Minggu, 11 Februari 2024

MIS GOD’ED BY DR. LAURENCE B. BROWN


Bukankan Musa, Isa dan Muhammad bersepakat dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa? Itulah mengapa ketiga agama Yahudi, Nasrani dan Islam disebut ke dalam agama-agama Abrahamik. Risalah yang dibawa Musa disempurnakan oleh Isa, kemudian risalah keduanya disempurnakan oleh Muhammad saw, sekaligus menjadi penutup nabi-nabi.

Ada buku yang sangat menarik untuk dibaca terkait agama-agama Abrahmik yang ditulis oleh seorang mualaf dari Amerika, yaitu Dr. laurance B. Brown. Yang merupakan seorang alumni Cornell University, Brown Medical School, dan George Washington University program residensi rumah sakit. Buku itu berjudul  Mis God’ed Mengungkap Rahasia Agama-agama Abrahamik yang diterbitkan oleh penerbit Republika dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Nurfitri Djaya Putri. Buku ini memiliki ketebalan 333 halaman, dicetak pada tahun 2022.

Buku ini mengulik tentang tiga agama Abrahamik, sekaligus ketimpangan ajaran yang terjadi diantara dua agama (Yahudi dan Nasrani) setelah sepeninggal rasul mereka. Buku ini ditulis berdasarkan data fakta yang ada, bukan karena kebencian penulis, apalagi mengingat si penulis adalah seorang mualaf yang memutuskan masuk Islam pada tahun 1994 setelah melakukan kajian Panjang tentang keesaan Tuhan pada  Agama Abrahamik termasuk agama dirinya sebelum masuk Islam yaitu Kristen.

Kajian-kajian Laurence B. Brown dalam buku ini menjadi poin-poin penting untuk siapapun yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran agama Abrahamik, Khususnya agama Yahudi dan Nasrani.

Pada Bab Kristen dalam buku ini, Laurence B. Brown mengatakan bahwa “Yahudi sulit untuk didefinsikan, maka kata Kristen merupakan sebuah kata yang lebih rumit dan dipenuhi masalah. Perlu dicatat bahwa Yesus tidak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai Kristen dan tidak pernah mengklaim pernah membentuk agama Kristen di muka bumi. Bahkan kata Kristen tidak pernah terucap dari bibir Yesus. Kita dapat baca dari kitab Kisah para Rasul 11:26 bahwa , ‘murid-muridnya disebut Kristen partama kali di Antiokhia…’ yang berarti bahwa kata Kristen pertama kalinya dipakai untuk merujuk kepada murid-murid Yesus yang ditujukan oleh mereka yang tidak beriman.”

Jika kita menggunakan kata Kristen untuk mereka yang mengikuti ajaran Yesus, maka kita akan menghadapi kesulitan yang sama, karena umat Islam pun mengklaim bahwa mereka mengikuti ajaran Yesus lebih dalam disbanding orang Kristen. (Hlm 7)

Pada Bab Islam, Laurence B. Brown mengatakan “Tidak seperti kata Yahudi atau Kristen, Di mana kedua kata ini tidak disebut di dalam kitab suci masing-masing kedua agama tersebut, kata Islam dan Muslim disebut berulang kali di dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu, orang-orang yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah ungkapan kata-kata Tuhan memiliki otoritas agung untuk kata islam dan muslim dari kitab suci mereka sendiri.”

Tak perlu terlalu banyak untuk saya tuliskan review buku ini, namun bagi siapapun yang sedang melakukan perbandingan agama tentang agama Abrahamik, maka wajib untuk membaca tuntas buku yang ditulis oleh Dr. Laurence B. Brown. Happy Reading 😊



Jumat, 02 Februari 2024

Leila Khaled : Kisah Pejuang Perempuan Palestina

 


Konflik Palestina dan Israel bukanlah konflik kemarin sore, dua negara itu bersiteru lama sejak PBB menetapkan Israel sebagai sebuah negara pada tahun 1948. Tidak ada lagi Islam dan Yahudi yang hidup berdampingan, padahal persis sebelum penetapan itu mereka hidup rukun dalam satu ruang lingkup yang sama. Tidak ada lagi Haifa yang penuh suara tawa anak-anak yang Bahagia, Haifa itu kehilangan tuan rumahnya yang dipaksa pergi menempati kamp-kamp pengungsian.

Saya sangat meyakini, bahwa konflik kedua negara tersebut bukan sepenuhnya perihal Agama, karena Israel menumpahkan darah bukan hanya umat Islam tetapi juga Nasrani. Tapi pertumpahan darah yang dilakukan Israel mengetuk pintu hati siapapun yang melihatnya, bagaimana keserakahan itu menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Namun saya merasakan dahaga pada apa yang melatarbelakangi perang ini tak pernah terhenti, bahkan bungkamnya negara-negara besar atas konflik kemanusiaan itu sungguh di luar nalar.

Sampai kemudian pada awal tahun ini, saya menemukan sebuah buku tentang kisah pejuang Perempuan Palestina : Leila Khaled. Yang ditulis oleh Sarah Irving. Buku ini membuka pikiran tentang paham yang mengatakan bahwa konflik Palestina dan Israel adalah konflik Agama, perjuangan kemerdekaan Palestina saat ini lebih banyak di salah pahami sebagai perang agama. Padahal jika kita menengok ke belakang dengan membaca buku ini, kita akan menemukan bahwa konflik itu terlalu rumit dan Panjang, maka tidak terlalu berlebihan jika saya mengatakan semua konflik ini tidak akan pernah terjadi seandainya PBB tidak menetapkan negara Israel kala itu, tidak menutup kemungkinan Umat Islam dan Yahudi masih hidup dengan berdampingan secara tenang di Haifa. Namun saya juga tidak menafikkan kalau tanah yang diperebutkan itu menjadi tanah suci tiga agama, Islam, Nasrani dan Yahudi  yang memiliki keyakinan masing-masing tentang tanah suci  peninggalan nabi-nabi.

Leila Khaled, seorang pejuang Perempuan yang pernah membajak pesawat tersebut adalah seorang anggota organisasi sayap kiri,  PFLP. Leila Khaled lahir pada 9 April 1944 di kota Pelabuhan Haifa. Keluarganya adalah bagian dari kelas menengah bawah yang hidup cukup. Ayahnya, Ali Khaled memiliki sebuah kedai, bisnis yang telah dijalankan selama lebih dari 20 tahun, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Leila adalah anak keenam dari dua belas bersaudara.

Pada lembar-lembar pertama buku ini, penulis  memberikan catatan cukup penting tentang Haifa, yang pada masa kini selalu dipamerkan Israel bagi pemirsa di dunia Barat sebagai citra jerih payah negara itu membangun sebuah kota yang multi entnik, sebuah model bagaimana orang Arab dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Sebagaimana kota-kota lain di Palestina, Haifa memiliki Sejarah Panjang bagaimana komunitas-komunitas Muslim, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dalam hubungan yang cukup harmonis. Namun pada tahun 1946, permusuhan antara pemukim Yahudi baru di Palestina dengan penduduk Palestina mulai kental terasa di Haifa. Pada tahun itu, Palmach yang merupakan sebuah organisasi bawah tanah Yahudi, menyerang langsiran kereta di Haifa. Pada akhir tahun 1947, Irgun yang merupakan pasukan bersenjata Zionis lainnya, mulai menyerang kampung-kampung Arab di sekitar Haifa yang segera dibalas oleh orang Arab dengan menyerang pemukiman Yahudi. Saat itu penduduk Palestina sudah mulai khawatir akan banyaknya  pemukim Yahudi di Kawasan tersebut, mereka merasa terpisahkan dengan kota-kota Arab lainnya dan terkurung dalam lingkaran permukiman Yahudi yang kian membesar.

Pada masa kerusuhan itulah Leila Khaled tumbuh di lilngkungan tersebut. Leila memiliki kenangan masa kecilnya dengan seorang teman Yahudi, gadis kecil Bernama Tamara. Ia pun menceritakan hubungan yang cukup baik antara keluarganya dengan para pemukim Yahudi di Badar sampai PBB memutuskan membagi wilayah antara Palestina dan Israel pada November 1947.

Ungkapan Leila Khaled  Ketika mengenang peristiwa itu: Titik balik pertemananku dengan Tamara terjadi pada 29 November 1947 ketika PBB mempartisipasi Palestina antara aku dan Tamara. Tamara diberi 56 persen dari tanah airku, sementara aku diharapkan untuk menerima Keputusan itu dan memberi selamat pada kaum Tamara.” (Hlm 17)

Sejak 1948, tepatnya tanggal 9 April bertepatan dengan ulang tahun Leila, dikenang sebagai hari berkabung bagi orang Palestina. Pada hari itu, 100 orang lebih dari 750 orang penduduk desa Deir Yassin di sekitar Yerusalem dibantai oelh Irgun dan Geng Stern, kaum milisi yang acapkali mengebom dan melakukan Tindakan kekerasan lain pada komunitas Palestina. Aksi-aksi mereka kala itu menjadi episode paling memalukan dalam Sejarah pendirian negara Israel.

Cerita masa kecil Leila Khaled dalam buku ini ditulis dalam narasi wawancara, maka tidak heran selain bercerita tentang Leila Khaled, buku ini juga banyak memberikan informasi lain seputar Palestina, Gender dan organisasi-organisasi perlawanan Palestina, khususnya PFLP yang menjadi wadah Leila dalam berjuang untuk pembebasan Palestina. PFLP sendiri merupakan organisasi revolusioner berhaluan Marxis yang memetik inspirasinya dari ide tokoh-tokoh seperti Che Guevara dan Fidel Castro. Sebagaimana organisasi induknya, PFLP membuat peraturan ketat tentang tugas dan kewajiban dalam kehidupan partai. Para anggota harus mendapat izin dari pimpinan untuk Keputusan besar dalam hidup dan mereka juga harus membuktikan kesungguhan mereka dengan aktivitas-aktivitas tertentu sebelum diangkat menjadi anggota.

Semangat kebebasan yang lahir dan tumbuh di jiwa Leila Khaled sempat membuat sang ibu khawatir, mengingat Leila mulai ikut dalam demonstrasi Bersama anak-anak Palestina lain sejak umur 10 tahun. Turun ke jalan Bersama seisi sekolah tidak menjadi persoalan bagi kedua orangtuanya, karena itulah sikap anak Palestina sejati yang selalu ingat akan asal usulnya dan Bersiap pulang ke tanah air. Cerita-cerita dari kakak Leila mengenai pemukulan yang dialami demonstran dalam aksi menolak kunjungan Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles ke Timur Tengah kian memacu semangat Leila. Namun saat Leila  terlibat jauh dalam aktivitas politik di ANM dan pergi ke rapat-rapat Bersama kakak perempuannya, sang Ibu mulai cemas akan reputasi para anak gadisnya. Pada 1950-an, Tirus adalah kota yang terbilang konservatif dibanding Beirut yang lebih kosmopolit. Dukungan untuk gadis-gadis Khaled malah datang dari orang yang tak diduga-duga yaitu ayah mereka, yang sudah sakit-sakitan sejak berjuang untuk Palestina pada 1948. Menanggapi kecemasan istrinya akan anak-anak Perempuan mereka, ia berkata : “ Jika mereka ingin pulang ke tanah air mereka, mereka harus memperjuangkannya.”

Untuk lebih lengkap dan jelas bagaimana perjalanan Leilla Khaled sebagai pejuang Perempuan sayap kiri, saya sarankan untuk segera membaca buku ini, selain kita akan mendapati inspirasi perjuangan, kita juga akan memahami lebih dalam tentang Sejarah Panjang konflik Palestina dan Israel. 

“ para Pemimpin negara Arab, yang gagal memberi dukungan penuh pada 1948, menggunakan isu kemerdekaan Palestina sebagai platform politik yang bisa dipamerkan antara satu sama lain, sambil mengalihkan pemberontakan dalam negeri mereka sendiri tanpa ada komitmen yang sungguh-sungguh baik secara Politik maupun militer.” (Hlm 41)

“ di luar Palestina dan dunia Arab, persoalan Palestina tidak tampak. Pejuang Palestina sekarat dalam operasinya, rakyat Palestina menjadi korban segala macam pembantaian dan penindasan oleh pendudukan Israel, sedangkan dunia membutakan diri, pada tingkatan negara dan media semua berpaling menghindari persoalan Palestina.” (Hlm 51)

“sepanjang waktu ini, dalam seluruh pernyataanku, aku selalu mengatakan bahwa kami terpaksa melakukan ini. Kami melakukannya bukan berarti kami menyukainya. Kami paham bahwa orang-orang itu (para penumpang pesawat) tidak ada sangkut pautnya dengan konflik ini. Tapi sebelum itu, tidak ada yang mendengar jeritan kami dari tenda-tenda pengungsian, tak ada yang mau mendengar  atau menyimak atau belajar soal penderitaan kami. Tak ada yang tahu mengenai mereka yang disiksa di penjara. Atau bahkan jika mereka tahu, mereka tak mau berbuat apa-apa. Jadi kami tak melihat adanya cara lain dan kami hanya memakainya dalam waktu yang singkat, hanya sekedar membunyikan lonceng pada dunia. Kami merasa ada ketidakadilan menimpa kami dan tak ada orang yang mau tahu.” Leila Khaled. (Hlm 53)

“demokrasi Palestina adalah dunia yang dipenuhi senjata, harus ada keseimbangan antara demokrasi dan senjata.” (Hlm 93)

Sedikit informasi, ternyata Leila Khaled juga satu wadah organisasi dengan Gassan Kanafani yang merupakan Gembong PFLP, kebetulan karya Kumpulan cerpennya yang berjudul Matinya Ranjang nomor 12 baru saja saya baca akhir tahun 2023 kemarin.

Selamat membaca dan menyelami Samudra ilmu yang tak bertepi. 😊





72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...