Satu hari terlihat Umar bin Khattab berlari-lari mengejar seekor
unta. Rupanya unta yang lepas itu berasal dari peternakan Baitul Maal. Ketika
ditanya “Wahai khalifah, mengapa tuan tidak menyuruh anak buah untuk menangkap
unta liar tersebut?” Umar pun menjawab, “Ini aku lakukan karena aku tidak siap
menjawab pertanyaan Allah di yaumil akhir nanti, bahwa Umar telah mensia-siakan
sebagian harta umat yang diamanahkan di atas pundak Umar di Baitul Maal?” Luar
biasa, begitu teguh Umar mengemban amanah yang ada di pundaknya. Bandingkan
dengan apa yang terjadi di negeri kita ini. “Unta yang lepas dari Baitu Maal”
itu terjadi setiap hari. Wujudnya bisa berupa dana triliunan rupiah yang
mengucur lewat skema BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Atau jutaan kubik kayu
yang ditebang dari hutan-hutan di Indonesia, dan tak jelas ke mana
hasilnya. Begitu pula dengan miliaran rupiah dana yang terbang dari bank-bank
milik pemerintah, akibat transaksi-transaksi fiktif beberapa waktu lalu.
Sayangnya tak terlihat pemimpin kita yang mengejar dengan terbirit-birit, dana
yang kabur dari kas negara tersebut. Seandainya mereka sempat mendengar kisah
Umar ini, boleh jadi sikap mereka akan lain.
Tak hanya untuk urusan itu Umar patut diteladani. Beliau juga selalu meminta
sahabat-sahabat senior untuk melakukan social audit serta teguran jika ia
diindikasikan melakukan penyelewengan. Pernah satu ketika ia mengumumkan secara
terbuka di masjid. “Siapa yang berkenan untuk meluruskan aku ketika aku
menyimpang”. Tiba tiba meloncatlah seorang sahabat dengan pedang terhunus dan
berkata, “Wahai amirul mukminin, niscaya akan aku luruskan engkau dengan pedang
ini jika aku mendapatkan engkau khianat dengan amanah rakyat yang ada di
pundakmu”. Mendengar pernyataan itu Umar tersenyum gembira, ”Alhamdulillah
masih ada yang sayang kepada saya dan bersedia mengingatkan”.
Seorang pemimpin yang paripurna, tentu tak sekadar jujur dan memegang amanah.
Ia juga harus cerdas dan mampu menciptakan suatu sistem yang baik, sehingga
kejujuran dan amanah itu tidak hanya berlaku bagi dirinya, namun juga seluruh
aparatnya. Tengok saja bagaimana Umar menciptakan satu sistem manajemen yang
sangat terdokumentasi dengan baik. Atas instruksi Umar, Abdullah Ibn Arqam dan
para asistennya melakukan pencatatan penerimaan dan pengeluaran dengan lajur
yang terpisah satu di sisi debet dan satu di sisi kredit. Pembukuan ini
merangkum kharaj (1/5 hasil garapan atas tanah pemerintah), usyr (1/10 hasil
panen pertanian), jizya (pajak kemanan dari non-muslim), ghanimah (1/5 dari
pampas an perang) usyur al-tijarah (pajak impor sebesar 10%) dan zakat serta
harta harta warisan dan peninggalan yang tidak ditemukan lagi ahli warisnya di
sisi pendapatan (waridaat). Sementara gaji pegawai negeri, tunjangan untuk para
pensiun ahli Badr dan Uhud, pembangunan infrastruktur, keperluan dakwah dan
pendidikan, serta belanja angkatan bersenjata dicatat di sisi pengeluaran.
Tentu saja manajemen keuangan masa kini sudah jauh lebih baik dan moderen di
banding zaman Umar. Namun yang perlu diteladani dari Umar adalah kemauannya
untuk terus berkreasi dan berinovasi, melalui ijtihad yang tak henti-hentinya,
untuk mengatasi persoalan-persoalan yang di masa itu belum ada contoh
penyelesaiannya.
Masalah-masalah yang belum ada contoh penyelesaiannya, cukup banyak ada di Indonesia.
Misalnya saja bagaimana mengelola aset perusahaan yang menumpuk di Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN, lembaga yang kini sudah dibubarkan itu). Untuk
mengatasinya, para pemimpin kita tampaknya harus “berijtihad” terus menerus.
Umar juga selalu menerapkan kebijakan keuangan publik yang mengemban amanah dan
kepentingan rakyat. Hal ini tercermin dari prioritas Umar untuk membangun
jalan-jalan sarana irigasi serta kanal-kanal penunjang irigasi pertanian.
Tercatat Umar membangun kanal yang menghubungkan sungai Nil dengan Laut Merah.
Ah, seandainya para pemimpin kita bersedia meneladani Umar....
Source: http://tazkiaonline.com/bicara.php?aksi=lihat&bicaraid=11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar