Wajah pendidikan
tanpa nyawa. Gambaran pendidikan yang sedang kita hadapi saat ini, seperti
jalan di tempat, bergerak tapi hanya di tempat tidak maju-maju, dengan alasan
takut menghadapi perubahan. Seorang pendidik menurut saya memikul tanggung
jawab yang tidak biasa, baik dan buruknya seorang murid seolah menempel pada
seorang pendidik. Acapkali jika sang murid itu baik dan berprestasi, seorang
pendidik dianggap angin lewat. Tapi jika sang murid buruk dengan segudang
kelakuan nakalnya yang diluar batas, maka sang pendidiklah yang menjadi nomor
wahid untuk disalahkan. Saya juga tidak paham kenapa sikap seperti ini menjamur
bak virus menyeramkan. Itulah memang mengapa menjadi seorang pendidik itu
tidaklah seperti membalikkan telapak tangan, seorang pendidik harus berperang
melawan gejolak yang ada di dalam hatinya. tapi faktanya manusia di separuh
Indonesia masih memandang sebelah mata untuk seorang guru atau pendidik, karena
mungkin menurutnya itu profesi yang tidak keren atau sebagainya. Tapi apapun
penilaian orang lain terhadap diri kita, tidak akan mengubah siapapun diri kita
di hadapan Allah.
Saya akan
sedikit bercerita di tengah rasa pesimis saya yang sudah hampir meledak. Saya memang
harus banyak berkaca diri, setelah saya menghadapi seorang murid yang lebih
memilih dihukum daripada harus belajar. Mungkin menurutnya mendapat hukuman itu keren
atau memang ada hal lain yang membuat sang murid itu malas untuk belajar. Mungkin
memang pengajaran saya sangat membosankan dan tidak menyenangkan, sampai
akhirnya mereka menganggap belajar itu menjadi hal yang sangat angker seperti
Kuntilanak. Atau mungkin juga mereka sendiri yang membiarkan Malas itu menjamur
dalam urat nadi mereka. waallhu a’lam.
Mungkin sebagian
teman saya yang juga seorang guru akan mengatakan ‘di tempat saya tidak
seperti itu’, tapi itulah memang kenyataannya yang sedang saya hadapi
sekarang, gairah belajar yang hilang. Otak yang merupakan investasi yang tidak
akan pernah habis seolah mereka buang begitu saja. Seolah mereka mengatakan bahwa yang mereka butuhkan adalah
Ijazah, bukan Ilmu. Karena dengan Ijazah bisa mendatangkan uang, sedangkan ilmu
tidak mendatangkan uang. Sungguh miris bukan? Tapi itulah faktanya paradigma
yang di dewakan. Padahal Islam sudah jelas memberikan keterangan yang sangat
gamblang sekali keutamaan manusia yang sedang Tholabul Ilmi, bahkan Islam
mengajurkan kepada kita agar terus mencari ilmu sampai liang lahat. Itu artinya
jangan pernah berhenti untuk belajar, karena hidup ini adalah perjalanan yang
penuh pelajaran. Allah akan menuntun hambanya melalui Ilmu. Allah akan
membukakan pintu rezeki hambanya melalui ilmu. Ilmu dan Ilmu yang merupakan
cahaya Allah, yang tidak akan sampai pada manusia-manusia yang suka berbuat
maksiat.
Menjadi seorang
pendidik tidak bisa hanya berbekal Ijazah saja, tapi lebih dari itu. seorang
pendidik membutuhkan kedalaman hati yang mulia, kesabaran dan keikhlasan harus
berjalan bergandengan jangan sampai dipisahkan. Pondasi keduanya harus
tertancap kuat tidak boleh oleng hanya karena sedikit terpaan angin. Ikhtiar
tanpa henti, selebihnya serahkan pada Allah, karena bagaimanapun Allah lah yang
maha membolak balikan hati.
Saya sering
mengeluhkan sistem pendidikan yang bobrok di Indonesia, tapi tanpa sadar saya
sendiri yang membuat bobrok pendidikan ini. Karena tidak jarang saya merasa
pesimis menghadapi karakter pemuda sekarang yang menomor wahidkan Uang di atas
segalanya. Tidak jarang saya merasa marah dan geram karena jauhnya akhlak
mereka dari kata mulia. Tidak jarang saya merasa ingin meninggalkan mereka dan
membiarkannya saja terpontang panting dengan kebobrokannya. Tidak jarang saya
merasa benar-benar menyerah saat menghadapi mereka yang sudah acuh sekali
dengan Ilmu. Tidak jarang saya masih mengharapkan materi yang besar atas lelah
saya mendidik mereka. Sungguh inilah awal mula pendidikan Indonesia harus
mundur ke belakang, menyebabkan masyarakat di dalamnya seperti tak punya jati diri, yang bisanya hanya ikut
musim-musiman yang silih berganti.
Sungguh wajah
pendidikan tanpa nyawa adalah saya. Dan sekarang saya ingin nyawa itu kembali
bukan hanya satu, tapi seribu nyawa dan satu jiwa yang kuat untuk menghadapi
dan merubah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan takut untuk
menghadapi perubahan, jangan gentar menghadapi cercaan, dan jangan menyerah
menghadapi anak-anak yang jauh dari Akhlakul Kariiman.
”Ilmu tidak
di dapat hanya dengan bersantai-santai” (Imam Syafi’i)
Tulisan ini
dari Saya yang sedang dididik kesabaran dan keikhlasannya oleh tingkah laku
mereka, semoga pendidikan dari mereka membuahkan hasil yang manis. Mari sama-sama
belajar dari siapa-pun, kapan-pun dan dimana-pun. Semoga kita termasuk ke dalam
hadis Nabi yang mencari ilmu sampai liang lahat, Aamiinn