan, karena apa yang disebut dengan pendapat ilmiah itu senantiasa dapat
saja berubah dari waktu ke waktu berkat perkembangan hasil penelitian.
Pergeseran serupa itu tetap berkelanjutan disebabkan perkembangan aktivitas
penelitian seseorang tokoh ilmuan dari waktu ke waktu.
e.
Prof.
Dr, Tor Andrae, Orientalis dari Jerman itu menulis mengenai kitab suci
al-Qur’an sebagai berikut: “Muhammad tampaknya termasuk tipe mendengar
suara. Wahyu yang diterimanya itu didiktekan kepadanya oleh suatu suara yang
dia atributkan kepada malaikat jibril. Pembuktian atas kemurnian wahyu yang
diterimanya itu dikemukakan Muhammad dalam surah al-Qiyamah,ayat 16-19 yang
disitu kita baca ( janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya). Justru sang Nabi itu tidaklah
menggerakkan lidahnya dengan sengaja membentuk lebih dulu kata-kata yang akan
diucapkan malaikat. Tapi dengan tenang dan dia, dia menantikan bacaan malaikat,
dengan jaminan bahwa kalimat-kalimat Illahi itu akan tetap membekam di dalam
ingatannya.”
Tor Andrae membicarakan panjang lebar tentang al-Qur’an sebagai
himpunan wahyu dengan membahas pengertian wahyu dan hal-hal yang berkaitan
dengan wahyu, dan membandingkannya dengan nabi-nabi yang tercantum di dalam Holy
Bible. Selanjutnya membandingkannya kepada kenyataan-kenyataan yang dialami
seniman-seniman terbesar sewaktu menerima Ilham bagi setiap karyanya. Dalam hal
itu Tor Andrae mengemukakan data-data yang ditemukan di dalam al-Qur’an sendiri
beserta hadis-hadis al-Mutawatir tentang keadaan Nabi besar Muhammad SAW,
ketika menerima wahyu lalu menyorotinya sepanjang teori-teori psikologi
Mutakhir. Dari ungkapan tersebut tampak Tor Andrae itu makin lebih maju dari
pendapat Philip K. Hitti seperti diuraikan lebih dulu.
f.
W.
Montgomery Watt, mahaguru pada Universitas Edinburgh, Skotlandia, menulis buku
berjudul Muhammad, Prophet and Statesman (Muhammad, Nabi dan Negarawan)
yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 1961. Kata pengantar dari penulisnya
tertanda “Agustus 1960” menyatakan buku tersebut merupakan Ikhtisar dari dua
buah karya tebal pada masa sebelumnya, yaitu Muhammad at Meecca dan Muhammad
at Medina.
Sekalipun pendapat W. Montgomery Watt terhadap pribadi Nabi
Muhammad SAW itu dapat dinyatakan positif tetapi sebaliknya terhadap al-Qur’an
berbalik negatif, dalam bukunya tersebut ia menulis: “Muhammad itu seorang
yang jujur janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagi
kepercayaan, kepercayaan Muhammad bahwa wahyu-wahyu itu datang dari Allah
tidaklah mencegahnya untuk menyusun sendiri dan selanjutnya memperbaikinya
dengan jalan penghapusan ataupu penambahan.”
Dari sekelumit ungkapan W. Montgomery Watt Orientalis dari
Skotlandia itu menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan dan
ada yang ditambahkan. Tetapi anehnya, seperti juga dengan tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya, dia tidak pernah
menunjukkan mana ayat-ayat yang dihilangkan dan mana ayat-ayat yang ditambahkan
di dalam al-Qur’an itu dan apa pembuktian untuk mengukuhkan pernyataan
tersebut.
Jika kalangan sarjana Bible dalam dunia kristen sendiri menyatakan
bahwa di dalam Bible itu banyak yang
dihilangkan dan banyak yang merupakan sisipan/tambahan, mereka memang mampu
membuktikannya dengan membandingkan Codex Sinaiticus, naskah Grik yang
ditemukan tahun 1862, dengan Vulgata naskah latin yang menjadi pegangan
dunia kristen sejak abad ke-5 sampai
pertengahan abad ke-19. Tetapi sebaliknya, kalangan Orientalis yang menyatakan bahwa di dalam
al-Qur’an itu ada yang dihilangkan adan ada yang ditambahkan, tidak pernah
mengemukakan bukti untuk mengukuhkan pernyataan tersebut. Disinilah bedanya
ungkapan tokoh-tokoh orientalis tertentu
mengenai al-Qur’an dengan ungkapan kalangan sarjana Bible dalam dunia Kristen
sendiri mengenai Bible.
g.
Sir
Hamilton A.R. Gibb membicarakan kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “apakah
al-Qur’an itu dituliskan sepenuhnya pada masa hidup Muhammad, hal itu masih
merupakan satu soal karena keterangan-keterangan trdisional saling berlawanan.
Tapi tanggapan yang umum diterima adalah bahwa pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an
itu untuk pertama kalinya berlangsung beberapa tahun sesudah wafat, dikumpulkan
dari kepingan-kepingan perkamen, catatan pada batu tipis dan pada
pelapah-pelapah tamar dan lainnya, beserta dari hafalan-hafalan seseorang.
Karena itulah boleh jadi terdapat ketidaksamaan serta hubungan-hubnungan yang ganjil
pada surah-surah yang panjang. Adalah pasti bahwa di samping catatan-catatan
tertulis itu, kalangan sahabat Nabi mengingatnya dalam ingatan dan menyalurkan
versi hafalannya itu dengan sedikit ragam variasi.”
Pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb yang didasarkan pada hasil
penelitiannya mengenai kitab suci al-Qur’an itu, tampak lebih maju lagi
dibanding pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya. Seperti dinyatakan
sebelumnya, makin luas dan mendalam suatu penelitian ilmiah, semakin terjadi
perkembangan paendapat, sebagai akibat yang wajar dan logis.
h.
Dr.
Maurice Bucaille sarjana dan ahli bedah Perancis membandingkan ayat-ayat Bible
dengan Sains Modern dan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sains Modern,
kemudian membuktikan batapa ayat-ayat Bible itu berlawanan dengan
penemuan-penemuan Ilmiah dan sebaliknya, ayat-ayat Qur’an itu memperlihatkan
keselarasan dengan penemuan-penemuan ilmiah, sehingga hal itu sangat
menakjubkan, mengingat ayat-ayat al-Qur’an disampaikan oleh Nabi besar Muhammad
SAW pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan kenyataan yang menakjubkan itu, Dr.
Maurice Bucaille mengungkapkan pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an
sebagai berikut; “keaslian yang tidak dapat disangsikan lagi telah memberi
kepada al-Qur’an itu suatu kedudukan istimewa diantara kitab-kitab suci
lainnya, kedudukan itu khusus bagi al-Qur’an, dan tidak tertandingi oleh
perjanjian lama dan perjanjian baharu. Dalam dua bagian pertama dalam buku ini
kami telah menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perjanjian lama dan
empat Injil, sebelum Bible itu dapat kita baca dalam keadaanya sekarang.
Al-Qur’an tidak begitu halnya, oleh karena al-Qur’an itu telah ditetapkan pada
zaman Muhammad.”
Demikian ungkapan Dr. Maurice Bucaille mengenai kitab suci
al-Qur’an. Ia sering menyebut sumber-sumber, dan memadu keterangan dari
sumber-sumber tersebut, yakni sumber-sumber sejarah tertua. Hal itu menunjukkan
bahwa penelitian sarjana perancis itu lebih luas dan mendalam, hingga pendapat
yang dikemukakannya tampak lebih maju lagi dibanding dengan pendapat Sir
Hamilton A.R. Gibb. Di samping meneliti data-data sejarah, Maurice Bucaille
juga meneliti isi pesan di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
berbagai bidang ilmiah (Sains Modern), di dalam perbandingannya dengan
ayat-ayat di dalam Holy Bible. Ia mengutip ayat-ayat Holy Bible yang berkaitan
dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya berlawanan dengan
penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru. Sebaliknya ia mengutip ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata kebenaran
satu persatunya dibuktikan oleh penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru.
Siapapun bebas mengemukakan jawabannya atas problema itu. Tapi, Dr.
Maurice Bucaille tegas dalam jawabannya bahwa satu persatu ayat tersebut adalah
wahyu Illahi.
i.
Dr.
Toshihiko Izutsu melalui karyanya Ethico Religious Concept inthe Qur’an menyoroti
kitab suci al-Qur’an dari jurusan nilai-nilai sepanjang etis yang terkandung
dalam setiap ayat al-Qur’an. Dr. Toshihiko Izutsu adalah mahaguru pada institute
of Cultural and Linguistic Studies, Universitas Keio di Tokyo (Jepang),
yang setiap tahun menjabat mahguru selama enam bulan pada Institute of
Islamic Studies, McGill University, Kanada, untuk mata kuliah teologi Islam
dan filsafat islam. Banyak karyanya dalam masalah Islam, baik yang diterbitkan
oleh Universitas Keio di tokyo maupun Universitas McGill di Kanada.
Pendapat Izutsu mengenai etika al-Qur’an itu memperdengarkan
pandangan yang positif terhadap nilai-nilai sosial dan nilai-nilai agamawi yang
terkandung di dalam al-Qur’an, dan pandangannya yang positif itu tercermian
sepenuhnya di dalam karyanya yang demikian tebal.
Membandingkan
sikap dan pandangan Dr. Toshihiko Izutsu dengan sikap dan pandangan Washington
Irving beserta tokoh-tokoh Orientalis berikutnya mengenai kitab suci al-Qur’an
dapat daisaksikan suatu kenyataan, bahwa terjadi perkemabangan pendapat secara
terus menerus dan pada akhirnya kagum dan takjub. Layaknya bagaikan orang yang
memandangi bangunan Alhambra dari jauh, menampak berbagai cacad pada bangunan itu, tapi sewaktu datang
mendekatinya dan makin lama makin dekat,
dan akhirnya memasukinya, lantas ia pun kagum dan takjub menyaksikan tata rias
ruangan demi ruangan yang demikian banyaknya. Dengan penuh kejujuran, ia pun
mengakui keindahan dan keistimewaan bangunan Alhambra di Andalusia itu.
Demikian pula sikap dan pandangan pihak Orientalis terhadap kitab suci
al-Qur’an.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Orientalis merupakan study yang
dilakukan oleh intelektual Barat untuk mempelajari situasi Timur,khususnya yang
menyangkut sejarah, agama, bahasa, etika, tradisi,seni dan adat istiadat
kebiasaan bangsa Timur
Dalam
pendekatanya orientalis melakukan beberapa metode pendekatan
diantaranya:Pendekatan Historis,Pendekatan Fenomologis dan Pendekatan
Historis-Fenomonologis.
Adapun Pada
umumnya pandangan orientalis terhadap
al-quran berkutat pada keotentikan al-quran,akan tetapi ternyata tidak hanya
sebatas itu sebab banyak pula isu-isu klasik yang selalu diangkat,diantaranya:
mengenai pengaruh Yahudi dan Kristen terhadap Islam maupun isi kandungan al-quran,
ada pula yang berusaha mengungkapkan segala sesuatu yang boleh dijadikan
pinjaman dan pengaruh terhadap hal-hal tersebut,seperti dari literature Yahudi-Kristen,ada
juga yang membandingkan dengan adat istiadat jahiliyyah,Romawi dan adat
istiadat lainya yang pernah berkembang di bangsa arab,yang merupakan tempat
pertama diturunkanya al-quran,mereka juga mengatakan bahwa ceria-cerita yang
ada dalam al-quran banyak yang keliru karena tidak sama dengan Versi Bibel, sehingga muncul dalam anggapan
mereka bahwa semua ceria-cerita yang ada dalam al-quran merupakan dongeng dan
manipulasi Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
Arief
, Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, 2008, Jakarta: Gema Insani Press
Armas,
Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, 2003,
Jakarta: Gema Insani
Azami,
Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, 2005,
Jakarta, Gema Insani
Bukhari, A Mannan, menyingkap Tabir Orientalisme, 2006,
Jakarta: Amzah
Saenong,
Faried. F, Kesarjanaan al-Qur’an di
Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), 2006, Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an
Sou’yb, M. Joesoef, Orientalisme
dan Islam, 1995, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Quraish
Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), 2006, Ciputat:
Pusat Studi al-Qur’an
Umar, Nasarudin, al-Qur;an
di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an)
http://khaerul21.wordpress.com/2009/03/24/propaganda-orientalis-terhadap-al-quran-tinjauan-historis/
[1] Faried F.
Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an),
(Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an, 2006), vol. I, hlm. 147
[2] Faried F.
Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol.
I, hlm. 150
[3] Faried F.
Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol.
I, hlm. 154
[4] Faried F.
Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol.
I, hlm. 167
[5] Adnin Armas, Pengaruh
Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
hlm. 64
[6] Nasarudin
Umar, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm.
92
[7] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press,
2008, hlm. 3
[8] Mustafa Azami,
Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema
Insani, 2005), hlm. 337.
[9] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 10
[10] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11-12
[11] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 6
[12] Quraish
Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 42
[13] Quraish
Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 36
[14] Mustafa Azami,
Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344
[15] Mustafa Azami,
Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 347
[16] http://khaerul21.wordpress.com/2009/03/24/propaganda-orientalis-terhadap-al-quran-tinjauan-historis/
[17] A Mannan
Bukhari, menyingkap Tabir Orientalisme,(Jakarta:Amzah, 2006) Hlm 53-54
[18] M. Joesoef
Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Cet
III, Hlm 123-146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar