BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an,
kitab suci umat Islam, merupakan kitab yang paling memiliki kekuatan sepanjang
sejarah manusia. Kekuatan tersebut terkadang muncul dengan sendiri, karena
aspek estetis al-Qur’an atau dimunculkan oleh manusia (ulama, mufassir) melalui
kajian-kajian tafsirnya. Kajian-kajian tersebut dituliskan dalam kitab-kitab
tafsir yang memiliki diversitas metode, corak, bentuk, dan karateristiknya.
Seiring berjalannya waktu, diversitas itu dengan sendiri kemudian membentuk mazhab-mazhab
tafsir.[1]
Dalam makalah
ini pemakalah akan mencoba sedikit menguraikan tentang salah satu kitab tafsir
klasik karya Abu Hayyan al-Andalusi yang bernama Al-Bahr Al-Muhiht.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Abu
Hayyan?
2. Bagaimanakah
Metode Penafsiran Kitab Al-Bahr Al-Muhiht?
3. Bagaimanakah
Karateristik Penafsiran Kitab Al-Bahr Al-Muhiht?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi penulis
Nama lengkapnya
Atsirudin abu Abdillah Muhammad bin
Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusy
al-Garnathi al-Hayyani, populer dengan Abu Hayyan. Lahir di Granathah
pada tahun 654 H/1256 M.[2] Orang
tuanya berasal dari keturunan suku Barbar. Ia hidup pada masa Dinasti Bani
Ahmar (Dinasti Nashriyyah) berkuasa, dinasti ini merupakan dinasti Islam
terakhir yang berkuasa di Spanyol.
Di bawah
pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal al-Qur’an. Setelah itu,
menashih hafalanya kepada sejumlah Ulama. Al-Andalusi juga gemar berkelana
menuntut ilmu keberbagai tempat misalnya Andalus, Afrika, Iskandariyah, Mesir,
dan Hijaz. Di berbagai daerah tersebut beliau berguru tak kurang dari 450
Ulama. Dari mereka beragam disiplin ilmu diserap mulai tafsir, hadis, qira’at,
bahasa Arab, sastra, hingga sejarah.[3]
Sehinggan Abu Hayyan muncul sebagai ahli hadis, sejarahwan, sastrawan, dan
mufassir.[4] Beliau
juga menguasai berbagai Qira’at, baik qira’at yang shahih maupun qira’at yang
syadz, ganjil (beda sendiri).[5]
Ada yang
mengatakan bahwa Abu Hayyan itu pada awalnya bermadzhab Zhairiah [6]dalam
bidang fiqih, kemudian mengikuti madzhab Syafi’i. Abu Hayyan luput dari
filsafat, dari paham Mu’tazilah, dan Tajsim. Beliau memegang teguh akidah
salaf.[7]
Abu Hayyan
al-Andalusi menghasilkan banyak karya yang bertebaran di berbagai penjuru dunia
pada saat beliau masih hidup atapun setelah beliau meninggal, diantara
karya-karyanya adalah:
·
Al-Bahr
al-Muhith
·
Al-Nahr
al-Madd min Bahr al-Muhith (ringkasan dari kitab al-Bahr al-Muhith)
·
Ittihaf
al-Arib bima fi al-Qur’an min al-Gharib
·
Al-Tajzyil
wa al-Takmil fi Sarh al-Tashil
·
Gharib
al-Qur’an
·
Manzuhumah
‘ala Wazn al-Syathibiyah fi al-Qiraat
·
Lughat
al-Qur’an[8]
·
Dan
masih banyak lagi karya Abu Hayyan yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Banyak komentar para ulama mengenai sosok Abu Hayyan al-Andalusi, diantaranya:
·
Ibn
Al-‘Imad dalam kitab Syadzarat adz-dzahab berkata: “abu hayyan adalah
orang yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar hadis, Tafsir, bahasa
arab, Qira’at, sastra dan sejarah. Namanya terkenal dan pujiannya tersebar,
para pembesar pada masanya berguru dengannya dan mereka menjadi terkemuka pada
masa hidupnya’’.
·
Ash-Shafdi
berkata: “saya tidak pernah melihatnya kecuali ia sedang mendengar (ilmu),
bekerja, menulis, atau membaca kitab. Ia adalah orang yang ahli dan kenal
dengan bahasa arab, adapun ilmu nahwu dan sharaf, maka ia adalah pakarnya. Ia
menghabiskan kebanyakan dari umurnya untuk menutut ilmu, sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang bisa menandinginya. Ia telah memberikan
pengorbanan besar dalam bidang tafsir, hadis dan biografi para tokoh, dan
mengenal tingkatan mereka secara khusus ulama-ulama maroko dan ia telah banyak
mendidik generasi baik di zaman klasik maupun modern, menghubungkan orang-orang
yang datang kemudian dengan ulama-ulama besar yang hidup sebelumnya, dan jadilah
semua muridnya sebagai para pemimpin dan syaikh-syaikh semasa hidupnya.
·
Diantaranya
lagi sebagaimana yang dikatakan oleh al-Adfawi tentangnya: “beliau adalah
seorang yang adil, jujur, selamat akidahnya dari bid’ah-bid’ah filsafat,
Mu’tazilah dan yang berlebihan. Ia sangat Khusyu’, sering menangis ketika
membaca Al-Qur’an, perawakannya berbadan tinggi, Bagus, Tampan, Berkulit putih
kemerah-merahan, putih ubannya, tebal jenggotnya dan panjang tertata rapi
rambutnya.”[9]
Abu hayyan
wafat setelah lama berkorban demi melayani al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, Wafat di
mesir tahun 745 H. Semoga Allah menghujani rahmat kepadanya dan meridhainya,
amin.[10]
B.
Seputar kitab tafsir Bahr Al Muhith
Kitab al-Bahr
al-Muhit terdiri dari 8 jilid besar, telah di cetak dan beredar di kalangan
ahli ilmu. Kitab ini tergolong rujukan pertama dan terpenting bagi yang ingin
menjalani sisi-sisi i’rab dalam lafadz al-Qur’an. Karena sisi-sisi nahwu pada
tafsir ini lebih menonjol dibanding yang lain. Saat membahas sisi nahwu dalam
kitab ini, ia menjadi “putra” bagi ilmu ini. Beliau telah memperbanyak membahas
masalah nahwu dan khilafiyah antara ulama dibidang ini.[11]
Di dalam kitab
tafsir ini, beliau cenderung memperluas perhatiannya untuk menerangkan wajah-wajah
i’rab dan masalah-masalah nahwu, bahkan cenderung memperluasnya karena beliau
mengemukakan, mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan pendapat di kalangan
ahli nahwu, sehingga kitab ini lebih dekat ke kitab-kitab nahwu dari pada ke
kitab-kitab tafsir.[12]
Beliau juga mengutip pendapat para ulama dalam masalah-masalah fiqih yang
memiliki keterkaitan dengan lafadz-lafadz yang ditafsirkan tersebut, baik dari
empat Imam mazhab maupun lainnya, di samping argumen-argumen lain yang terdapat
di dalam kitab-kitab fiqih.[13]
Berkiatan
dengan kisah-kiasah Israiliyat, ternyata Abu Hayyan juga banyak mengutip dalam
kitabnya. Diantara kisah-kisah Israiliyat yang dikutip, yang sebenarnya
berstatus maudhu’ (palsu) –walaupun hanya sepintas- adalah riwayat tentang batu
nabi Musa, Daud dan Istrinya, begitu juga kisah kaum Iram atau Arim (kaum nabi
Hud) disinyalir sebagai riwayat yang Bathil. Dalam hal ini Abu Hayyan dianggap
tidak konsisten, karena dalam mukadimah kitabnya beliau mengatakan
“cerita-cerita atau kisah-kisah Israiliyat yang tidak sesuai dengan syari’at
dan akal sehat sangat tidak layak disebutkan dalam ilmu Tafsir”. Sementara
beliau terkadang melanggar pernyataannya sendiri, misalnya ketika menceritakan
kisah Harut dan Marut. Namun begitu, dalam kaitan ini Abu Hayyan hanya mendasarkan pada apa yang
dianggap benar oleh Ibn ‘Athiyah. Sementara dalam penafsirannya sendiri beliau
tidak menganggap.[14]
Di dalam tafsir ini juga Abu Hayyan memasukan
hadis-hadis dha’if yang mana diriwayatkan oleh seorang yang
tidak tsiqqah. Ini beliau cantumkan hanya memberi keterangan kepada pembaca
untuk tidak terpedaya dengannya. Hal ini juga sangat sedikit dan jarang sekali
dijumpai.[15] Selain itu juga Abu
Hayyan dikenal banyak menulis syair-syair yang indah dalam Tafsirnya yang menjadikannya
termasuk dalam golongan ahli hikmah.[16]
C.
Latar belakang penulisan al-Bahr al-Muhith
Abu Hayyan
memberi nama kitab Tafsir nya dengan al-Bahr al-Muhith yang artinya lautan yang
luas, banyak para pengkaji yang tidak mampu menyelesaikanya karena teramat
panjang.[17]
Abu Hayyan telah
lama berkhidmat kepada al-Qur’an dan ilmu-ilmu bahasa hingga hampir 60 tahun
dari umurnya. Kemudian beliau sibuk semata-mata mengarang tafsir al-Qur’an
setelah berhasil mendapatkan ilmu-ilmu ahli tafsir yang dengannya beliau bisa
mencapai keberuntungan yang abadi.[18]
Abu Hayyan
dalam Mukadimah tafsirnya al-Bahr al-Muhith berkata sebagai berikut:
“sesungguhnya ilmu pengetahuan itu banyak dan semuanya penting. Dan yang lebih
penting adalah yang membawa kepada kehidupan abadi, keberuntungan yang kekal, yaitu ilmu kitab Allah. Ilmu
inilah yang dituju, sedangka ilmu-ilmu lainnya hanya bagaikan alat-alatnya
saja. Ia adalah buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, timbangan yang
lebih sempurna dan lebih kuat, tali yang kukuh, dan jalan yang lurus, dan
senantiasa bergejolak dalam ingatan dan pikiranku bahwa jika aku telah sampai
kepada masa terpecahnya kulit, yaitu masa yang melepaskan kebebasan para pemuda
yang dikatakan: apabila seorang lelaki telah sampai umurnya 60 tahun hendaklah
ia menghindari minuman keras. Saya memohon kepada Allah yang maha pengasih
untuk semata-mata memikirkan tafsir al-Qur’an. Allah memperkenankan keinginanku
itu, waktu itu akhir tahun 710 H, yaitu awal tahun dari umurku yang ke 57
tahun, maka saya berniat untuk menysusun kitab ini”.[19]
Dari perkataan
beliau di atas, bisa kami ambil kesimpulan, bahwa Abu Hayyan menyusun kitab
tafsir Bahr al-Muhith, karena ingin mengamalkan Ilmunya yang telah beliau
banyak dapati selama itu. Abu Hayyan mulai menyusun kitab ini tatkala usianya 57 tahun, tepatnya tahun 710
H.
D.
Metode penafsiran al-Bahr al-Muhith
Beliau
mengawali kitab tafsirnya dengan mukadimah yang sangat indah, kemudian juga
menyebutkan teknik penulisannya, ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir,
kriteria-kriteria yang seharusnya dimiliki oleh mufassir, dan membicarakan
sebagian mufassir terdahulu, semisal al-Zamakhsyari, dengan kitab tafsirnya
al-Kasyaf dan ‘Ibn ‘Athiyah dengan kitab tafsirnya al-Muharrar al-Wajiz. Beliau
juga menjelaskan dalam mukadimahnya tentang keutamaan al-Qur’an serta memberi
motivasi untuk mendalami Tafsir, nama Mufassir dari kalangan sahabat dan
tabi’in, juga definisi ilmu tafsir, baik dari segi etimologis maupun
terminologis.[20]
Dalam menyusun
kitab ini beliau mula-mula bicara tentang ayat demi ayat dengan menafsiri
setiap kata atau lafadz dari sisi bahasa dan nahwu sesuai yang dibutuhkan. Jika
satu kata mengandung dua makna atau lebih, maka Abu Hayyan menyebutkannya untuk kemudian dilihat manakah dari
makna-makna itu yang cocok dengan kata-kata tersebut. Kemudian barulah beliau
menafsiri ayat dengan menyebut sebab nuzul kalau sebab nuzul itu ada,
menyebutkan munasabah dan keterkaitannya dengan ayat sebelumnya, menyebutkan
naskhnya jika ada, juga menyebutkan sejumlah qira’at terhadap ayat tersebut
baik qira’at yang berlaku maupun yang tidak berlaku, dilengkapi dengan mengutip
ucapan para salaf dan khalaf dalam memahami ayat.
Kemudian
dijelaskan juga kata-kata yang ada, baik yang jelas maupun yang samar dengan
menerangkan i’rabnya yang samar, dan kelembutan sastra dengan mencoba tidak
mengulangi pembahasan tentang kata yang telah dijelaskan atau ayat yang telah
di tafsiri. Jika ada pengulangan, hal itu untuk menambah ilmu dan manfaat,
disertai dengan pengutipan pendapat para imam madzhab empat dan yang lainnya
dalam bidang hukum syari’ah, sambil menunjukan
dalil-dalil yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih.
Begitu juga
berkenaan dengan kaidah-kaidah nahwu, beliau menyebutkan nya dan menunjukannya
ke kitab-kitab nahwu. Kemudian beliau mengakhiri penafsiran ayat dari sisi
bahasa dengan pembahasan dari sisi ilmu bayan dan badi’ (ilmu sastra) secara
sekilas, dilanjutkan dengan uraian bebas tentang kandungan ayat sesuai dengan
makna yang beliau pilih. [21]
E.
Corak penafsiran al-Bahr al-Muhith
Tafsir al-Bahr
al-Muhith adalah tafsir dengan corak balaghi, yang penekanannya pada
kaidah-kaidah nahwu, bahasa arab, Balaghah, dan juga Qira’at baik yang Mahsyur
maupun yang syadz.[22]
Pada sisi lain,
abu hayyan sangat tidak setuju dengan penafsiran dengan corak ilmiah, yang di lakukan al-Razi, yang kitabnya sangat
kental dengan tafsir ilminya.[23]
Kesimpulannya
tafsir Abu Hayyan lebih banyak didominasi oleh pembahasan sisi nahwu sebagai
disiplin Ilmu yang paling dikuasainya mengalahkan sisi-sisi yang lain.[24]
F.
Karakteristik tafsir al-Bahr al-Muhith
Tafsir Bahrul
Muhith merupakan salah satu kitab Tafsir yang tergolong Tafsir bir-Ra’yi. Krena
di dalamnya beliau melengkapi dengan berbagai cabang ilmu yang meliputi Nahwu,
Sharaf, Balaghah, Hukum-hukum fiqih dan yang lainnya yang dianggap oleh beliau
masih ada hubungannya dengan rujukan Tafsir.[25]
G.
sumber penafsiran al-Bahr al-Muhith
Abu Hayyan dalam
menyusun tafsirnya tidak lepas dari berbagai referensi kitab-kitab klasik
lainnya. Hal ini beliau lakukan demi mewujudkan Kitab ini sesuai dengan namanya
Al-Bahru Al-Muhit. Referensi-referensi tersebut bersumber dari berbagai
disiplin ilmu selama masih terkait dengan Wawasan Tafsir. Ini bukan berarti
penulisan kitab Bahrul Muhit seutuhnya atas landasan kitab-kitab terdahulu.
Namun, tidak jarang juga beliau melakukan kritikan terhadap kitab-kitab
tersebut. Beliau hanya melakukan penilaian atas kitab-kitab terdahulu dan
mengambilnya yang beliau yakini serta membantahnya yang dianggapnya salah
dengan landasan Al-Quran dan Hadis. [26]
Dalam banyak
hal beliau berpedoman pada kitab At-Tahrir Wat Tahbir li Aqwali A’immatit
Tafsir, karya gurunya Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Miqdasi
yang terkenal dengan Ibnu Naqib.[27]
Dalam tafsir
ini juga Abu Hayyan banyak mengutip dari tafsir Az Zamakhsyari dan tafsir Ibn
‘Athiyah, terutama yang berhubungan dengan masalah nahwu dan ‘irab. Meskipun banyak yang ditolak dari pendapat
ibn ‘Athiyah ini, akan tetapi harus jujur dikatakan bahwa tafsir Ibn ‘Athiyah
telah memberi manfaat besar bagi Abu Hayyan. [28]
Abu Hayyan tidak menyukai paham ke Mu’tazilahan Az Zamakhsyari. Karena itu ia
mengkritik dan menyanggahnya dengan gaya bahasa yang sinis. Dan seringkali ia
mengakhiri kutipannya dengan sanggahan, bahkan terkadang pula beliau menyerang
Zamakhsyari dengan gencar, walaupun di sisi lain beliau memujinya karena
keteramapilan nya yang menonjol dalam menyingkapkan retorika (Balaghah) Qur’an
dan kekuatan bayan nya.
H.
Studi atas kitab Tafsir al-Bahr al-Muhith
Ternyata banyak
juga yang melakukan studi kritis atas kitab tafsir ini, diantaranya:
·
Abu
Hayyan al-andalusi: Manhajuhu fi Tafsir al-Qur’an. Disertai dari ‘Ali
al-Sybbah, pada fakultas Syariah dan Ushuluddin, Universitas al-Zaituniyah,
Tunis, tahun 1981 M.
·
I’rab
al-Qur’an fi Tafsir Abi Hayyan, oleh Dr. Shabri Ibrahim al-Syadid. Diterbitkan
pertama oleh Dar al-Ma’rifah, Iskandariah, Mesir 1989.
·
Abu
Hayyan al-Mufassir: Manhajuhu wa Ara’uhu, disertasi dari Muhammad ‘Abd
al-Mun’im Muhammad al-Syafi’i, pada fakultas Ushuluddin, Universitasal Azhar,
Kairo 1972.
·
Ikhtilaf
al-Huruf wa al-Harakat fi al-Qira’at fi Tafsir Abi Hayyan, oleh Dr Muhammad
Ahmad Khathir, dosen fakultas bahasa dan sastra arab, Universitas al-Azhar,
Kairo 1990.
·
Aharis
al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, yang di dalamnya berisi ayat-ayat, hadis,
pendapat para sahabat, juga klan-klan, kabilah-kabilah, nama kota-kota,
nama-nama tempat, nama-nama negara, bait-bait syair. Telah dicetak oleh Dar
al-Fikr 1992, dan saat ini tersimpan di perpustakaan al-Buhus wa al-Dirasar,
Beirut.[29]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Atsirudin abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusy al-Garnathi al-Hayyani, populer dengan Abu Hayyan.
Nama lengkapnya adalah Atsirudin abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusy al-Garnathi al-Hayyani, populer dengan Abu Hayyan.
Kitab al-Bahr al-Muhith
terdiri dari 8 jilid besar, Di dalam kitab tafsir ini, Abu Hayyan cenderung
memperluas perhatiannya untuk menerangkan wajah-wajah i’rab dan masalah-masalah
nahwu, sehingga kitab ini lebih dekat ke kitab-kitab nahwu dari pada ke
kitab-kitab tafsir.
Tafsir al-Bahr
al-Muhith adalah tafsir dengan corak balaghi, yang penekanannya pada
kaidah-kaidah nahwu, bahasa arab, Balaghah, dan juga Qira’at baik yang Mahsyur
maupun yang syadz, jadi tafsir Abu Hayyan ini lebih banyak didominasi oleh
pembahasan sisi nahwu sebagai disiplin Ilmu yang paling dikuasainya mengalahkan
sisi-sisi yang lain.
Tafsir
Bahrul Muhith merupakan salah satu kitab Tafsir yang tergolong Tafsir
bir-Ra’yi. Krena di dalamnya beliau melengkapi dengan berbagai cabang ilmu yang
meliputi Nahwu, Sharaf, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Umar
Nasaruddin, MA, Ulumul Qur’an Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi al-Qur’an (Tanggerang:
Al-Ghazali Center, 2008)
Ash
Shiddieqy Hasbi, sejarah dan pengantar Ilmu Al qur’an atau Tafsir
(jakarta: Bulan Bintang, 1954)
Amin
Ghafur Saiful, Profil para Mufassir al-Qur’an, (Jogjakarta : Pustaka
Insan Madani, 2008)
Hakim
Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-Qur’an,
2013)
Husein
Adz-dzahabi Muhammad, Ensiklopedia Tafsir, (Jakarta: kalam Mulia, 2010)
Saleh
Faisal, terjm Manhaj al-Mufassirun, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2006)
Mudzakir, Terjemah Mabahis Fi Ulumul Qur’an,
(Bogor, Pustaka Litera antar nusa: 2011)
Rul-sq.blogspot.com/2013/12/tafsir-bahr-al-muhit-karya-abu-hayyan.html?m=1
[1] Nasaruddin
Umar, MA, Ulumul Qur’an Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi al-Qur’an (Tanggerang:
Al-Ghazali Center, 2008), cet 1, hlm XI
[2] M. Hasbi Ash
Shiddieqy, sejarah dan pengantar Ilmu Al qur’an atau Tafsir (jakarta:
Bulan Bintang, 1954) Hlm 277
[3] Saiful Amin
Ghafur, Profil para Mufassir al-Qur’an, (Jogjakarta : Pustaka Insan
Madani, 2008), hlm 103
[4] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-Qur’an,
2013), cet 1, hlm 111
[5] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, (Jakarta: kalam Mulia, 2010)
Cet I, Hlm 297
[6] Pendiri
madzhab ini adalah Abu Sulaiman Daud bin Ali al-Asfahaniy az-zahiri, dalam
Madzhab ini Imam Daud amat berpegang
dengan firman Allah dalm surat An-nisa: 59, bahkan telah menjadikan ayat Allah
ini sebagai asas utama madzhabnya. Waqlaupun madzahab ini tersebar luas dan
ramai pengikut, tetapi madzhab ini juga tidak bertahan lama dan mulai pupus
sejak kurun tahun ke lima hijriah dan terus pupus sampai seterusnya. Dan saat
ini madzhab beliau hanya berupa pendapat-pendapat yang terdapat di kitab-kitab.
[7] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, Hlm 297
[8] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 111-112
[9] Faisal Saleh, terjm
Manhaj al-Mufassirun, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) Hlm 386-387
[10] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, Hlm 297-298
[11] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, Hlm 297
[12] Mudzakir AS,
Terjemah Mabahis Fi Ulumul Qur’an, (Bogor, Pustaka Litera antar nusa:
2011) cet 14, Hlm 507
[13] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 112
[14] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 115
[16] Faisal Saleh, terjm
Manhaj al-Mufassirun, Hlm 387
[17] Faisal Saleh, terjm
Manhaj al-Mufassirun, Hlm 389-390
[18] Mani’ Abd
Halim Mahmud, Metodogi Tafsir, Hlm 388
[19] Faisal Saleh, terjm
Manhaj al-Mufassirun, Hlm 388
[20] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 112-113
[21] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, Hlm 298-299
[23] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 114-115
[24] Muhammad
Husein Adz-dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, Hlm 301
[25]
Rul-sq.blogspot.com/2013/12/tafsir-bahr-al-muhit-karya-abu-hayyan.html?m=1
[27]Mudzakir AS,
Terjemah Mabahis Fi Ulumul Qur’an, Hlm 508
[28] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 114
[29] Husnul Hakim
IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, hlm 166
Terimakasih atas makalahnya, sangat bermanfaat,izin untuk save and share, salam pembaca.
BalasHapus