Kita sebagai seorang Muslim
tentu sudah tidak asing Ketika mendengar kisah banjir besar yang terjadi pada
masa nabi Nuh as, kisah-kisah itu bahkan sudah mandarah daging dalam tubuh dan
pikiran kita, karena cerita itu bahkan selalu kita dengar Ketika kita masih
usia belia dan terus terkenang bahkan Ketika kita sudah dewasa lalu mewariskan
cerita-cerita itu kepada generasi-generasi selanjutnya.
Namun ternyata kisah banjir
besar yang terjadi pada masa nabi Nuh as juga tidak hanya diyakini oleh umat
Muslim, tetapi oleh umat keyakinan lain juga sebut saja Nasrani . mereka
meyakini satu nabi Bernama Noah yang mengalami banjir besar karena murka Tuhan
pada masa itu. Di sisi lain, kisah kuno banjir besar itupun sudah menjadi kisah
warisan pada setiap masa dan keyakinan, dengan kisah yang bisa dikatakan hamper
sama dengan kisah nabi Nuh as, mereka bahkan memiliki nama subjek yang berbeda
namun dengan satu kejadian yang sama yaitu datangnya banjir besar karena adanya
murka Tuhan.
Dalam sebuah epos yang berasal
dari abad 18 SM di masa kaum Akkadia, muncul seorang tokoh yang disebut di
dalam sejumlah tablet tanah liat, tokoh itu Bernama Atra-Hasis yang
bermakna ‘sangat bijak’. Ia
seorang raja dari negeri Shuruppak sebagaimana terdapat dalam daftar nama-nama
raja Sumeria yang ditulis oleh penulis kuno. Tokoh Atra-Hasis juga
muncul diversi peradaban Assyria. Tokoh ini kemudian diterjemahkan juga ke
dalam berbagai Bahasa sehingga Atra-Hasis popular selama kurang lebih
5000 tahun di berbagai wilayah di peradaban kuno.
Atra-Hasis sendiri
merupakan seseorang yang bijaksana sekaligus raja yang membuat sebuah kapal
untuk menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan. Disebutkan pula ia merupakan
seseorang yang selamat dari terjangan banjir besar. Nama Atra-Hasis kemudian
berubah menjadi Utnapishtim dan Utana’ishtim.
Di peradaban Sumeria nama itu menjadi
Ziusudra.
Ziusudra merupakan
tokoh yang muncul dalam kisah banjir besar versi Sumeria. Ketika tuhan-tuhan
murka, mereka memutuskan untuk memusnahkan umat manusia. Tuhan Bernama Enlil
kemudian memperingatkan Ziusudra (yang diduga tokoh yang sama dengan Atra-Hasis)
akan adanya banjir dahsyat. Kemudian Enlil memerintahkan Ziusudra untuk membuat sebuah
kapal dan membawa masuk Binatang buas dan burung-burung ke dalam kapal itu. Tidak
lama berselang angin besarpun menerpa, hujan pun turun sehingga air menyelimuti
bumi selama tujuh hari tujuh malam. Ziusudra membuka jendela kapal agar sinar
matahari dapat masuk, lalu Ziusudra sujud kepada tuhan matahari Bernama Utu. Setelah
kapal tersebut berlabuh, Ziusudra menyembelih domba dan sapi, lalu membungkuk
untuk tuhan Anu dan Enlil. Untuk melingungi fauna dan manusia, Ziusudra diberi
hidup yang abadi dan menetap di negeri Dilmun.
Babylonia juga memiliki
versinya sendiri mengenai adanya banjir besar. Bermula dengan terusiknya para
tuhan dengan populasi manusia yang semakin bertambah, para tuhan mengirimkan
wabah penyakit disusul dengan kekeringan. Kemudian tuhan Enlil menyarankan agar
menghapuskan umat manusia dengan banjir namun Enki sudah memberi tahu keluarga Atra-Hasis.
Sehingga Ketika badai datang, Atra-Hasis selamat dan umat manusia tidak jadi
punah. Atra-Hasis kemudian memberi sesajen kepada para tuhan. Di abad 3 SM,
kisah banjir besar di Mesopotamia muncul dengan versi yang lebih segar. Seorang
Bernama Berossus sekaligus pendeta tuhan Marduk di Babylonia menulis:
Dahulu tuhan / dewa Kronos
menyampaikan kepada Xisuthrus, di hari ke-15 bulan Daesius akan datang hujan
dan banjir. Kronos memerintahkan kepada Xisuthrus untuk menyimpan semua tulisan
miliknya di Sippara. Xisuthrus kemudian membangun sebuah kapal dengan dimensi
1005 m x402 m. ia menjadikan kapal itu penuh sesuai apa yang diperintahkan
kepadanya. Setelah banjir menerjang hingga mulai mereda, ia melepas sejumlah
ekor burung hingga burung-burung itu Kembali. Setelah itu ia Kembali melepas
sejumlah ekor burung dan burung-burung itu pun Kembali namun kali ini dengan
lumpur di kaki mereka. Pada percobaan ketiga, burung-burung tersebut tidaklah Kembali
ke kapal. Xisuthrus kemudian melihat daratan yang muncul di atas permukaan air.
Ia melabuhkan kapal itu di pegunungan Corcyraean di Armenia. Ia beserta
istrinya, putrinya, dan nahkodanya turun dari kapal dan memberikan persembahan
kepada tuhan-tuhan . keempatnya kemudian hidup Bersama para tuhan. Sementara yang
lainnya bersedih karena tidak bertemu dengan keempat orang di atas kapal tadi
namun mereka dapat mendengar suara Xisuthrus yang memerintahkan mereka agar
menjadi saleh selain memerintahkan agar mencari tulisan-tulisan Xisuthrus yang
dikubur di Sippara. Bagian dari kapal itu masih ada hingga hari ini dan Sebagian
orang menjadikan bagian dari kapal itu sebagai jimat.
Kemiripan kisah-kisah mengenai banjir besar dengan kisah nabi Nuh as di dalam Al-Qur’an dan kisah Noah dalam tradisi Ahli Kitab begitu kentara. Terlepas dari elemen-elemen politeisme yang ada pada kisah-kisah tersebut, kemiripan ini membawa kepada satu indikasi bahwa kisah itu sebenarnya merujuk pada kisah yang sama dan tokoh yang sama. Seiring berjalannya waktu informasi mengenai peristiwa tercemar oleh distorsi. Namun ada pandangan sebaliknya yang mengatakan bahwa kemiripan itu menjadi indikasi bahwa Bibel dan Al-Qur’an menjiplak dari kisah-kisah zaman kuno.
Waallahu a’lam, Maha
benar Allah atas segala firmannya…
Sumber Buku : Wisnu Tanggap
Prabowo, Sejarah Berhala dan Jejak
Risalah.