Tahun 1947 masih menjadi tahun dimana bergejolaknya perundingan
kekuasaan wilayah Indonesia dengan pihak kolonial. Berbagai upaya dilakukan
Indonesia agar bisa menjadikannya negara yang utuh tanpa campur tangan dan
kekuasaan belanda lagi, mengingat proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah
dikumandangkan Soekarno pada tahun 1945. Hal itulah yang diperjuangkan para
tokoh-tokoh nasional dan Islam agar terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan
secara sempurna, bahkan KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan resolusi Jihadnya
melawan penjajah dua bulan setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan.
Pada tahun 1947 permintaan perundingan Belanda yang sudah disetujui
Sutan Sahrir selaku perdana menteri Indonesia mendapat banyak kecaman dari
berbagai pihak termasuk dari gerakan
Masyumi yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. Menghadapi hal tersebut pihak
Belanda meminta kepada Gubernur Jawa Timur
yang dikomandani Ch. O Vander Plas
untuk berkunjung ke Tebuireng meminta persetujuan langsung dari KH
Hasyim Asy’ari.
Kedatangan orang penting Belanda tersebut dikawal ketat. Para
santri bersiaga menghadapi kedatangan tamu kolonial, mereka menjaga kyai
disejumlah pintu gerbang. Namun keadaan baik-baik saja dan tidak terjadi
bentrokan, bahkan tamu belanda itu sangat santun selama berada di Tebuireng,
mengingat mereka mempunyai tujuan untuk mengambil simpati KH Hasyim Asy’ari.
Setelah dirasa aman, tamu tersebut dipersilahkan masuk menghadap KH
Hasyim Asy’ari. Untuk menghormati pesantren dan KH Hasyim Asy’ari, anjing yang
dibawa bersama Ch. O Vander Plas tidak dibawa masuk dan ditinggalkan di luar
gerbang pesantren, karena yang mereka tahu anjing adalah binatang yang tidak
disukai oleh kaum Muslim apalagi dikalangan pesantren.
KH Hasyim Asy’ari tetap menghormati tamu Kolonial yang datang
seperti tamu-tamu yang lain, bahkan disuguhinya buah-buahan segar hasil dari
perkebunan di pesantrennya yang membuat tamu kolonial itu memuji Pesantren
Tebuireng. “buah-buah ini sangat segar, saya kagum dengan kemandirian
pesantren ini, saya sudah lama mendengarnya.”
KH Hasyim Asy’ari mengucapkan terimakasih dengan nadanya yang
datar. Setelah sedikit berbasa-basi, kemudian tamu kolonial langsung
mengutarakan tujuannya datang ke Tebuireng yang pada akhirnya pembicaraan Ch. O
vander Plas dialihkan KH Hasyim Asy’ari pada Anjingnya yang terus menggonggong
di luar gerbang. “Maaf tuan sepertinya anjingnya kepanasan dan kehausan
berada di luar, silahkan dibawa masuk saja.”
Hal tersebut sedikit membuat kebingungan tamu kolonial, sekaligus
kekaguman kepada kyai karismatik tersebut. “bukannya anjing adalah binatang
yang dibenci kaum muslim?” tanya sang tamu.
“bukan dibenci, namun dalam batas-batas tertentu muslim memang
harus menjauhinya agar tidak terkena najis. Tapi kita tetap berkewajiban
memberlakukan makhluk Tuhan dengan sebaik-baiknya.”
Tak lama berselang sang tamu meminta kepada salah satu prajuritnya
agar membawa anjing tersebut masuk ke pesantren, sebuah pemandangan yang cukup
ganjil disaksikan oleh para santri. Setelahnya perbincangan dilanjutkan dengan
kesimpulan akhir bahwa KH Hasyim Asy’ari tetap menolak perjanjian Linggarjati
itu karena keputusan bersama dan tamu kolonial pulang dengan tangan hampa.
Dua santri senior yang sedari tadi menemani pertemuan tersebut
mendapat jawaban dari KH Hasyim Asy’ari mengenai pemandangan ganjil
diperbolehkannya Anjing masuk ke dalam pesantren.
“anakku kalau najis itu sekedar luar saja, seperti duduknya anjing
di kursi, itu mudah dibersihkan dengan debu atau air sabun, tapi najisnya hati
karena bersekongkol dengan sekutu demi kekuasaan, janganlah sampai kita
turuti.”
Sumber : Buku Novel Biografi Sang penakluk Badai (KH Hasyim
Asy’ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar