Sabtu, 28 April 2018

Pendidikan tanpa Nyawa



Wajah pendidikan tanpa nyawa. Gambaran pendidikan yang sedang kita hadapi saat ini, seperti jalan di tempat, bergerak tapi hanya di tempat tidak maju-maju, dengan alasan takut menghadapi perubahan. Seorang pendidik menurut saya memikul tanggung jawab yang tidak biasa, baik dan buruknya seorang murid seolah menempel pada seorang pendidik. Acapkali jika sang murid itu baik dan berprestasi, seorang pendidik dianggap angin lewat. Tapi jika sang murid buruk dengan segudang kelakuan nakalnya yang diluar batas, maka sang pendidiklah yang menjadi nomor wahid untuk disalahkan. Saya juga tidak paham kenapa sikap seperti ini menjamur bak virus menyeramkan. Itulah memang mengapa menjadi seorang pendidik itu tidaklah seperti membalikkan telapak tangan, seorang pendidik harus berperang melawan gejolak yang ada di dalam hatinya. tapi faktanya manusia di separuh Indonesia masih memandang sebelah mata untuk seorang guru atau pendidik, karena mungkin menurutnya itu profesi yang tidak keren atau sebagainya. Tapi apapun penilaian orang lain terhadap diri kita, tidak akan mengubah siapapun diri kita di hadapan Allah.
Saya akan sedikit bercerita di tengah rasa pesimis saya yang sudah hampir meledak. Saya memang harus banyak berkaca diri, setelah saya menghadapi seorang murid yang lebih memilih dihukum daripada harus belajar. Mungkin menurutnya mendapat hukuman itu keren atau memang ada hal lain yang membuat sang murid itu malas untuk belajar. Mungkin memang pengajaran saya sangat membosankan dan tidak menyenangkan, sampai akhirnya mereka menganggap belajar itu menjadi hal yang sangat angker seperti Kuntilanak. Atau mungkin juga mereka sendiri yang membiarkan Malas itu menjamur dalam urat nadi mereka. waallhu a’lam.
Mungkin sebagian teman saya yang juga seorang guru akan mengatakan ‘di tempat saya tidak seperti itu’, tapi itulah memang kenyataannya yang sedang saya hadapi sekarang, gairah belajar yang hilang. Otak yang merupakan investasi yang tidak akan pernah habis seolah mereka buang begitu saja. Seolah mereka  mengatakan bahwa yang mereka butuhkan adalah Ijazah, bukan Ilmu. Karena dengan Ijazah bisa mendatangkan uang, sedangkan ilmu tidak mendatangkan uang. Sungguh miris bukan? Tapi itulah faktanya paradigma yang di dewakan. Padahal Islam sudah jelas memberikan keterangan yang sangat gamblang sekali keutamaan manusia yang sedang Tholabul Ilmi, bahkan Islam mengajurkan kepada kita agar terus mencari ilmu sampai liang lahat. Itu artinya jangan pernah berhenti untuk belajar, karena hidup ini adalah perjalanan yang penuh pelajaran. Allah akan menuntun hambanya melalui Ilmu. Allah akan membukakan pintu rezeki hambanya melalui ilmu. Ilmu dan Ilmu yang merupakan cahaya Allah, yang tidak akan sampai pada manusia-manusia yang suka berbuat maksiat.
Menjadi seorang pendidik tidak bisa hanya berbekal Ijazah saja, tapi lebih dari itu. seorang pendidik membutuhkan kedalaman hati yang mulia, kesabaran dan keikhlasan harus berjalan bergandengan jangan sampai dipisahkan. Pondasi keduanya harus tertancap kuat tidak boleh oleng hanya karena sedikit terpaan angin. Ikhtiar tanpa henti, selebihnya serahkan pada Allah, karena bagaimanapun Allah lah yang maha membolak balikan hati.
Saya sering mengeluhkan sistem pendidikan yang bobrok di Indonesia, tapi tanpa sadar saya sendiri yang membuat bobrok pendidikan ini. Karena tidak jarang saya merasa pesimis menghadapi karakter pemuda sekarang yang menomor wahidkan Uang di atas segalanya. Tidak jarang saya merasa marah dan geram karena jauhnya akhlak mereka dari kata mulia. Tidak jarang saya merasa ingin meninggalkan mereka dan membiarkannya saja terpontang panting dengan kebobrokannya. Tidak jarang saya merasa benar-benar menyerah saat menghadapi mereka yang sudah acuh sekali dengan Ilmu. Tidak jarang saya masih mengharapkan materi yang besar atas lelah saya mendidik mereka. Sungguh inilah awal mula pendidikan Indonesia harus mundur ke belakang, menyebabkan masyarakat di dalamnya seperti  tak punya jati diri, yang bisanya hanya ikut musim-musiman yang silih berganti.
Sungguh wajah pendidikan tanpa nyawa adalah saya. Dan sekarang saya ingin nyawa itu kembali bukan hanya satu, tapi seribu nyawa dan satu jiwa yang kuat untuk menghadapi dan merubah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan takut untuk menghadapi perubahan, jangan gentar menghadapi cercaan, dan jangan menyerah menghadapi anak-anak yang jauh dari Akhlakul Kariiman.
”Ilmu tidak di dapat hanya dengan bersantai-santai” (Imam Syafi’i)
Tulisan ini dari Saya yang sedang dididik kesabaran dan keikhlasannya oleh tingkah laku mereka, semoga pendidikan dari mereka membuahkan hasil yang manis. Mari sama-sama belajar dari siapa-pun, kapan-pun dan dimana-pun. Semoga kita termasuk ke dalam hadis Nabi yang mencari ilmu sampai liang lahat, Aamiinn



Selasa, 24 April 2018

Sayap-Sayap Patah (Kahlil Gibran)


Di Dunia ini siapa yang tidak mengenal Kahlil Gibran, seorang lelaki yang lahir di Lebanon pada tahun 1883. Saya pun tau nama Kahlil Gibran, namanya terkenal bukan hanya di dunia sastra saja, tapi kalamnya sudah mampu menyihir siapapun yang membacanya. Untuk kali pertama saya membaca karya Gibran sampai selesai, dari buku yang berjudul Sayap-sayap Patah dengan judul asli Al-Ajnihah al-Mutakassirah. Buku ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, yang membuat nilai puitisasi ini tidak hilang dari aslinya.
Sayap-sayap Patah, di cerna dari judulnya saja kita pasti paham alur Novel ini. Kisah yang sangat menyayat hati, kemudian dibumbui dengan kalam-kalam syair yang begitu tinggi. Dalam novel ini mengatakan bahwa Cinta itu tidak didapat hanya dengan kita perlu berlama-lama dengan orang tersebut, tapi cinta itu bisa timbul hanya dengan sebuah pandangan dan kesatuan dua jiwa manusia tersebut. Kisah dalam novel ini menurut saya bikin sesak di dada, bagaimana tidak seorang dua insan yang saling mencinta tapi tidak bisa saling bersama, selalu menjadi kisah yang membuat siapapun itu tidak ingin merasakannya.
“kau akan memasuki gerbang kehidupan, sementara aku akan memasuki gerbang kematian. Kau akan diterima dengan ramah, sementara aku hadir dalam kesendirian, tetapi aku akan membangun patung cinta dan menyembahnya di lembah kematian. Cinta akan menjadi satu-satunya yang membuat nyaman dan aku akan meneguk cinta seperti anggur dan mengenakanya seperti pakaian. Saat dini hari, cinta akan membangunkanku dari tidur dan membawaku ke ladang yang jauh dan saat siang hari akan membawaku di bawah rindangnya pohon-pohon, tempat aku akan menemukan perlindungan bersama burung-burung dari panasnya matahari” (hlm 64)
Selamat menikmati sayap-sayap patah dalam kehidupan, semoga kita bisa menyulamnya kembali...

Kamis, 19 April 2018

Berkenalan dengan Sunan Ibnu Majah


Kitab Sunan Ibnu Majah adalah nama yang bukan diberikan oleh Ibnu majah sendiri, kitab ini pada mulanya bernama al-Sunan. Untuk mencegah adanya kekeliruan maka para ulama memberikan kejelasan nama terhadap kitab ini dan pada akhirnya ulama sepakat agar kitab ini dinisbahkan kepada nama penulisnya yakni Ibnu Majah, sehingga kitab ini populer di sebut dengan Sunan Ibnu Majah.
Kegemaran Ibnu majah semenjak kecil akan ilmu hadits membuat ia tak bosan mencari dan menemukan hadits yang tersebar diberbagai ulama hadits tanpa memandang dimana ulama hadits itu berada, sehingga berkat ketekunannya pada akhirnya Ibnu majah menjadi ulama hadits yang sangat masyhur pada zamannya.
Keahlian dalam ilmu hadits ditunjang dengan koleksi hadits-nya yang sangat banyak membuat ia berkeinginan menyeleksi dan mengumpulkan (kodifikasi) hadits yang ia terima dari berbagai guru-gurunya yang tentunya dengan terlebih dahulu adanya upaya penyaringan berdasarkan segi kualitasnya. Adapun jika dilihat dari motivasi kenapa Ibnu Majah menyusun kitab hadits diperkirakan sebagai berikut:
Pada masa hidup Ibnu majah kondisi pada waktu itu adalah puncak atau zaman keemasan dari pada ilmu hadits hal itu terlihat dari banyaknya pembukuan hadits secara besar-besaran. Dengan kondisi itu dimungkinkan Ibnu majah pun termotivasi untuk melakukan hal yang sama.
Secara umum bisa dilukiskan bahwa kitab Sunan Ibnu Majah dibagi kedalam beberapa bagian, dan dalam bagian dibagi lagi kedalam beberapa bab. Adz-Dzahabi berpendapat bahwa Sunan Ibnu Majah memuat 4.000 Hadits yang terbagi menjadi 32 bagian dan 1.500 bab. Dan penrhitungan serupa juga disampaikan oleh Abu Hasan al-Qattan[1] (334-415 H).
Dalam Penyelidikan Fuad Abdul Baqi, jumlah Hadits yang termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah adalah 4.321 Hadits yang terbagi kedalam 37 bagian dan 1.515 bab. Meskipun berbeda Fuad Abdul Baqi dengan Adz-Dzahabi dan Abu Hasan al-Qattan dalam menghitung jumlah hadits dalam Sunan Ibnu Majah, ini dikarenakan metode yang digunakan mereka berbeda.[2]
Fuad Abdul Baqi mengkalsifikasikan hadits yang terkodifokasi dalam kitab Sunan Ibnu Majah dengan tingkat kualitasnya sebagai berikut:
·         428 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori hadits Shahih.
·         199 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori hadits Hasan.
·         613 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori hadits lemah Sanad-nya.
·         99 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori hadits munkar dan makdzub .
Kitab Sunan Ibnu Majah terdapat banyak tema. Setiap tema disebut dengan kitab (bab). Berikut ini untaian kitab (bab) yang terkandung didalamnya.

No
Nama Kitab (bab)
-
Muqaddimah
1
Kitab Tentang Taharah
2
Kitab Tentang Shalat
3
Kitab Tentang Azan
4
Kitab Tentang Masjid dan Shalat Jama’ah
5
Kitab Tentang Menegakkan shalat dan Kesunahannya
6
Kitab Tentang Jenazah
7
Kitab Tentang Puasa
8
Kitab Tentang Zakat
9
Kitab Tentang Pernikahan
10
Kitab Tentang Perceraian
11
Kitab Tentang Tebusan (Kafarat)
12
Kitab Tentang Perdagangan
13
Kitab tentang Hukum
14
Kitab Tentang sedekah
15
Kitab Tentang Zuhud
16
Kitab Tentang Luqatah (barang temuan)
17
Kitab Tentang Pemerdekaan Budak
18
Kitab Tentang Syuf’ah
19
Kitab Tentang Batas-Batas Hukum (Hudud)
20
Kitab Tentang denda (diat)
21
Kitab Tentang Wasiat
22
Kitab Tentang Kewarisan
23
Kitab Tentang Jihad
24
Kitab Tentang Haji
25
Kitab Tentang Penyembelihan Hewan Kurban
26
Kitab Tentang Perburuan
27
Kitab Tentang Makanan
28
Kitab Tentang Minuman
29
Kitab Tentang Pengobatan
30
Kitab Tentang Pakaian
31
Kitab Tentang Adab
32
Kitab Tentang Do’a
33
Kitab Tentang Takwil Mimpi
34
Kitab Tentang Fitnah

Bila kita perhatikan dengan seksama, sudah tentu tema-tema tersebut merujuk kepada tema fiqih. Dengan kata lain Sunan Ibnu Majah adalah kitab hadits yang mayoritas berisi persoalan-persoalan fiqih, meski ada juga hal-hal lain yang dibahas didalamnya, secara umum bisa dikatakan bahwa tema paling dominan adalah tema fiqih. Beliau menyusun hadits secara tematik, yakni menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih.[3]
Kitab Sunan adalah kitab ke 6 dari Kitab al-Sittah dan telah menjadi pandagan para ulama muhaditsin, dan posisinya diatas dari kitab Muwat, karena terdapat hadits-hadits baru (periwayatan dari Ibnu Majah pribadi) yang tidak ada pada kitab al-Khomsah (Lima Kitab Hadits). berbeda dengan Muwatok (yang memiliki hadits yang lebih sohih dan telah ada di kitab al-khomsah lainnya, dan dapat kita kenal dengan nama Kitab Zawaid Ibnu Majah.
Bila kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits, mereka turut memasukkan pendapat para ulama faqih setelah penulisan hadits. Namun Ibnu Majah sebaliknya. Bilapun ada mungkin hanya sebagian kecil saja menurut beliau peting.
Pada kitab ini Ibnu Majah jarang untuk menyebutkan hukum serta alasan hadits yang ia riwayatkan, baik itu berupa hadits sohih, termasuk do’if pun tidak. Hanya saja kita hanya dapat melihat lebih lengkap dari ucapan para Ulama lain yang terletak pada bagian catatan kaki pada kitab, yang disertai tambahan keterangan dari kitab Zawaid.
Dari segi Rijal al-Hadits, Ibnu Majah termasuk ulama yang mudah memasukan rijal al-hadits. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat pendusta dimasukannya dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Yang manarik dari kitab Sunan Ibnu Majah adalah kitab ini memuat hadits-hadits yang tidak dijumpai oleh pengarang-pengarang hadits sebelumnya yakni : Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tarmizi dan al-Nasa‟i. Terdapat 125 nama perawi hadits yang tidak ada pada kitab al-sittah kecuali pada pada kitab Sunan Ibnu Majah, dan itu dengan berbagai macam bentuk penilaian jarah wa ta‟dil yang diberikan oleh berbagai kalangan ulama, seperti :
 a. Isma’il bin Ziyah.
b. Harish bin al-Khirrit.
c. Basyari bin Kidami.
d. Yusuf bin Khalid : karena pendusta
e. Muhammad bin Abd al-Madani: karena pendusta.[4]


Sumber Tulisan: Makalah: Fitriyah Syam'un dan Popon Ruqayah dalam mata Kuliah Kajian Kitab Hadits, Prodi Tafsir Hadits Institut Ilmu Al-Qur'an.






[1] Nama asli Beliau adalah al-Hafiz Imam al-Qudwah Abu al-Hasan bin Bahar al-Qozwani. Syamsudin bin Abu „Abdullah Muhammad, Tadzkiroh al-Hufaz, h.156, Beliau juga merupakan sahabat dari Ibnu Majah.
[2] Dzulmani,  Mengenal Kitab-Kitab Hadits. Hlm 115
[3] Dzulmani,  Mengenal Kitab-Kitab Hadits. Hlm 116-117
[4] Dzulmani,  Mengenal Kitab-Kitab Hadits. Hlm 117-118

Senin, 16 April 2018

Me-Restart masyarakat Demokrasi


Menjadi hal yang sensitif saat saya ingin mengupas tentang Demokrasi, karena  sampai sekarang masih menjadi pro kontra terkait sistem Demokrasi di Indonesia. Sebelum ke pembahasan lebih jauh terkait Demokrasi di Indonesia, saya akan sedikit bercerita bagaimana pengalaman saya yang dulu bahkan pernah beranggapan bahwa pak SBY adalah thaghut kafir yang wajib dibunuh karena tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia.
Bermula saat saya kelas 12 Madrasah Aliyah, ketika itu saya sudah mengenal media sosial bernama Mbah Facebook. Dan di Fb tersebut entah bagaimana caranya saya bisa berteman dengan orang-orang yang sejurus dengan kontra demokrasi di Indonesia. Saya yang ketika itu masih bodoh sekali, mulai menimbrung dan tertarik dengan teman-teman FB yang setiap statusnya selalu membawa ayat-ayat Qur’an, isinya tentang ceramah-ceramah, mengajak kepada kebaikan dan sebagainya, tentu itu menjadi sesuatu yang sangat menarik. saya berpikir semoga dengan berteman dengan mereka-mereka saya bisa ketularan Agamisnya. Hingga pada suatu hari, mereka membahas tentang sistem hukum kenegaraan Indonesia yang menurut mereka adalah hukum setan karena memakai sistem dari Barat yaitu Demokrasi. Menurut mereka sistem Demokrasi Indonesia ini harus diganti dengan sistem hukum Islam, karena yang tidak berpegang teguh dengan hukum Islam berarti orang tersebut KAFIR. Kemudian saya yang polos mulai bertanya ‘berarti Indonesia ini negara Kafir karena tidak mau menerapkan hukum Islam di dalamnya’ bahkan dari mereka ada yang mengatakan bahwa Pak SBY boleh dibunuh karena ia kafir tidak mau berhukum pada hukum Allah. Saya manut saja, karena dalil yang mereka keluarkan memang dalil dalam Al-Qur’an dan saya jadi terbawa berdalih bahwa Demokrasi itu kafir. Sampai pernah suatu ketika dalam perjalanan saya bertanya pada Abah ‘bah di Indonesia ini tidak menganut hukum Islam, berarti Indonesia ini kafir’ abah hanya menjawab ‘Demokrasi itu bukan kafir’ kalau tidak salah itu yang abah ucapkan, tapi kemudian setelah abah menjawab saya hanya diam saja.
Pemahaman Demokrasi Kafir itu terus menancap dalam diri saya, sampai kemudian saya masuk ke salah satu perguruan tinggi dan mengambil jurusan Tafsir Hadis (waktu itu jurusan UTH masih ada tahun 2011). Di dalam kelaspun ketika pelajaran Civic Education membahas Demokrasi, saya ikut-ikutan mengeluarkan dalil dalam surah an-Nur, tapi bapak dosen waktu itu menjelaskan dengan baik sekali tanpa menyalahkan saya sedikitpun (semoga bapak dosen Civic selalu dalam lindungan Allah). Lambat laun berlalu, saya banyak menemukan ilmu baru, salah satunya Ulum Qur’an yang membuat saya sadar bahwa dalil Al-Qur’an itu membutuhkan tafsir, dan yang menafsirkannya pun tidak sembarangan, harus orang-orang yang berilmu. Saya akhirnya paham bahwa segala sesuatu jangan dilihat dari tekstual saja, tapi harus kontekstual. Saya bertemu dengan ulama-ulama tafsir klasik, pertengahan dan kontemporer, dan akhirnya saya disadarkan bahwa keadaan sosial juga mempengaruhi terhadap penafsiran Al-Qur’an. Sungguh ilmu Allah itu amatlah luas, tidak heran sang Nabi saw memerintahkan kita untuk terus mencari ilmu sampai ke liang lahat, artinya terus belajar tidak peduli sudah berapapun umur kita, karena memang hidup adalah perjalanan yang penuh pelajaran.
Dan tema demokrasi ini menjadi judul yang harus saya teliti untuk memenuhi syarat kelulusan Strata Satu waktu tahun 2015. Saya ingin menggeluti lebih dalam apa itu Demokrasi dengan mengambil salah satu tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Muhammad Abduh. ‘Demokrasi menurut Perspektif Muhammad Abduh’. Sedikit tentang Muhammad Abduh, beliau adalah Mufassir, Mujaddid, Mujahid. Melalui muridnya beliau tumpahkan ilmunya, hingga terbitlah Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh telah melakukan pembaharuannya melalui jalur pendidikan, berbeda dengan gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani yang melakukan pembaharuannya melalui jalur politik.
Setelah saya menggeluti lebih dalam apa itu Demokrasi, ternyata tidak ada nilai-nilai yang salah dalam Demokrasi, bahkan nilai-nilainya sesuai dengan apa yang Islam ajarkan. Lantas mengapa mereka menganggap bahwa demokrasi itu kafir hanya karena ia berasal dari Barat, bahkan mereka sering menyalahkan sistem demokrasi, saat hukum di Indonesia tidak ada keadilan dan kejujuran, padahal demokrasi menekankan kedua nilai itu. penerapan sistem Demokrasi di setiap negara tentu berbeda-beda, Demokrasi di Amerika berbeda dengan penerapan sistem Demokrasi di Indonesia. Jika di Amerika HAM dijunjung tinggi, kalau di Indonesia tentu harus dibatasi dengan hukum Tuhan, hukum Tuhan tentu tidak perlu dimusyawarahkan lagi tapi haruslah dijalankan.
Saya akui kebobrokan moral di Indonesia ini sudah menjadi-jadi, hukum seperti barang dagangan bisa dibeli oleh siapapun, bahkan hukum bisa lebih tajam ke bawah dan tumpul di atas. Padahal dalam Islam dan Demokrasi mengajarkan keadilan itu harus diterapkan dengan sebaik-baiknya, tapi lagi dan lagi keadilan tinggal nama. Jadi bukan sistemnya yang harus dirubah sampai berdalih bahwa sistem kita sekarang adalah kafir, tapi justru orang-orangnya yang perlu di restart ulang.
Apakah ada hal yang bertentangan dengan Islam terkait lima nilai yang terangkum dalam pancasila? Tentu tidak ada. sistem di Indonesia ini hanya namanya saja yang beda, tapi nilainya tetap sama yaitu mengajak kepada kebaikan.
Demokrasi yang merupakan nilai terbesarnya adalah musyawarah dijelaskan oleh Muhammad Abduh yang saya kutip dalam tafsirnya al-Manar , terkait ayat tentang musyawarah dalam Al-Qur’an, menurutnya urusan yang perlu dimusyawarahkan itu bersifat umum, bisa politik, peperangan, perdamaian, rasa takut, keamanan dan lain-lain, yang berkaitan dengan kemaslahatan urusan duniawi mereka. Karena dalam musyawarah  itu terdapat manfaat bagi pemerintahan. Urusan yang diputuskan dengan musyawarah ini adalah segala urusan duniawi yang biasanya diajukan kepada hakim, bukan urusan agama yang sumbernya murni berdasarkan wahyu dan bukan berdasarkan pada pendapat manusia. Karena jika masalah agama seperti aqidah, ibadah, dan masalah halal haram ditetapkan berdasarkan musyawarah, niscaya agama menjadi bersumber pada produk manusia, sedangkan agama Islam itu bersumber  dari ketetapan illahi dan tak seorangpun campur tangan mengenai ketetapan illahi, tidak pada masa rasul dan tidak pula pada masa sesudahnya.
Semoga pentas Demokrasi ke depan semakin sehat dan beradab, tidak ada lagi jual beli Hukum, karena dirasa cukup jual beli itu hanya terjadi dalam dunia perdagangan bukan perpolitikkan. Tidak ada lagi dusta antara presiden dengan rakyatnya, kita masarakat Indonesia menginginkan sistem pemerintahan yang terbuka, jangan sampai kita kebingungan kenapa cangkul saja harus impor dari luar, kenapa banyak tenaga kerja asing yang mudah sekali masuk ke indonesia bahkan gajinya lebih besar dari tenaga kerja Indonesia itu sendiri. Jangan lagi ada kebingungan para ibu-ibu kenapa semua bahan-bahan yang berhubungan dengan dapur jadi melonjak tinggi dan jangan ada lagi drama tabrak menabarak sampai tiang listrikpun di tabrak, sungguh kasian tiang listrik. Kita gerah dengan melemahnya hukum di Indonesia yang selalu tumpul di atas, seharusnya kita bisa belajar dari Umar ra yang mencabuk anak kandungnya sendiri sampai meninggal karena ia berzina, padahal ketika itu posisi umar adalah seorang Khilafah besar yang mampu menaklukan negara-negara besar.
Kita butuh keadilan dan kejujuran dan mari kita sama-sama masyarakat Indonesia berlomba-lomba dalam kebaikan, insya Allah masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik. Lima sila saja diterapkan dengan sebaik mungkin dalam kehidupan kita, insya Allah Indonesia akan melahirkan manusia-manusia yang akan membuat peradaban besar. Aaamiinn
Itulah sekelumit kisah saya dalam mengenal demokrasi, saya tekankan di sini bahwa bukan berarti saya paling benar dengan semua argumen saya. Semua orang bebas beropini dan berpendapat, karena kita hidup di negara demokrasi. Mereka yang pro tidak salah dan yang kontra pun tidak salah, yang salah itu rakyat yang hanya mengkritik tapi tidak bergerak untuk membuat perubahan. Semoga Indonesia ke depan mampu menjadi negeri yang Baldatun Thoyyibah dan dipegang oleh pemimpin yang Amanah dan Istiqomah dalam menyebarkan manfaat bukan mudharat.

Minggu, 01 April 2018

Gado-Gado Malam (Guru, Anak-anak, Pendidikan dan Manusia seperempat Abad)


Selalu ada kepuasan tersendiri saat bicara kita didengarkan dan dikenang. Saya manusia dengan usia mendekati seperempat abad, saya seorang guru dari anak-anak. Mungkin kata ‘guru’ belum pantas disematkan ke dalam diri saya, karena hakikatnya saya masih harus banyak berguru, bahkan sampai seterusnya sampai ketika waktu yang Tuhan berikan sudah habis. Tapi begitulah anak-anak memanggil saya, ‘Ibu Guru’. Mungkin sebagian orang beranggapan memikul pangkat sebagai guru itu tidak istimewa, tidak keren dan terkesan biasa saja, tidak heran jika di negeri Indonesia banyak guru yang tidak mendapat tempat selayaknya, dalam artian tidak dihargai. Padahal kata salah satu dosen Favorit saya “Guru adalah profesi yang mengajarkan semua Profesi”. Lantas kurang keren apa coba untuk menjadi seorang Guru, dia profesi yang multi fungsi, karena darinya maka lahirlah beberapa profesi lainnya.
Tapi sungguh ironis dengan apa yang terjadi zaman sekarang, Guru bukan saja tidak dihargai dan dihormati oleh pemerintah, tetapi dari Murid dan orang tua murid itu sendiri. Jika anaknya Sukses orang tua tentu sangat bangga, tapi orang tua lupa pada siapa anaknya dulu belajar. Tapi giliran anaknya bermasalah, orang tua langsung menyalahkan guru-guru sekolah, tidak becuslah atau apalah semua kata-kata kotor dilontarkan. Bahkan parahnya berita yang beberapa hari lalu sudah terlewat, seorang anak murid memukul gurunya sampai MENINGGAL. Astaghfirullah zaman macam apa ini? Seorang guru yang darinya kita menimba ilmu, lantas dengan Cuma-Cuma seorang murid tersebut memukulnya karena merasa kesal dan marah pada gurunya. Saya tidak mengikuti berita selanjutnya bagaimana anak murid itu sekarang, biarlah waktu yang akan menjawab apa yang akan terjadi nanti.
Itulah memang mengapa pendidikan di rumah dan di sekolah haruslah seimbang. Rumah yang merupakan madrasah pertama untuk anak-anak, harus mampu menghadirkan sebuah lingkungan yang baik, agar anak-anak bisa mencontoh hal yang baik-baik. Begitupun setelah rumah, sekolah menjadi tempat tinggal kedua untuk anak-anak. Keduanya harus bisa sama-sama menghadirkan aura positif untuk anak-anak tumbuh dan kembang. Apalagi anak merupakan Investasi terbesar dari Allah untuk benar-benar kita jaga, bahkan orang Tua bisa masuk surga karena anak-anaknya, dan anak yang shalih bisa menjadi amal jariyyah untuk orang tuanya yang sudah meninggal.
Itulah menurut saya mengapa pentingnya pendidikan agama sejak usia dini, agar nanti ketika besar anak sudah bisa memilih dengan bijak mana hal yang baik untuk dilakukan dan mana hal tidak baik untuk tidak dilakukan. Karena saya yakin, seorang yang menjadikan agama sebagai penopang kehidupannya, semerawut apapun hidupnya nanti, sesulit apapun hidupnya nanti, ia tidak akan menjadikan hal-hal terlarang untuk menumpahkan masalahnya tersebut. Hal-hal terlarang itu seperti bunuh diri, minum-minuman, nakal yang berlebihan sampai memakai narkoba dan sebagainya, bahkan sampai membunuh orang tuanya, seperti apa yang telah diberitakan beberapa pekan lalu, Naudzu Billahi min Dzalik
Kembali lagi pada ‘Bu Guru’. Sebelum memulai pelajaran inti yang diajarkan, saya biasa menyelipkan sebuah cerita-cerita Islami. Dari mulai kisah nabi, tentang dajjal, hari kiamat dan lain sebagainya. Tentu tidak semua anak respondnya baik atau bagus, terkadang ada anak juga yang tidak suka dengan cerita saya, atau bahkan takut karena cerita Dajjal yang saya sampaikan. Sungguh tidak ada maksud menakuti-nakuti anak-anak yang masih polos tersebut, saya hanya ingin memotivasi anak agar lebih giat dalam solat, ngaji, belajar dan nilai-nilai positif lainnya. Kalian yang seorang guru sekolah dasar tentu paham, bagaimana pola pikir anak zaman sekarang, banyak sekali diantara mereka yang pola pikirnya sudah seperti orang dewasa. Bahkan saya pernah mendapati anak, yang telihat semerawut sekali karena cerita cinta yang sedang ia alami. Tidak perlu jauh-jauh lah, bahkan di media sosial sudah tersebar bagaimana tingkah laku nak-anak sekolah dasar zaman sekarang. Berpacaran, memberikan bunga, berduaaan dan hal-hal yang menjurus kepada nilai negatif itu sangat banyak sekali kita temui. Sungguh ironis bukan? Perkembangan teknologi yang semakin pesat sungguh benar-benar merubah karakter anak-anak yang sesungguhnya.
Tapi meski begitu anak-anak tetaplah anak-anak, sisi kepolosan dia tentu masih ada. sebagian dari mereka diam tak berkutik saat saya dengan semangatnya menceritakan bagaimana peristiwa dahsyat hari kiamat nanti, atau bagaiamana besarnya fitnah dajjal dan hukuman untuk manusia-manusia yang tidak mau menjalankan kewajiban dari Allah. Mereka antusias, bahkan setelah saya selesai bercerita, mereka dengan semangatnya mengatakan “nanti cerita lagi ya bu”. Kata-kata mereka yang sederhana itu, selalu membangkitkan semangat saya untuk terus memberikan manfaat lagi dan lagi, tidak peduli dimanapun tempatnya, tidak peduli sudah terlambat atau tidak, selama Tuhan masih memberikan waktu untuk kita, mari kita teruskan menebar manfaat bukan mudharat. Karena nilai ikhlas yang membuat seseorang masuk surga adalah bukan karena profesinya yang menjadi seorang profesor atau doktor atau apapun lah. Tapi dalam hadis Nabi dikatakan, seseorang yang bahkan hanya menyingkirkan duri dari jalanan saja bisa mengantarkan ke dalam surga, jika perbuatan kecil diiringi nilai ikhlas yang sangat luar biasa.
Berbicara soal ikhlas, bukan berarti di sini saya menganggap bahwa saya adalah manusia yang paling ikhlas, tapi justru karena saya masih harus banyak belajar lagi apa itu ikhlas, maka dari itu saya katakan di sini ‘meski kehidupan manusia itu berbatas, tapi aku ingin ikhlas yang tanpa batas’.
Tentang bercerita, dari dulu memang sudah menjadi metode pengajaran saya kepada anak-anak sebelum memulai pelajaran. Jika anak-anak antusias dan mendengarkan, saya akan melanjutkan ceritanya, tapi jika anak merasa bosan dan jenuh maka dengan berat hati saya langsung masuk ke inti pelajaran. Pelajaran yang saya ajarkan biasanya dibaluti dengan lagu-lagu, jika memang pelajaran itu bisa di iringi dengan lagu anak-anak, tatapi liriknya di ganti dengan kosa-kata bahasa Arab contohnya. Ya begitulah anak-anak bisa lebih mudah memahami jika disampaikan dengan cara yang menarik, contohnya dengan seni. Sama halnya ketika Wali Songo menyebarkan Islam di Nusantara, bukankah mereka merubahnya pelan-pelan melalui seni. Lagu-lagu yang biasa digunakan untuk membaca-baca ajaran budha atau hindu, oleh Wali Songo dirubahnya dengan shalawat-shalawat Nabi, masya Allah.
Semua orang tentu menginginkan Surga, tapi kita manusia punya cara yang berbeda untuk menggapai satu tujuan itu, meski memang tujuan kita sama. Kurang lebih seperti itulah perumpamaannya, kita yang sudah diamanatkan untuk terjun ke lapangan dalam rangka mengarahkan sesuatu ke arah yang lebih baik, tentu mempunyai metode masing-masing dalam pengarahan tersebut.
Saya bukan orang yang baik, tapi saya adalah orang yang belajar untuk menjadi baik, lebih baik dan jangan merasa paling baik. Kita boleh terus berbuat baik, tapi jangan merasa paling baik. Teruslah belajar, karena hidup ini adalah pelajaran yang penuh pelajaran. Seorang guru yang mengajari anak didiknya, bukan berarti ia tidak belajar. Seorang guru juga belajar dari anak-anak didiknya, belajar ikhlas, sabar dan memahami. Semoga kita semua menjadi manusia bermanfaat, seperti apa yang telah disabdakan Nabi saw “sebaik-baik kalian adalah yang memberikan manfaat” apapun profesinya. Selamat menjalani hari-hari penuh manfaat bukan mudharat.

Writer by: Manusia yang mendekati usia seperempat abad, yang sedang mempunyai cita-cita untuk bisa membangun Rumah Membaca, di kampung halamannya!!!

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...