Kamis, 28 Juni 2018

Tafsir an-Nashr dalam Fiihi ma Fiihi


Kita membutuhkan tanaman nilai Tasawuf di tengah kehidupan modern yang sangat menjunjung tinggi Materialisme. Berbicara tentang Tasawuf, ada buku menarik yang sekarang sedang saya baca  yaitu sebuah buku dari seorang Masterpiece dari kalangan sufi ‘Maulana Jalaluddin Rumi’ yang berjudul Fihi ma Fihi. Buku ini bisa dikatakan Tafsir yang bercorak sufi, karena tiap per-Bab dicantumkannya beberapa ayat suci kemudian dijelaskan dengan penjelasan bernuansa Tasawuf. Luar biasa sangat indah tafsir dengan sorak sufi ini, sayapun terenyuh membacanya, meski harus beberapa kali mengulang dan mengulang karena agak sedikit kesulitan memahaminya. Dan di tengah jalan membaca buku ini, saya sudah bergairah untuk sedikit berbagi apa yang ada dalam buku Rumi tersebut. Di dalam buku ini ada Tafsir surah an-Nashr dari mufassir mazhab Zahiri (tekstual). Siapa Mazhab Zahiri tersebut? Pembaca bisa menelusurinya sendiri, karena di sini saya akan fokus pada penafsirannnya terhadap surat an-Nashr yang dimasukkan Rumi ke dalam Bukunya. Saya rasa mufassir mazhab Zahiri telah berhasil mengulas tafsir surah an-Nashr dengan  nuansa kedekatan hamba dengan Tuhannya.
Berikut tafsir surat an-Nashr mazhab Zahiri dalam buku Fihi ma Fihi karya Jalaluddin Rumi.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (Q.S. an-Nashr: 1-3)
Para mufassir mazhab Zahiri menafsirkannya sebagai berikut: Nabi Muhammad memiliki semangat yang sangat tinggi. Beliau berkehendak menjadikan semua manusia di muka bumi ini sebagai muslim dan berharap mereka semua berada di jalan Allah.
Ketika Nabi saw. Merasa maut sudah mendekat, beliau berkata “ah, bukankah aku dilahirkan untuk mengajak manusia ke jalan Allah?”. Kemudian Allah berfirman melalui surah an-Nashr itu yang maksudnya “janganlah berduka. Ketika waktu kepergianmu tiba, semua negeri dan kota yang hendak engkau taklukan dengan tentara dan pedang akan kujadikan semuanya tunduk dan beriman tanpa tentara dan pedang. Pada akhir waktuu kau akan melihat mereka berbondong-bondong memasuki pintu Islam. Ketika kau melihat tanda ini, ketahuilah bahwa waktu kepergianmu telah tiba. Saat itu bertasbih dan beristighfarlah, karena engkau akan tiba di sana”.
Kalimat yang saya garis bawahi di atas adalah sebuah tafsir yang menunjukkan bahwa Indonesia telah mengenal Islam tanpa tentara dan pedang, karena Islam masuk ke Indonesia melalui tangan-tangan perdagangan. Tapi Indonesia sekarang menjadi sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar dunia, bahkan dari Indonesia banyak lahir para ulama-ulama hebat yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Ulama tasawuf, ulama tafsir, ulama hadis dan masih banyak lagi.
Di awal abad 21 ini bahkan sudah tidak ada penaklukan tentara muslim terhadap negeri-negeri non Muslim, tetapi justru sebaliknya Islam sekarang di serang di mana-mana. Terlepas penyerangan para kaum orientalis terhadap Islam melalui berbagai cara, tapi tidak sedikit bahkan banyak, populasi umat Islam dunia saat ini telah meningkat amat pesat. Jadi dalam ayat itu Allah ingin menegaskan bahwa bukan karena ilmu dan usaha mereka sendiri orang-orang itu berbondong-bondong masuk Islam, tetapi karena rahmat Allah lah semua itu terjadi.
Seperti penafsiran dari para ahli hakikat terhadap surat a-Nashr tersebut yang saya ambil juga dari buku Rumi, bahwa makna surah itu adalah bahwa manusia menganggap diri mereka mampu membuang sifat-sifat tercela dengan ilmu dan usaha mereka sendiri. Saat mereka berjuang dan mengerahkan seluruh kekuatan serta menggunakan segala cara, mereka didera putus asa. Pada saat itulah Allah berfirman:
“kau menyangka mampu mewujudkan semua itu dengan kekuatan, usaha dan perbuatanmu. Itu adalah sunnah yang telah aku tetapkan: curahkanlah semua yang kau miliki di jalanku, niscaya aku melimpahimu dengan anugerahku. Aku memerintahkan kepadamu untuk menempuh jalan yang tak berujung ini dengan kedua tangan dan kakimu. Aku tahu, kau tidak akan mampu melintasinya dengan kedua kaki lemahmu itu, bahkan selama ratusan ribu tahun pun kau tidak akan mampu melintasi satu tempatpun. Tetapi, jika kau terus berjalan hingga jatuh pingsan dan tak ada lagi tenaga yang tersisa di tubuhmu untuk berjalan, saat itulah pertolongan datang. Seperti anak kecil, selama disusui, ia digendong dengan kedua tangan. Setelah tumbuh besar, ia dibiarkan berjalan sendiri. Sekarang, saat tidak tersisa sedikitpun tenaga di tubuhmu –setelah kau curahkan kekuatanmu dan kesungguhanmu dari waktu ke waktu, saat tidur maupun terjaga- akan kutunjukkan kepadamu kelembutan yang darinya kau akan memperoleh kekuatan sehingga kau bisa mencariku dengan penuh harap. Begitu juga ketika tidak ada lagi cara yang bisa kau pergunakan”.
Maha benar Allah atas segala firmannya.






Senin, 11 Juni 2018

Aku dan Hari-hari Terakhir Ayah



Di awal pekan hari sabtu bulan Safar, aku yang sudah beberapa kali menunda pulang ke rumah, akhirnya hari itu tekad kuat mendorongku. Sebelumnya pada hari Raya Idul Adha, Ayah dengan suara lembutnya di ujung telepon menyuruhku untuk pulang ke rumah, tapi aku menolaknya karena untuk lebaran Haji, kampus tidak memberikan libur panjang. Sebenarnya bisa saja pulang, hanya saja aku sedikit manja dengan badan yang harus diajak bolak balik Tempat rantauan ke kampung halaman. Kemudian pada tanggal 10 Muharam, ayah dengan suara di ujung telepon sana menyuruhku untuk pulang, tapi aku mengatakan tidak bisa, karena sedang sibuk kuliah dan alasan sebenarmya adalah karena aku memang tidak mau pulang. Dua momen itu yang sampai sekarang selalu aku sesali kenapa aku tidak pulang saja ke rumah. 

Bulan Safar/November, Hari Sabtu 21 November akhirnya aku pulang ke rumah, setelah saudara tertuaku menyuruh untuk pulang karena Ayah di rawat di rumah sakit. Tetapi hari itu sebelum akhirnya aku pulang, aku sengaja menunggu telepon dari ayah, agar beliau juga yang menyuruh aku pulang, tapi beliau tidak menghubungiku. akhirnya aku yang menghubungi nomor beliau, tapi tidak diangkat. Dan akhirnya hari itu aku putuskan untuk pulang. Oh iya malam sebelum besoknya aku pulang, aku bermimpi ayah terbaring sakit di tempat tidurnya sambil tersenyum.
 
Setelah beberapa jam perjalanan, aku sampai di kota baja. Aku langsung singgah di Masjid Agung kota baja tersebut, sambil menunggu jemputan aku melaksanakan solat ashar terlebih dulu. Sebenarnya bisa saja aku langsung ke rumah sakit, tapi aku tidak tau rute, tidak tau harus naik angkot yang mana dan ditambah badan aku yang lumayan lelah. Setelah menunggu, akhirnya saudara tertua datang dengan Mobil keramat milik Ayah. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku menatap jalan ramai di luar jendela mobil. Sesekali bercuap-cuap sampai kemudian saudara tertua menyuruhku agar nanti saat ketemu ayah aku tidak boleh menitikkan air mata, bersikaplah ceria. Kurang lebih seperti itu yang ia katakan. Sesampainya Rumah sakit, aku berjalan mengikuti saudara tertua itu sampai akhirnya tiba di kamar tempat ayah di rawat. Aku mengucap salam, mengulas senyum sambil mengatakan 'Ayah sakit apa? ' tanpa bicara apa-apa, ayah langsung memelukku (aku tidak sadar bahwa ini pelukan terakhir) sambil menangis dan akhirnya akupun ikut menangis, menangis bersama. 

Malam itu aku tidak menginap di rumah sakit, karena aku tidak membawa baju ganti. Sebelum pulang dari rumah sakit, aku menghubungi Teteh (panggilan untuk saudari perempuan tertua) yang ada di Bandung, menyuruhnya agar segera pulang. Meski ayah tidak menyuruhku untuk itu, tapi aku yakin tidak ada orang tua yang tidak senang dengan kedatangan anak-anak nya, meski sebesar apapun masalah yang telah dilakukan anak-anaknya. Besoknya hari Ahad, teteh yg dari Bandung sampai di rumah sakit dan benar saja ayah langsung memeluknya sambil menangis. Bagaimana kondisi ayah kala itu?  Ayah duduk saja, ibadah duduk, tidurpun duduk. Ayah yang tidak mau melakukan cuci darah, memutuskan untuk pulang saja ke rumah pada hari selasa. Dan pihak rumah sakit sudah lepas tangan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap ayah, karena sebenarnya sakit ayah cukup parah, bahkan sangat.
Hari selasa di tengah hari dengan sinar Mentari yang bersinar, kami membawa ayah pulang. Saudara tertuapun membawa mobil dengan sangat pelan, ayah duduk di sampingnya. Aku dan keluarga yang lain di bagian tengah dan belakang. Ada adegan dimana kami semua menangis di dalam mobil. saudara tertua yang sedang menyetir mobil, tiba-tiba tangan kirinya mengurut pundak ayah yang sedang kesakitan sambil menangis, sontak kami yang dibelakang menangis semua. Sesampainya di rumah, semua orang sudah menunggu, saudara-saudara ayah, keponakan-keponakan ayah dan masih banyak yang lain. Ayah langsung dituntun di ruangan depan kamar ayah, beliau langsung duduk dan di urut oleh orang-orang yang sudah menunggu di rumah. Malamnya aku dengan saudara-saudara yang lain menjaga beliau, aku yang sedang berada di samping beliau  mengatakan bahwa besok hari rabu aku akan kuliah, karena memang ada jam kuliah, beliau mengizinkan aku berangkat keesokannya. Sebelum berangkat beliau mengatakan, 'nanti pulang lagi kan? ' aku mengatakan iya. Dan aku baru pulang besok, saat hari kamis. Tidak sedikitpun terbesit bahwa beliau memang sudah tidak akan lama lagi. Ini yang membuat  aneh, biasanya kalau ayah sakit, aku selalu baper dan selalu mikir macam-macam, tapi yang ini tidak sama sekali. Malam kamis, saat aku tidur di tempat rantauan, aku bermimpi bertemu dengan seorang bapak berjubah putih dan badannya sedikit berisi, mengatakan 'kamu yang sabar ya' setelah itu ia pergi. Aku lagi-lagi tidak berfikir macam-macam, aku pikir ayah akan sakit panjang, makanya aku harus sabar. Dan perlu pembaca sedikit tau tentang aku yang sebenarnya tidak mau percaya dengan mimpi. Jadi mau mimpi apapun sebenarnya tidaklah berpengaruh apapun, karena aku fikir itu cuma mimpi, Baik dan buruk dalam hidup kita semua sudah ditentukan Allah. 

Banyak yang datang menjenguk Ayah, memberikan saran berobat sana, berobat sini, berobat ini dan itu. Terimakasih semoga Allah membalas semua nilai ikhlas kebaikan kalian untuk Ayah. Hari sabtu, sebenarnya aku ada jam kuliah, tapi aku bersyukur aku tidak berangkat. Pagi hari sabtu, ayah mengucapkan terimakasih padaku karena aku tidak kuliah, mengatakan 'sudah izin sama dosennya kan? ' aku katakan sudah semua yah. Di tengah hari, hari sabtu ayah menyuruh mamah dan saudara tertua untuk membayarkan beberapa hutang kepada teman beliau. Oh iya pada hari sabtu juga, keluarga mencari kursi terapi buat ayah, yang merupakan saran dari beberapa orang yang menjenguk. Tapi kursi itu tidak ada, alias kosong, Habis.

Aku ingat di tengah hari itu ayah marah, karena saudara tertua dan saudari tertua menyarankan ayah agar mau berobat ke salah satu tempat. Setelah marah, ayah dengan lembut mengatakan 'kamunya yang sabaaaaarrrr, ayah lagi nunggu obat yang udah dipesan'. Di hari sabtu ini juga aku terakhir menuntun ayah ke kamar mandi.

Maghrib Ahad, ayah yang sedang kesakitan, melakukan tayamum dan solat sendiri. Kami tidak tau bahwa di ruangan itu ayah sendirian. Tapi ayah melakukannya sendiri dan ternyata itu adalah solat maghrib terakhirnya. Malam Ahad, masih banyak orang-orang membesuk Ayah, Terimakasih saudara-saudara ku, semoga nanti kita berkumpul lagi di surga Allah. Malam itu aku tidak menemani ayah tidur di depan, karena masih banyak orang. Akhirnya aku dan teteh yang dari Bandung, tidur berdua di kamar belakang. Kemudian saudara tertua membangunkanku agar menemani ayah di depan. Kemudian aku ke depan, ayah sempat marah karena oksigennya sudah habis dan masih menunggu paman dan kakak ipar yang masih mencari oksigen di beberapa Apotek. Setelah itu aku tertidur di ruangan ayah, tapi melihat masih ada yang datang dan mengobati, aku pindah ke ruang TV. Disinilah awal sesak dan air mata itu dimulai. Kurang lebih Jam 02.00 dini hari, Bibi yang merupakan adik perempuan ayah membangunkanku sambil mengatakan 'bangun-bangun ayah udah sesak'. Aku yang kaget langsung berdiri, lari ke kamar belakang membangunkan teteh yg tertidur di situ. Kita langsung kumpul semua di depan dan apa yang dikatakan ayah membuat aku rasanya marah sekali saat itu. Ayah mengatakan 'udah jangan diurut lagi udah tidak terasa', ayah melihat jam lagi dan mengatakan 'jam berapa saya mau dijemput ya allah' kemudian beliau mengatakan pada kami semua yang ada di situ 'kalian yang ikhlas yaa' sontak kami semua menangis termasuk aku yang mengatakan 'bagaimana kalau aku tidak ikhlas' jika mengingat bagaimana aku kala itu, aku seperti orang yang tidak paham agama. Aku nangis sambil jalan menuju ruang belakang, kemudian aku ke depan lagi. Saat itulah aku melihat ayah seperti sedang melihat sesuatu, kemudian sadar kembali dan memberikan beberapa nasehat kepada aku dan teteh yang dari Bandung, setelah itu beliau minta agar orang-orang disekitar membaca surat AlMulk setelah sebelumnya mereka membaca surah Yaasin dan beliau mengatakan 'adem/sejuk' saat mendengar surat Almulk dibacakan. setelah itu beliau solat isya jam 03.45. Karena memang biasanya beliau solat menunggu sakitnya sedikit mereda, sedangkan malam itu sakitnya luar biasa. Kemudian Beliau tayamum dibantu saudara tertua, ipar-ipar dan keponakan2 nya. Di rakaat kedua itulah ayah pergi di pangkuan Allah, semoga Allah jadikan kuburnya taman-taman surganya. Ayah sudah menerima jemputan yang sedari itu ditunggunya, tanggal 18 Safar/29 November pukul 04.00 ayah kembali lagi ke alam kekal.

Oh iya obat yang ditunggu ayah, baru datang hari senin, saat melihat obat itu, kamipun menangis lagi. Bukan menangisi takdir yang sudah tertulis, kami hanya menangis karena Rindu. 

Ayah Di malam 27 Ramadhan ini aku menulisnya, aku seorang anak yang penuh penyesalan karena tidak benar-benar berbakti kepadamu. Semoga saat kami menyusulmu ke dimensi sana, kita akan bersama lagi. Ayah aku menitipkan salam melalui Paman ( adik laki-laki ayah) yang menyusulmu bulan Sya'ban lalu, aku hanya membisikannya dalam hati, saat beberapa jam lagi paman akan pergi. apakah salam itu sampai?  Ahh aku seperti terlalu banyak berimajinasi. Semoga Ayah dan saudara-saudara nya yang sudah tidak ada di dimensi dunia, bisa berkumpul bersama di sana dengan curahan Rahmat dan pengampunan Allah. اامين
Ini sekelumit cerita aku dan hari-hari terakhir ayah, cerita singkat ini semoga dapat diambil Ibrah, agar siapapun yang sedang merantau jangan lupa untuk pulang.

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...