Sabtu, 02 Juli 2016

KAJIAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR'AN

Orientalis bagi sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai “momok” yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya “berkedok” sebagai pakar (scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang “dekat” (near eastern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).Tetapi bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya yang memang problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena kajian dan analisis yang dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan menghegemoni dunia islam. Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan kajian dengan begitu objektif, sehingga -diakui atau tidak- mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada umumnya, dan dunia Islam khususnya.Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan al-Qur’an khususnya, jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama mereka bukan Islam, tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah. 
   A.    Awal Muncul Kajian Orentalis Terhadap al-Qur’an
Perhatian para sarjana Eropa terhadap al-Qur’an telah dimulai sejak kunjungan Peter the Venerable, yang juga seorang paderi dari Cluny, ke Toledo pada pertengahan abad ke-12. Ia menaruh perhatian terhadap seluruh permasalahan tentang Islam, sehingga merasa perlu untuk mengumpulkan sekumpulan sarjana dan memberi mereka tugas untuk memproduksi serangkaian karya yang menjadi basis keilmuan bagi pertemuan intelektual dengan Islam. Proyek yang hasilnya disebut Clonic Corpus ini menerjemahkan teks Arab yang ditujukan menjadi basis kesarjanaan misionaris dan orientalis.
            Beberapa karya yang dihasilkan dari upaya awal ini adalah sebuah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Latin oleh seorang sarjana berkebangsaan Inggris Robert Ketton (yang namanya sering ditulis Robertus Retenensis) yang diselesaikan pada tahun 1143. Upaya ini dianggap sebagai gerbang pertama mengkaji al-qur’an. Hanya saja, menurut Watt, karya ini tidak pernah bisa mengangkat nilai penting kajian Islam, karena meski beberapa abad selanjutnya terbit beberapa buku lain, namun tetap saja Islam masih menjadi musuh besar Barat. Di satu sisi Islam ditakuti, tetapi di sisi lain ia disanjung, namun apa yang ditulis para sarjana Barat ketika itu masih bersifat apologetik dan polemikal, bahkan terkadang cenderung bernada menyerang dan memanas-manasi.[1]
Upaya selanjutnya yang mengesankan dan menunjukkan perkembangan di bidang ini adalah karya seorang sarjana Italia Ludovici Maracci pada abad 17, yang mereproduksi al-qur’an berdasarkan beberapa manuskrip, dan dilengkapi terjemahan latin. Hal ini belum pernah dilakukan oleh Orientalis sebelumnya, mengingat hanya sebatas terjemahan yang mereka hasilkan.[2] Dan karya Rodewell pada abad 18 yang menerjemahkan al-qur’an danmenyusunya kembali menurut kronologinya dari al-alaq sampai al-Maidah.
Pada abad selanjutnya, studi al-qur’an semakin luar biasa di tangan Flugel. Pada paruh abad 19, tepatnya 1834 Flugel memulai sebuah riset dengan menulis edisi kritis teks al-qur’an. Karena penting dan signifikan, karya ini direvisi dan diedit oleh orientalis-orientalis belakangan.[3] Minat untuk mengkaji al-Qur’an meningkat dengan diadakannya sayembara penulisan monograf tentang “kritik sejarah terhadap teks al-Qur’an” yang diprakarsai oleh Akademi Inskripsi dan Sastra Paris pada tahun 1857. Sayembara ini dimenangkan oleh Theodor Noldeke.
Tema lainnya yang menarik perhatian orientalis adalah tafsir al-qur’an. Akan tetapi belum ada karya khusus dari mereka tentang tafsir al-qur’an. Kalaupun ada hanyalah sebatas analisa terhadap sejarah tafsir al-qur’an di kalangan umat, inilah yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher pada akhir abad 19. Ia mengkaji secara kritis tafsir-tafsir pada masa klasik.[4]
            Dewasa ini, perkembangan menarik di bidang ini menunjukkan kemajuan berarti. Berbagai pendekatan dan metode baru memahami al-qur’an secara lebih baik telah ditawarkan. Pendekatan linguistik dan berbagai metode pendukungnya menjadi metode paling laku. Misalnya Joseph Horovitz dengan karyanya Koranische Untersuchungen yang berkenaan dengan bahagian naratif dan nama-nama dalam al-Qur’an; Arthur Jeffery dengan beberapa karyanya seperti Foreign Vocabulary of the Qur’an. Selain itu, Jeffrey bersama para orientalis abad 20 juga berambisi membuat proyek al-qur’an edisi kritis. Mereka mengumpulkan berbagai varian tekstual yang didapat dari berbagai sumber. Konon mereka ingin merestorasi teks al-qur’an berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Abu Daud al-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan.[5]
Menurut Nasarudin Umar, hal yang melatarbelakangi kajian, kritik, dan penyerangan mereka terhadap al-qur’an adalah karena ia merupakan kitab suci agama islam yang menjadi rujukan standar nilai utama. Al-qur’an merupakan simbol pemersatu, sebagai landasan dan pedoman hidup di sepanjang sejarah. Jika al-qur’an diusik, baik mengenai orisinalitas dan otentisitasnya, maka kebesaran dan keutuhan islam akan terancam menurut mereka.[6]
Selain itu, asumsi dasar para orientalis mengkaji al-Qur’an dilatarbelakangi dua hal, pertama,  kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka. Kedua, disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an. Mayoritas cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel. Karena pada kenyataannya Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti tidak asli. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan.[7]
    B.     Fokus Utama Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an
Orientalis telah mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk mengkaji, mengkritik dan menyerang al-qur’an. Mereka menyerang al-qur’an dari berbagai dimensi untuk menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan mereka dalam mencemarkan kemurnian teks al-qur’an menggunakan sumber-sumber tidak etis bahkan penipuan.[8] Secara garis besar, diskursus kajian Barat terhadap al-qur’an menyoroti hal-hal berikut ini:
1.      Otentisitas al-Qur’an
Dalam membahas otentisitas al-qur’an, orientalis memiliki tiga asumsi, yakni:
ü  Mereka menganggap bahwa al-qur’an adalah dokuemn tertulis atau teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka lantas mau menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian bibble. Akibatnya mereka menaggap al-qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya arab. Mereka juga mengatakn bahwa mushaf sekarang berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.
Al-qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan. Proses pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui lisan, bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi ke generasi.[9]
ü  Para orientalis ingin mengubah-ubah al-qur’an dengan mempertanyakan fakta sejarah, menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah fiktif. Meskipun pada prinsipnya diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui hafalan, telah kita ketahui bahwa al-qur’an juga dicatat dengan menggunakan medium tulisan. Hampir seluruh catatan tersebut adalah milik pribadi sahabat Nabi. Baru kemudian hari, ketika jumlah penghafal menyusutkarena gugur di peperangan, dilakukan kodifikasi hingga pada masa Utsan bin Affan. Jadi, jelas fakta sejarah dan kodofikasinya.[10]
2.      Sumber Yang Dipakai Nabi Muhammad
Kajian orientalis terhadap al-qur’an tidak sebatas mempertanyakan otensititasnya. Isu klasik yang selalu iangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap islam maupun isi kandungan al-qur’an. Sebagian mereka berusaha mengungkapkan apa sajayang bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen.[11] Misalnya saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang terdapat pada awal surah al-qur’an akibat pengaruh asing, kemungkinan besar Yahudi yang diserap oleh nabi Muhammad. Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab dari dua puluh tujuh surat yang terdapat dalam al-qur’an yang dimulai dengan huruf demikian, hanya dua yang turun di Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan Yahudi.[12]
Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam al-qur’an adalah jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah hasil dari kebohongan dan tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya sekian kesamaan antara al-qur’an dan kitab mereka. Bahkan sekian ulama tafsir menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi. Tetapi kesamaan tersebut bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya mengunjungi objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.[13]
3.      Upaya Mengubah al-Qur’an
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keyakinan umat islam terhadap keaslian al-qur’an. Diantaranya adalah:
a)      Upaya Flugel Mengubah al-Qur’an
Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks al-Qur’an, ia juga sengaja menguras tenaga ingin mengubah teks-teks al-qur’an yang berbahasa arab sehingga dapat diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan bagi kaum muslim untuk membaca al-qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qiraat dengan tidak menentu.
b)      Upaya Bachelere Merusak al-Qur’an
Ketika terjadi penerjemahan al-qur’an ke dalamBahasa Perancis, Bachelere bukan saja mengubah urutan surat dalam al-qur’an, malah juga menambahkan dua ayat ke dalamnya. Dia berpijak pada cerita palsu yang menerangkan bahwa setan yang memberi wahyu kepada Nabi Muhammad tampaknya tidak dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantra-mantra kafir. Tak satupun manuskrip al-qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.[14]
c)      Upaya Mingana Merusak al-Qur’an
Mingana  melakukan penelitian pada manuskrip yang bernama Palimpset. Palimpset adalah manuskrip di mana tulisan aslinya telah dihapus guna memberi peluang bagi tulisan baru. Ia menganalisis lembaran tersebut, dan membuat daftar perbedaan al-qur’an pada manuskrip tersebut.hasil dari daftar perbedaan tersebut ia cetak menjadi sebuah al-qur’an.[15]
    C.     Pendekatan Orientalis dalam Kajian terhadap al-Qur’an
Metodologi yang dipakai sarjana barat dalam mendekati Al Qur’an ada tiga yaitu: Pendekatan historis, Pendekatan Fenomenologis, Pendekatan Historis-Fenomenologis.
1.       Pendekatan Historis
Metode semacam ini muncul pada abad 19, yang dipelopori oleh Leopold Von Ranke (1795-1886). Historis berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu intuisi, nilai-nila maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu muncul. Prinsip historisme menurut Meinecke adalah mencari kausalitas peristiwa historis, dan kausalitas itu tidak berasal dari dunia metafisik atau trans-historis tetapi empiric sensual. Bias dari munculnya teori ini menurut Fuck-Franfurt mendorong kecendrungan dalam studi Al Qur’an di Barat yang yang mengasalkan Al Qur’an dari kitab suci tradisi Yahudi dan Kristen.
Sedangkan Sarjana barat yang menggunakan metode historisme dalam studi al-Qur’an ini antara lain adalah: Maxime Rodinson, Tor Andre, A. Jeffery dan lain-lain. Namun dalam penjelasan ini kami hanya akan menjelaskan pendapatnya J. Wasbrough yang mengasalkan al Qur’an dari Tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama dan Richard Bell yang mengasalkan al Qur’an dari tradisi dan kitab suci Kristen.
Menurut Wansbrough (1977), Ajaran tentang kemukjizatan Al Qur’an dipandang sebagai imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga kumpulan ucapan dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang mutlak kebenaranya.
Richard Bell mengatakan, al Qur’an berasal dari ajaran Kristen. Pengaruh Kristen menurut Bell belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya ialah surah Al-Ikhlas. Menurut Bell surat tersebut bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi kepada orang musrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5 yang menjelaskan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep dari Bibel. Karena dari konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Pada fase berikutnya terdapat kesamaan antara al Qur’an dan Bibel, misalnya penolakan penyaliban Yesus, yang diambil dari satu sekte Kristen di Syiria.
Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, baginya sugesti terjadi secara natural.
2.      Pendekatan Fenomenologis
Fenomologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan dan menampakkan dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Fenomenologi Husserl bertujuan mencari suatu fenomena dalam mencari esensi bermula dari membiarkan fenomena itu termanisfestasi apa adanya tanpa dibarengai prasangkan.
Pendekatan semacam ini tidak melacak asal-usul suatu intuisi, tetapi dengan mengidentifikasi struktur internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan ini dalam studi al Qur’an antara lain: Roest Crolius, Maurice BUcaille, Marcel A dan lain-lain. Namun kami akan memunculkan pemikiranya Marcell A. Bouisard yang tidak melihat sisi formal al Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi subtansinya. Boisard memandang bahwa nabi Muhammad adalah nabi yang sebenarnya. Muhammad hanya sebagai penyambung lidah wahyu yang abadi. Boisard juga memandang al Qur’an berisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia tetapi adalah wahyu Allah.

3.      Pendekatan Historis-Fenomenologis
Pendekatan ini mendekatkan dua metode di atas, pendekatan ini dipelopori oleh W. Montgomery Watt di lihat sebagai kegandaan sumber wahyu al Qur’an , yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Wahyu al Qur’an bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen).
Watt dalam satu sisi tidak menolak Islam yang fundamelntal, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt juga menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari ini menurutnya dimungkinkan terhadinya keliru dalam al Qur’an seperti tentang penolakan penyaliban Yesus dalam al Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru.
Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam al Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Maka dari pendekatan metodologi yang mereka gunakan dalam studi al-Qur’an menghasilkan berbagai golongan aliran orientalis dalam mengkaji al-Qur’an khususnya. Dimana golongan itu secara garis besar dibagi antar Orientalis yang mengkaji al Qur’an atau Islam secara objektif dan subjektif.[16]

  D.    Tokoh dan Pandangan Orientalis Terhadap al-Qur’an
Kaum Orientalis mengingkari kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dan mengingkari kemukjizatan al-Qur’an. menurut anggapan mereka al-Qur’an itu tidak lain adalah buatan manusia dengan bantuan orang lain. Hal ini digambarkan Allah SWT dalam al-Qur’an:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ÷bÎ) !#x»yd HwÎ) î7øùÎ) çm1uŽtIøù$# ¼çmtR%tær&ur Ïmøn=tã îPöqs% šcrãyz#uä ( ôs)sù râä!%y` $VJù=àß #Yrãur ÇÍÈ  
Artinya: “dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh kaum yang lain,  Maka Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang besar. (Q.S al-Furqan: 4)[17]
Berikut pandangan para tokoh-tokoh Orientalis terhadap al-Qur’an:
a.              Washington Irving (1783-1859), sarjana hukum dan diplomat yang pernah mewakili Amerika Serikat di Spanyol dengan jabatan Minister Resident, banyak meninggalkan karya. Di dalam karyanya diungkapkan pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “sebenarnya al-Qur’an yang ada sekarang ini tidaklah sama dengan al-Qur’an yang disampaikan muhammad kepada muridnya pada masanya itu, tapi telah mengalami sekian banyak penyelewengan dan sisipan-sisipan. Sesekali dicatat oleh juru surat atau para murid, pelapah tamar atau lainnya, dan dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah peti, yang diawasi oleh salah seorang istrinya. Seringkali pula hanya tersimpan dalam ingatan dan hafalan seseorang yang kebetulan mendengarnya. Tampaknya tidak ada perhatian untuk menyusunnya secara sistematis pada masa hidupnya. Sepeninggalnya, yakni pada masa abu bakar, barulah ada ikhtiar mengumpulkan dan menuliskannya. Zaid bin tsabit, yang merupakan salah seorang juru tulis muhammad, ditugaskan untuk maksud tersebut. Dia dianggap mengenal sekian banyak ayat al-Qur’an di dalam hafalan, yang menuliskannya berdasarkan dikte dari Nabi. Sedangkan bagian-bagian lainnya dikumpulkannya sekelumit demi sekelumit dari berbagai pihak, yang pernah mencatat dan menuliskannya dan sekian banyak bagian lainnya dicatatnya kembali dari pernyataan berbagai murid yang mengatakan pernah mendengarkannya secara lisan dari pihak Nabi sendiri. Sekian banyak kekeliruan, sisipan-sisipan dan kontradiksi-kontradiksi menyelusup ke dalam naskah-naskah tersebut, sehingga utsman khalifah yang ketiga. Mengumpulkan kembali semua naskah yang beredar tersebut, dan membentuk naskah baru yang dikatakannya al-Qur’an yang murni, dan lantas naskah-naskah lainnya itu dimusnahkan.”
Sikap dan pandangan Washington Irving itu niscaya dirasakan menyakitkan hati setiap muslim, karena banyak hal-hal yang tidak benar di dalam ungkapan tersebut. Dari ungkapan Washington Irving itu tergambarlah, bahwa seakan-akan dia memiliki naskah dari masa Nabi besar Muhammad SAW, dan juga memiliki naskah pada masa Khalifah Abu Bakar, dan lalu membandingkannya dengan naskah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang merupakan pegangan umat Islam sampai saat ini. Tetapi benarkah Washington Irving memiliki dua jenis naskah itu untuk dijadikan alat banding? Tentu saja tidak. Justru penalarannya berpijak pada dasar yang tidak benar dan karena itu pula kesimpulan-kesimpulan di dalam sikap dan pandangannya juga tidak benar. Apalagi tidak dikemukakan pembuktian mengenai ayat-ayat yang dikatakannya sisipan, samar-samar, ketiadaan ujung pangkal, kontradiksi dan sebagainya.
b.             Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang Orientalis terkemuka di jerman yang khusus mendalami bahsa siryani, Arab dan parsi, mengemukakan pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan keseeluruhan mengenai watak Muhammad itu, bahkan mempunyai karya yang otentik yaitu al-Qur’an yang disampaikannya atas nama Allah. Sekalipun demikian, tokoh yang luar biasa menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka teki. Ia banyak sekali mendalami agama yahudi dan agama kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka. Sekalipun mengenai soal apakah betul muhammad itu tak pandai membaca dan menulis, pasti bahwa dia tidak pernah membaca Bible ataupun kitab-kitab lainnya. Tokoh-tokoh tempat dia mengumpulkan informasi mengenai agama-agama tua yang monoteisis itu pastilah pihak yang kurang terpelajar. Terlebih khusus guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”
Dari ungkapan Theodore Noldeke sarjana orientalis jerman itu, terbayanglah di depan mata siapapun bahwa di Makkah, pada masa-masa sebelum Nabi besar Muahammad SAW menjalankan dakwah pada tahun 610 M, ada fakultas teologi dari sebuah Universitas dan Muhammad adalah mahasiswa yang tekun mempelajari berbagai agama sekian tahun lamanya ke berbagai guru yahudi dan keristen, seperti yang dilakukan mahasiswa Theodore Noldeke sendiri sewaktu mempelajari agama Islam. Jadi Theodore Noldeke terlalu berkhayal dengan semua ungkapannya tersebut.
c.              Reinhart Dozy (1820-1884) adalah seorang orientalis terkemuka di Negeri Belanda dan mahaguru bahasa Arab di Universitas Leiden, yang luas sekali studinya tentang berbagai daulat Islam di Andalusia. Pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “kitab yang berisikan wahyu kepada Muhammad, yang sekalipun tidak terlampau lengkap tetapi setidaknya merupakan sumber yang dapat dipercayai mengenai riwayat hidup Muhammad itu, mengungkapkan berbagai keistimewaan  dan keluarbiasaan daripada sumber lainnya. Al-Qur’an itu berisikan kumpulan kisah-kisah, bimbingan , hukum dan sebagainya, ditempatkan damping-berdampingan tanpa memperhatikan urutan kronologis ataupun urutan lainnya. Wahyu-wahyu itu jarang sekali yang panjang, kebanyakan berisikan ayat-ayat singkat, yang langsung dituliskan pada masa Muhammad, atupun dipercayakan kepada hafalan ingatan, karena sebagimana dibuktikan dari silsilah keturunan beserta sajak-sajak dari masa jahiliah yang diwariskan turun temurun secara lisan, menunjukkan orang-orang semasa Muhammad itu memiliki ingatan yang kuat sekali, seperti halnya setiap kelompok yang sedikit sekali mempergunakan tulisan. Pada masa Muhammad itu dikenali bahwa pihak yahudi mengubah ayat-ayat perjanjian lama pada beberapa tempat, bahkan mereka dikutuk atas perbuatnnya itu dan fakta itu dapat dibuktikan secara positif. Sepanjang sejarah yahudi Terdapat alasan-alasan  untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut, yang dari titik pandang tertentu dipandang suatu keharusan, tapi pihak Muhammad tidak punya alasan yang sama seperti piihak yahudi itu untuk melakukan suatu perubahan ataupun tambahan.”
Dari pandangan Reinhart Dozy, tokoh Orientalist dari holand (belanda) itu, tampak bahwa ia mengakui dengan mengemukakan bukti-bukti yang rasional sekali bahwa orang-orang pada masa nabi Muhammad SAW itu memiliki kemampuan ingatan yang kuat sekali. Jika pada masa itu orang punya ingatan yang kuat sekali dan andai ada sesuatu pihak pada masa itu dengan sesuatu alasan yang lain melakukan perubahan maupun tambahan, niscaya akan cepat terlihat dan cepat memperoleh reaksi dari sana sini. Karena itulah argumentasi terakhir dari R. Dozy itu tidak logis sama sekali.
d.             Philip K. Hitti adalah seorang Orientalis terkemuka, pandangannya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “dibanding dengan Bible, ketidakpastian pada ayat al-Qur’an sedikit sekali. Versi resmi yang pertama dan terakhir dari al-Qur’an itu dibanding 19 tahun  sesudah Muhammad wafat. Hal itu disebabkan karena tokoh-tokoh yang hafal al-Qur’an makin berkurang karena pertempuran yang terus menerus, dari ayat-ayat yang ditulis pada himpunan pelapah tamar dan kepingan-kepingan batu putih dan dari hafalan-hafalan ingatan, maka naskah yang ula-mula dan tidak resmi itu disusun kembali. Kemudian seluruh naskah lainnya dimusnahkan. Al-Qur’an yang memiliki 6.239 ayat, atau 77.934 kata, atau 323.621 huruf itu diawasi senantiasa dengan sangat hati-hati. Al-Qur’an itu bukan hanya merupakan jantung agama, penuntun kepada kerajaan samawi, tetapi juga Ikhtisar ilmu dan dokumen politik, berisikan himpunan hukum untuk kerajaan di bumi.”
Dari sekelumit pendapat Philip K. Hitti mengenai kitab suci al-Qur’an itu terlihat suatu kenyataan bahwa, dari banyaknya kekaburan, sisipan dan tambahan pada ayat al-Qur’an itu menurut pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya, kini bergeser kepada sedikit sekali ketidakpastian pada ayat al-Qur’an itu. Pergeseran pendapat serupa itu dari abad ke abad tidaklah menakjubkan, karena apa yang disebut dengan pendapat ilmiah itu senantiasa dapat saja berubah dari waktu ke waktu berkat perkembangan hasil penelitian. Pergeseran serupa itu tetap berkelanjutan disebabkan perkembangan aktivitas penelitian seseorang tokoh ilmuan dari waktu ke waktu.
e.              Prof. Dr, Tor Andrae, Orientalis dari Jerman itu menulis mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut: “Muhammad tampaknya termasuk tipe mendengar suara. Wahyu yang diterimanya itu didiktekan kepadanya oleh suatu suara yang dia atributkan kepada malaikat jibril. Pembuktian atas kemurnian wahyu yang diterimanya itu dikemukakan Muhammad dalam surah al-Qiyamah,ayat 16-19 yang disitu kita baca ( janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya). Justru sang Nabi itu tidaklah menggerakkan lidahnya dengan sengaja membentuk lebih dulu kata-kata yang akan diucapkan malaikat. Tapi dengan tenang dan dia, dia menantikan bacaan malaikat, dengan jaminan bahwa kalimat-kalimat Illahi itu akan tetap membekam di dalam ingatannya.”
Tor Andrae membicarakan panjang lebar tentang al-Qur’an sebagai himpunan wahyu dengan membahas pengertian wahyu dan hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, dan membandingkannya dengan nabi-nabi yang tercantum di dalam Holy Bible. Selanjutnya membandingkannya kepada kenyataan-kenyataan yang dialami seniman-seniman terbesar sewaktu menerima Ilham bagi setiap karyanya. Dalam hal itu Tor Andrae mengemukakan data-data yang ditemukan di dalam al-Qur’an sendiri beserta hadis-hadis al-Mutawatir tentang keadaan Nabi besar Muhammad SAW, ketika menerima wahyu lalu menyorotinya sepanjang teori-teori psikologi Mutakhir. Dari ungkapan tersebut tampak Tor Andrae itu makin lebih maju dari pendapat Philip K. Hitti seperti diuraikan lebih dulu.
f.              W. Montgomery Watt, mahaguru pada Universitas Edinburgh, Skotlandia, menulis buku berjudul Muhammad, Prophet and Statesman (Muhammad, Nabi dan Negarawan) yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 1961. Kata pengantar dari penulisnya tertanda “Agustus 1960” menyatakan buku tersebut merupakan Ikhtisar dari dua buah karya tebal pada masa sebelumnya, yaitu Muhammad at Meecca dan Muhammad at Medina.
Sekalipun pendapat W. Montgomery Watt terhadap pribadi Nabi Muhammad SAW itu dapat dinyatakan positif tetapi sebaliknya terhadap al-Qur’an berbalik negatif, dalam bukunya tersebut ia menulis: “Muhammad itu seorang yang jujur janganlah ditarik kesimpulan bahwa dia itu teliti dalam berbagi kepercayaan, kepercayaan Muhammad bahwa wahyu-wahyu itu datang dari Allah tidaklah mencegahnya untuk menyusun sendiri dan selanjutnya memperbaikinya dengan jalan penghapusan ataupu penambahan.”
Dari sekelumit ungkapan W. Montgomery Watt Orientalis dari Skotlandia itu menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan dan ada yang ditambahkan. Tetapi anehnya, seperti juga dengan tokoh-tokoh  Orientalis sebelumnya, dia tidak pernah menunjukkan mana ayat-ayat yang dihilangkan dan mana ayat-ayat yang ditambahkan di dalam al-Qur’an itu dan apa pembuktian untuk mengukuhkan pernyataan tersebut.
Jika kalangan sarjana Bible dalam dunia kristen sendiri menyatakan bahwa  di dalam Bible itu banyak yang dihilangkan dan banyak yang merupakan sisipan/tambahan, mereka memang mampu membuktikannya dengan membandingkan Codex Sinaiticus, naskah Grik yang ditemukan tahun 1862, dengan Vulgata naskah latin yang menjadi pegangan dunia  kristen sejak abad ke-5 sampai pertengahan abad ke-19. Tetapi sebaliknya, kalangan  Orientalis yang menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an itu ada yang dihilangkan adan ada yang ditambahkan, tidak pernah mengemukakan bukti untuk mengukuhkan pernyataan tersebut. Disinilah bedanya ungkapan tokoh-tokoh orientalis  tertentu mengenai al-Qur’an dengan ungkapan kalangan sarjana Bible dalam dunia Kristen sendiri mengenai Bible.
g.             Sir Hamilton A.R. Gibb membicarakan kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “apakah al-Qur’an itu dituliskan sepenuhnya pada masa hidup Muhammad, hal itu masih merupakan satu soal karena keterangan-keterangan trdisional saling berlawanan. Tapi tanggapan yang umum diterima adalah bahwa pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an itu untuk pertama kalinya berlangsung beberapa tahun sesudah wafat, dikumpulkan dari kepingan-kepingan perkamen, catatan pada batu tipis dan pada pelapah-pelapah tamar dan lainnya, beserta dari hafalan-hafalan seseorang. Karena itulah boleh jadi terdapat ketidaksamaan serta hubungan-hubnungan yang ganjil pada surah-surah yang panjang. Adalah pasti bahwa di samping catatan-catatan tertulis itu, kalangan sahabat Nabi mengingatnya dalam ingatan dan menyalurkan versi hafalannya itu dengan sedikit ragam variasi.”
Pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb yang didasarkan pada hasil penelitiannya mengenai kitab suci al-Qur’an itu, tampak lebih maju lagi dibanding pendapat tokoh-tokoh Orientalis sebelumnya. Seperti dinyatakan sebelumnya, makin luas dan mendalam suatu penelitian ilmiah, semakin terjadi perkembangan paendapat, sebagai akibat yang wajar dan logis.
h.             Dr. Maurice Bucaille sarjana dan ahli bedah Perancis membandingkan ayat-ayat Bible dengan Sains Modern dan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sains Modern, kemudian membuktikan batapa ayat-ayat Bible itu berlawanan dengan penemuan-penemuan Ilmiah dan sebaliknya, ayat-ayat Qur’an itu memperlihatkan keselarasan dengan penemuan-penemuan ilmiah, sehingga hal itu sangat menakjubkan, mengingat ayat-ayat al-Qur’an disampaikan oleh Nabi besar Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan kenyataan yang menakjubkan itu, Dr. Maurice Bucaille mengungkapkan pendapatnya mengenai kitab suci al-Qur’an sebagai berikut; “keaslian yang tidak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada al-Qur’an itu suatu kedudukan istimewa diantara kitab-kitab suci lainnya, kedudukan itu khusus bagi al-Qur’an, dan tidak tertandingi oleh perjanjian lama dan perjanjian baharu. Dalam dua bagian pertama dalam buku ini kami telah menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perjanjian lama dan empat Injil, sebelum Bible itu dapat kita baca dalam keadaanya sekarang. Al-Qur’an tidak begitu halnya, oleh karena al-Qur’an itu telah ditetapkan pada zaman Muhammad.”
Demikian ungkapan Dr. Maurice Bucaille mengenai kitab suci al-Qur’an. Ia sering menyebut sumber-sumber, dan memadu keterangan dari sumber-sumber tersebut, yakni sumber-sumber sejarah tertua. Hal itu menunjukkan bahwa penelitian sarjana perancis itu lebih luas dan mendalam, hingga pendapat yang dikemukakannya tampak lebih maju lagi dibanding dengan pendapat Sir Hamilton A.R. Gibb. Di samping meneliti data-data sejarah, Maurice Bucaille juga meneliti isi pesan di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai bidang ilmiah (Sains Modern), di dalam perbandingannya dengan ayat-ayat di dalam Holy Bible. Ia mengutip ayat-ayat Holy Bible yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata satu persatunya berlawanan dengan penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru. Sebaliknya ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmiah dan ternyata kebenaran satu persatunya dibuktikan oleh penemuan-penemuan ilmiah pada zaman baru.
Siapapun bebas mengemukakan jawabannya atas problema itu. Tapi, Dr. Maurice Bucaille tegas dalam jawabannya bahwa satu persatu ayat tersebut adalah wahyu Illahi.
i.               Dr. Toshihiko Izutsu melalui karyanya Ethico Religious Concept inthe Qur’an menyoroti kitab suci al-Qur’an dari jurusan nilai-nilai sepanjang etis yang terkandung dalam setiap ayat al-Qur’an. Dr. Toshihiko Izutsu adalah mahaguru pada institute of Cultural and Linguistic Studies, Universitas Keio di Tokyo (Jepang), yang setiap tahun menjabat mahguru selama enam bulan pada Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, untuk mata kuliah teologi Islam dan filsafat islam. Banyak karyanya dalam masalah Islam, baik yang diterbitkan oleh Universitas Keio di tokyo maupun Universitas McGill di Kanada.
Pendapat Izutsu mengenai etika al-Qur’an itu memperdengarkan pandangan yang positif terhadap nilai-nilai sosial dan nilai-nilai agamawi yang terkandung di dalam al-Qur’an, dan pandangannya yang positif itu tercermian sepenuhnya di dalam karyanya yang demikian tebal.
Membandingkan sikap dan pandangan Dr. Toshihiko Izutsu dengan sikap dan pandangan Washington Irving beserta tokoh-tokoh Orientalis berikutnya mengenai kitab suci al-Qur’an dapat daisaksikan suatu kenyataan, bahwa terjadi perkemabangan pendapat secara terus menerus dan pada akhirnya kagum dan takjub. Layaknya bagaikan orang yang memandangi bangunan Alhambra dari jauh, menampak berbagai cacad  pada bangunan itu, tapi sewaktu datang mendekatinya  dan makin lama makin dekat, dan akhirnya memasukinya, lantas ia pun kagum dan takjub menyaksikan tata rias ruangan demi ruangan yang demikian banyaknya. Dengan penuh kejujuran, ia pun mengakui keindahan dan keistimewaan bangunan Alhambra di Andalusia itu. Demikian pula sikap dan pandangan pihak Orientalis terhadap kitab suci al-Qur’an.[18]

















[1] Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), (Ciputat: Pusat Studi al-Qur’an, 2006), vol. I, hlm. 147
[2] Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 150
[3] Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 154
[4] Faried F. Saenong, Kesarjanaan al-Qur’an di Barat (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 167
[5] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 64
[6] Nasarudin Umar, al-Qur;an di Mata Intelektual (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 92
[7] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 3
[8] Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema Insani, 2005), hlm. 337.
[9] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 10
[10] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11-12
[11] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 6
[12] Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 42
[13] Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi al-Qur’an), vol. I, hlm. 36
[14] Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344
[15] Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 347
[16] http://khaerul21.wordpress.com/2009/03/24/propaganda-orientalis-terhadap-al-quran-tinjauan-historis/
[17] A Mannan Bukhari, menyingkap Tabir Orientalisme,(Jakarta:Amzah, 2006) Hlm 53-54
[18] M. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Cet III, Hlm 123-146

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...