A.
Riwayat hidup Muhammad
Abduh
Muhammad
Abduh dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan pembaharuan Islam
di masanya. Muhammad Abduh yakin sekali bahwa pendidikan yang benar, perbaikan
urusan umat, pembentukan Akhlak umat, mendidik generasi umat, memerangi
kerusakan di tubuh umat merupakan jaminan untuk menjadikan negara dan
Masyarakat Muslim menjadi lebih baik.[1]
Muhammad
Abduh digambarkan dalam sejarah hidupnya seperti selayang pandang di muka,
dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup dalam suatu masyarakat yang sedang disentuh
oleh perkembangan-perkembangan mendasar di eropa. Sayyid Quthb memberikan
gambaran singkat dan tepat menyangkut masyarakat tersebut yakni suatu
masyarakat yang beku, kaku, dan menutup rapat-rapat pintu Ijtihad, mengabaikan
peranan akal dalam memahami syariat Allah atau mengistinbathkan hukum-hukum,
karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu
mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (Jumud) serta yang berlandaskan
khurafat. Sementara itu di eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal,
khususnya setelah penemuan-penemuan Ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu,
ditambah lagi kecaman-kecaman tajam yang dilontarkan oleh Orientalis terhadap
ajaran-ajaran Islam.[2] Berikut Riwayat Hidup mengenai sosok Muhammad
Abduh.
1. Profil
Muhammad Abduh
Nama lengkap Muhammad
Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah al-Turkmani.[3] Ia
dilahirkan di desa Mahallat Nashr di
kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang
tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan
bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang
suka memberi pertolongan. Muhammad Abduh berkata: “saya tadinya beranggapan
bahwa ayahku adalah manusia termulia di kampung saya. Lebih jauh, beliau saya
anggap manusia yang termulia di dunia ini, karena ketika itu saya mengira bahwa
dunia ini tiada lain kecuali kampung Mahallat Nashr. Pada saat itu para pejabat
yang berkunjung ke desa Mahallat Nashr lebih sering mendatangi dan menginap di
rumah kami daripada di rumah kepala desa, walaupun kepala desa lebih kaya dan
mempunyai banyak rumah sertan tanah. Hal ini menimbulkan kesan yang dalam atas
diri saya bahwa kehormatan dan ketinggian derajat bukan ditentukan oleh harta
atau banyaknya uang. Saya juga menyadari sejak kecil betapa teguhnya ayahku
dalam pendirian dan tekad serta keras dalam perilaku terhadap musuh-musuhnya.
Semua itulah yang kutiru dan kuambil, kecuali kekerasannya.”[4]
Ayahnya Muhammad Abduh
pernah dituduh menentang pemerintahan Muhammad Ali. Karena tuduhan itu ayahnya
sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan
mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh. Ayahnya berasal dari desa
Mahallat Nashr, sedangkan ibunya yang berasal dari desa Hashat Syabsir di
al-Gharibiah.[5]
Ayahnya mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin
Khathab,Khalifah yang kedua.[6]
Muhammad Abduh hidup
dalam lingkungan keluraga petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya
mengelola usaha pertanian. Kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau
mungkin juga karena ia sangat dicintai
oleh ayah dan ibunya.
Hal terssebut terbukti
dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke
desa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk
dan juga dengan dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada
tahun 1865 M, pada waktu itu Muhammad Abduh berusia 16 tahun.[7]
Dalam kepribadiannya Muhammad
Abduh dikenal sebagai orang yang berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran
yang ia yakini. Kejujuran yang ia miliki tampaknya terbina dengan baik dalam
jiwanya yang berani. Di samping kejujuran dan keberaniannya, Muhammad Abduh
juga merupakan orang yang memiliki semangat tinggi dalam menempuh kehidupan,
terutama dalam studi dan pelaksanaan ibadatnya kepada Tuhan. Muhammad Abduh
juga diketahui sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab yang besar.
Bebarengan dengan pemampilan hidupnya yang memiliki rasa tanggung jawab besar,
tokoh pembaruan Islam ini tampaknya juga pandai bergaul, dalam kata lain yaitu
supel dan aktif berhubungan dengan orang lain.[8]
2. Pendidikan
dan Perjuangan Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad
Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari
kairo) untuk mempelajari Tajwid al-Qur’an. namun sistem pengajaran di sana
dirasakannya sangat menjengkelkan.[9] menurut
pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan
kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu atau Fiqih yang tidak
dimengerti arti-artinya. Mereka seakan tidak peduli apakah murid-murid mengerti
atau tidak tentang arti istilah-istilah itu.[10] sehingga
setelah dua tahun di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya
dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya, waktu kembali ke
desa inilah ia dinikahkan.
Walaupun sudah menikah,
ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah
bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak
paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan
Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan
mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf al-Syadziliah.[11] Seorang
Alim yang banyak mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam
ilmu Agama Islam. Darwisy Khidr juga pernah belajar ilmu Tarekat kepada Sayyid
Muhammad al-Madini.[12] Sang
paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang
membenci Ilmu Pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya. Bahkan Muhammad
Abduh menceritakan pengalamannya “Tidaklah berlalu lima hari dari masa
pertemuan itu, kecuali apa yang tadinya paling kusenangi seperti bermain,
bercanda, dan berbangga-bangga, telah berubah menjadi hal-hal yang paling
kubenci.”
Dari sini Muhammad
Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya
untuk belajar telah jauh berbeda dibanding sewaktu pertama kali ke sana.[13]
Sekarang ia telah mengerti, baik pelajaran yang diberikan oleh guru maupun
pelajaran/buku yang dibacanya sendiri, karena tampak menonjol, Muhammad Abduh
selalu dikerumuni teman-teman sepelajaran dan menjadi tempat mereka bertanya.
Suatu ketika ia mendengar dari seorang teman secara tidak langsung, bahwa
prestasi keilmuannya akan semakin meningkat apabila ia mau meninggalkan Thantha
dan pergi ke Kairo untuk meneruskan pelajaran di al-Azhar.[14]
Satu hal yang perlu
dicatat, bahwa pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara
dan paham sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khidr.
Dari Thantha Muhammad
Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar yaitu pada bulan Februari 1866.
Namun sistem pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Muhammad
Abduh: “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama
terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan
pentarjihan,” namun demikian di perguruan tinggi ini ia sempat berkenalan
dengan banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
a. Syaikh
Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina,
logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut
tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu.
b. Muhammad
al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra
bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa
dan kemampuan memperaktikannya.
Muhammad
Abduh sempat dipanggil menghadap Syaikh ‘Alaisy karena ketertarikannya pada
teologi Mu’tazilah. Ketika ditanya apakah benar ia telah condong memilih aliran
Mu’tazilah dan meninggalkan aliran Asy’ariyah, Muhammad Abduh dengan tegas
menjawab, “jika saya tidak bertaklid pada Asy’ari, mengapa saya mesti bertaklid
pada Mu’tazilah. Saya tidak mau bertaklid kepada siapapun. Yang saya utamakan
adalah argumentasi yang kuat”. Jawaban yang menunjukan bahwa Muhammad Abduh
bukan saja tidak mengikatkan dirinya pada suatu aliran manapun, tetapi juga
sejak menjadi mahasisiwa ia telah mampu menunjukan sikapnya yang kritis dan
menentang taklid. Dengan sikap kritis itulah Muhammad Abduh menjalani studi di
al-Azhar. Tidak kurang dari sebelas tahun lamanya ia habiskan untuk studi di perguruan
tinggi Islam ini[15]
Pada
1871, Jamaludin al-Afghani tiba di Mesir. Jamaludin al-Afghani terkenal dalam
dunia Islam sebgai Mujahid (Pejuang), Mujaddid (Pembaharu, reformer) dan ulama
yang sangat alim. Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa al-Azhar.[16] Kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh
dengan menghadiri pertemuan-pertemuan Ilmiah yang diadakan oleh al- Afghani.
Hubungan keduanya memungkinkan Jamaludin al-Afgahani megalihkan kecenderungan Muhammad
Abduh dari Tasawuf dalam arti yang sempit dan dalam bentuk tata cara berpakaian
dan dzikir, kepada Tasawuf dalam arti yang lain yaitu perjuangan untuk
perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela
ajaran-ajaran Islam. Hal ini dilakukan melalui pemahaman ajaran-ajaran lawan
dan membantahnya sambil mempelajari faktor-faktor yang menjadikan dunia barat
mecapai kemajuan, guna diterapkan dalam masyarakat Islam selama faktor-faktor
tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.[17] Muhammad
Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin al-Afghani, bagi Muhammad
Abduh, Jamaluddin al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di
hadapannya. Beserta masalah yang dihadapinya di zaman Modern.[18]
Selain
Muhammad Abduh, banyak mahasiswa-mahasiswa al-Azhar lainnya yang ditarik oleh Muhammad
Abduh untung ikut belajar kepada Jamaluddin al-Afghani. Selain belajar tentang
imu-ilmu agama, meraka juga belajar tentang pengetahuan-pengetahuan Modern,
Filsafat, Sejarah, Hukum dan tata kenegaraan dan lain-lain. Satu hal yang
istimewa yang diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani kepada mereka, yaitu
semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus mata rantai kekolotan
dan cara-cara berpikir yang fanatik dan
merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju. Udara baru yang ditiupkan
oleh Jamaluddin al-Afghani berkembang dengan pesat sekali di Mesir, terutama di
kalangan mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[19]
Setelah
dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaludin al-Afgahani, terjadilah perubahan
yang sangat berarti pada kepribadian Muhammad Abduh dan mulailah ia menulis
kitab-kitab karangannya seperti Rislah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian
dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal ad-Dawwani lil-Aqaid al-Adhudiyah (1875). Dalam
karangannya ini Muhammad Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang
aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta
mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di
samping itu Muhammad Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat
kabar al-Ahram, surat kabar yang mulai terbit pada tahun 1876. Tulisannya
mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab, karang-mengarang,
Politik, agama dan sebagainya.[20]
Melalui media ini gema tulisan tersebut
sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian mereka tidak
menyetujuinya. Namun, berkat kemampuan Ilmiahnya serta pembelaan Syaikh
Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, yang ketika itu menduduki jabatan Syaikh al-Azhar,
Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar,
ketika itu dalam usia 28 tahun (1877 M).
Setelah
lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang L.C), Muhammad Abduh mengabdikan diri
pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (logika) dan ilmu al-Kalam (Teologi),
sedangkan di rumahnya ia mengajar kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu
Maskawih serta Sejarah Peradaban Kerajaan-Kerajaan Eropa.
Pada
1878 Muhammad Abduh diangkat sebagai pengajar “Sejarah” pada sekolah Dar
al-‘Ulum (yang kemudian menjadi Fakultas) serta ilmu-ilmu Bahasa Arab pada
Madrasah al-Idarah wal-Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-Bahasa).[21]
Di
dalam memangku jabatan gurunya itu, Muhammad Abduh terus mengadakan
perubahan-perubahan sesuai dengan cita-citanya yaitu memasukkan udara baru yang
segar ke dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan
metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman. Tidak hanya itu Muhammad Abduh
juga mengkritik politik pemerintah pada umumnya, yang menyebabkan para
mahasisiwa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup. Sehingga rela
dipermainkan oleh politik penjajahan asing.[22]
Di
samping kegiatan mengajar dan karang mengarang Muhammad Abduh atas pengaruh
gurunya Jamluddin al-Afghani, juga terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Akibat pinjam-pinjaman yang dilakukan oleh penguasa Mesir waktu itu, Khedevi
Ismail pada Inggris dan Perancis untuk kepentingan melanjutkan gerakan
pembaruan yang telah dirintis Muhammad Ali, terutama untuk mengubah Kairo dan
Iskandaria menjadi kota-kota bermodel Eropa, kedua negara barat yang berwatak
Kolonialis itu mulai ikut campur dalam soal pemerintahan Mesir. Gejala yang
tidak baik ini di tentang oleh Jamaluddin al-Afghani, ia mencoba bangkitkan
semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang telah mulai ditanamkan oleh
al-Tahthawi sebelumnya. Selanjutnya Jamaluddin al-Afghani membentuk pula
al-Hizb al-Wathani, partai Nasional Mesir. Pandangan-pandangan dan gerakan
politik Gurunya itu diuraikan Muhammad Abduh dalam kuliah-kuliah dan
tulisan-tulisannya di surat kabar.
Karena
telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, Khedevi Ismail menjadi
lawan dari gerakan Nasionalis Mesir. Dalam pertarungan politik Khedevi Ismail
terpaksa mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Khedevi
Taufiq.[23]
Supaya
tidak mengalami nasib seperti yang dialami orang tuanya, penguasa baru ini
mengusir Jamaluddin al-Afghani pada tahun 1879 M atas hasutan Inggris yang
ketika itu sangat berpengaruh di Mesir. Sedangkan Muhammad Abduh pada tahun
yang sama diberhentikan dari kedua sekolah yang telah disebutkan sebelumnya dan
di asingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir). Tetapi dengan
terjadinya perubahan kabinet pada 1880, Muhammad Abduh dibebaskan kembali dan
diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah yaitu al-Waqa’i
al-Mishriyah lembaran resmi Negara yang telah dimulai penerbitannya pada zaman
Muhammad Ali dengan al-Tahtawi sebagai pemimpin redaksinya. Surat kabar ini
oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawannya yang juga murid dari Jamaluddin
al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya
yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.[24]
Kendatipun
jamaluddin al-Afghani telah meninggalkan Mesir, namun jiwa Nasionalisme yang
dibangkitkannya terus berkoar di negeri Piramid itu. Timbullah protes di bawah
pimpinan Ahmad Urabi Pasya, berkenaan dengan politik rasialisme yang dijalankan
penguasa Mesir. Di dalam angkatan bersenjata, perwira-perwira yang berasal dari
Turki dan Syarkas justru menduduki posisi-posisi penting, sedangkan
perwira-perwira yang berasal dari Mesir, seperti Ahmad Urabi Pasya, diberi
kedudukan rendah. Gerakan itu selanjutnya menuntut diwujudkannya pemerintahan
yang demokratis dan Mesir harus berparlemen. Akhirnya gerakan itu mengambil
bentuk perlawanan terhadap keterlibatan Inggris dan Perancis dalam pemerintahan
Mesir. Maka pada tahun 1882 timbullah apa yang dikenal dengan pemberontakan
Urabi (al-Tsawrat al-Urabiyah).
Muhammad
Abduh sendiri, sungguhpun ia termasuk dalam golongan Nasionalis, pada dasarnya
tidak setuju dengan politik Urabi Pasya dalam menentang penguasa dan menuntut
diadakannya parlemen. Menurut Muhammad Abduh, rakyat Mesir belum matang untuk
kehidupan berparlemen. Oleh karena itu, yang diperlukan Mesir pada waktu itu
bukanlah Parlemen, tetapi pendidikan yang baik, yang dapat mencerdaskan rakyat.
Untuk kehidupan berparlemen, rakyat harus dicerdaskan terlebih dahulu, menurut
pendapatnya pula bahwa menuntut parlemen dengan menggunakan kekuasaan militer
merupakan langkah yang tidak tepat sama sekali. Pemberontakan tidak akan
menyelesaikan masalah dan tidak menguntungkan Mesir, bahkan itu justru akan
mengundang negara asing menduduki Negeri piramid itu.[25]
Setelah
Revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang
ketika itu masih memimpin surat kabar al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam
revolusi tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya
selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingannya.
Untuk itu Muhammad Abduh memilih Suriah.
Di
negara tersebut Muhammad Abduh menetap selama setahun, hingga kemudian Muhammad
Abduh dipanggil Jamaluddin al-Afghani supaya datang ke Paris untuk membentuk
gerakan bawah tanah yang kemudian diberi nama Jama’at al-‘Urwat al-Wutsqa.
Walaupun Muhammad Abduh berada dalam masa pembuangan yang jauh dari tanah
airnya, namun semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih
menyala-nyala. Saat itu Muhammad Abduh memandangnya sebagai suatu kesempatan
yang terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah
Islam seluas-luasnya, karena saat itu Muhammad Abduh berdakwah dalam alam
cakrawala dunia Internasional yang lebih luas dan lebih besar, Muhammad Abduh
berada di kota Paris yang terkenal sebagai kota sentral peradaban dan
kebudayaan Eropa itu.[26]
Gerakan Jama’at al-‘Urwat al-Wutsqa diketuai sendiri
oleh Jamaluddin al-Afghani dengan wakilnya Muhammad Abduh. Untuk mencapai
tujuan tersebut, mereka menerbitkan majalah yang juga diberi nama al-Urwat
al-Wutsqa’. Tujuan pokok majalah al-urwah al-wusqa sebagaimana ditulis muhammad
iqbal dalam misi islam, adalah:
Pertama,
menyampaikan informasi kepada kaum muslim tentang tipu daya kaum imperalis.
Melalui informaasi ini, diharapkan negar-negara islam bisa bersatu kembali dan
membentuk suatu komunitas yang kuat dan tidak mudah tercerai berai. Selain itu,
majalah ini ingin melaporkan bahwa beberpa negara eropa sejatinya telah
mengeruk keuntungan dari pertikaian dan sikap naif negara-negara islam.
Kedua,
melindungi perbatasan setiap negara islam dari serangan negara lain dan
menggunakan keseluruhan sumber mereka untuk menentang agresi.
Ketiga,
memperjuangkan kemerdekaan semua negara yang berada di bawah kolonial barat.[27]
Publikasi
ini menggoncangkan dunia Islam dan dunia Barat. Majalah ini dibinasakan oleh
penguasa-penguasa Inggris di dunia timur. Penyebarannya di Mesir dan India
dilarang. Penyebaran ini hanya mungkin dilakukan dengan mengirimkannya secara
gelap kepada pihak-pihak yang berminat. Sikap keras penguasa-penguasa Inggris
terhadap majalah itu adalah sehubungan dengan jiwa dan pemikiran yang
dikandungnya dan pemikiran yang dikandung dalam majalah itu berasal dari
Jamaluddin al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan jiwa dan pemikiran
itu adalah dari Muhammad Abduh. Tulisan-tulisan Muhammad Abduh yang mengandung
jiwa dan pemikiran Revolusioner gurunya itu membangkitkan semangat umat Islam,
baik di Negeri-negeri yang sudah jatuh di bawah kekuasaan negara-negara barat
maupun yang belum, untuk melawan kolonialisasi dan ekspansi barat. Majalah
tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan delapanbelas kali penerbitan.
Dengan terhentinya majalah perjuangan tersebut Muhammad Abduh dan Jamaluddin
al-Afghani meninggalkan Paris dan mereka berpisah L.
Jamaluddin al-Afghani pergi ke Persia dan ada yang mengatakan ke Rusia,
sedangkan Muhammad Abduh kembali ke Beirut (Libanon) tahun 1885.[28]
Di
Beirut Muhammad Abduh mengajar sambil mengarang kitab-kitab: Risalah
al-Tauhid (dalam bidang Teologi), Syarah Nahjul-Balaghah (komentar
menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib), menerjemahkan
Kitab karangan Jamaluddin al-Afghani ar-Raddu ‘Ala al-Dahriyin (bantahan
terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan) dari bahasa Persia, dan
Syarah Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamazani (Kitab yang menyangkut bahasa dan
sastra Arab).
Aktifitas
Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama
beberapa tokoh agama lain ia juga mendirikan suatu Organisasi yang bertujuan
menggalang kerukunan antarumat beragama. Organisasi ini telah membuahkan
hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang sifatnya
menonjolkan ajaran-ajaran Islam secara Objektif pada media masaa di Inggris,
padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun
oragnaisasi ini dan aktifitas-aktifitas anggotanya dinilai oleh penguasa Turki
di Beirut mempunyai tujuan-tujuan Politik, sehingga penguasa tersebut
mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad
Abduh agar ia segera kembali ke Mesir.
Maka
pada tahun 1888 Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah
Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika
itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir
agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan
dengan kebiijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada
putra-putra Mesir.[29]
Dengan
Jabatannya sebagai Hakim sudah beberapa kali Muhammad Abduh dipindahkan dari
satu daerah ke daerah lain dalam kedudukan yang sama, mulanya di Benha, lalu
dipindahkan ke Zagazig, kemudian dipindahkan lagi ke Kairo sebagai Hakim di
pengadilan Negeri Abidin.
pada
tahun 1891 Muhammad Abduh diangkat menjadi penasihat pada Mahkamah Tinggi.
Dalam dunia pengadilan, Muhammad Abduh tidak memutuskan hukum begitu saja,
tetapi ia berijtihad memahami kaidah-kaidah hukum dengan mengacu pada jiwa
kebebasan dan perdamaian, demi tegaknya kemaslahatan umum.
Dalam
putusan-putusannya, Muhammad Abduh banyak berpegang pada keadilan dan tidak
kepada teks hukum. Muhammad Abduh berpendapat bahwa dasar hukum adalah keadilan
dan tujuan hukum ialah menegakkan keadilan. Jika hukum yang ada berlawanan dengan
keadilan, Muhammad Abduh mencari penyelesaiannya dengan jalan damai. Jika
dengan itupun tidak bisa, maka Muhammad Abduh mengambil keputusan atas dasar
keadilan, meskipun keputusan itu bertentangan dengan rumusan hukum yang ada.
Selagi
menjalankan tugasnya sebagai hakim, ia berusaha dengan sunguh-sungguh membawa
perbaikan di Universitas al-Azhar yang sejak lama telah menjadi idamannya. Muhammad
Abduh ingin membawa Ilmu-ilmu Modern yang sedang berkembang di Eropa ke dalam
perguruan tinggi Islam itu. Sebagaimana dijelaskan oleh harian al-Manazhir,
tampaknya Muhammad Abduh ingin menjadikan al-Azhar serupa dengan
Universitas-Universitas yang ada di Eropa. Tetapi ternyata Muhammad Abduh
mendapat tantangan dari ulama-ulama yang berpengaruh di sana, karena menurut
mereka pengetahuan-pengetahuan Modern itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada
tanggal 15 januari 1895 atas usul Muhammad Abduh, dibentuklah Dewan al-Azhar,
yang terdiri dari ulama-ulama besar dari Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Dewan ini diketuai oleh Syaikh hasan al-Nawawi, sedangkan Muhammad
Abduh dan Syaikh Abd al-karim Sulaiman masuk menjadi anggota dewan sebagai
wakil pemerintah Mesir, Muhammad Abduhlah yang menjadi jiwa penggerak dewan
itu.[30]
Pada
tanggal 3 Juni 1899 Muhammad Abduh diserahi oleh pemerintah untuk memangku
jabatan Mufti Mesir yaitu suatu jabatan yang paling tinggi. berbeda dengan
Mufti-mufti sebelumnya, Muhammad Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya
sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemeerintah saja, tetapi ia
memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin, apa saja masalah
masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin terutama bangsa Mesir yang ada
dihadapannya, ia layani dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik,
Demikianlah Jabatan sebagai Mufti ini dipegang hingga Muhammad Abduh meninggal
dunia. Disamping itu juga Muhammad Abduh diangkat menjadi anggota Majelis
Perwakilan. Dalam bidang ini Muhammad Abduh banyak memberikan jasa-jasanya.[31]
Pada
tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide
ini mendapat tanggapan yang antusias dari pemerintah maupun masyarakat,
terbukti dengan disediakannya senidang tanah untuk maksud tersebut. Namun
sayang Universitas yang dicita-citakannya ini baru berdiri setelah Muhammad
Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi
Universitas Kairo.[32]
Dari
kegiatannya yang begitu banyak sejak Muhammad Abduh masih berada di Mesir, lalu
ke Beirut, kemudian ke Paris (Perancis) lalu kembali lagi ke Beirut, dan
akhirnya kembali ke Mesir, satu kenyataan terlihat dengan jelas bahwa bidang
pengabdian Muhammad Abduh demikian luas, meliputi bidang pendidikan,
jurnalistik, politik dan Hukum. Diantara semua bidang itu pendidikanlah yang
menjadi perhatian utamanya. Seperti dilihat setelah pulangnya dari pengasingan Muhammad
Abduh sebenarnya ingin kembali menjadi pengajar, tetapi justru ia diangkat
menjadi hakim. Di bidang hakim ini ternyata ia juga tidak melupakan tugasnya
sebagai pendidik. Segala keputusan hukum yang diambilnya bertujuan mendidik
rakyat.
Sesungguhnya
Muhammad Abduh memang bukan seorang revolusioner yang ingin melakukan perbaikan
dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang ingin melakukan perubahan dan
perbaikan melalui pendidikan, yang tentu saja memakan waktu panjang tetapi
mewujudkan dasar yang kuat. Ia pernah terlibat aktif dalam bidang politik di
mesir adalah karena pengaruh gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Dan ketika di
paris, ia juga turut dalam kegiatan politik karena pengaruh gurunya juga.
Bahkan ia datang ke paris karena dipanggil gurunya itu. Antara keduanya memang
berbeda, Jamaluddin al-Afghani menghendaki perbaikan atau pembaruan melalui
dunia politik atau pemerintahan, sedangkan Muhammad Abduh menginginkan
perbaikan itu melalui jalur pengajaran dan pendidikan. Dalam kata lain yang
satu menghendaki pembaruan umat melalui pembaruan negara, sedangkan yang
satu lagi menginginkan pembaruan negara
melalui pembaruan kualitas umat.[33]
Mengenai
kealiman Muhammad Abduh tak ada dunia yang mengelakkan, baik kawan maupun
lawan, Muhammad Abduh adalah tokoh Islam yang lengkap pengetahuannya.[34]
Pada
11 Juli 1905, pada masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh
meninggal dunia di Kairo Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat
Islam, tetapi banyak sekian tokoh Muslim yang ikut berduka.[35]
Demikianlah
selayang pandang riwayat hidup Muhammad Abduh dan Perjuangannya, seorang ulama
besar, seorang pembaharu (Mujaddid) yang penuh dedikasi, juru pengubah yang
hidup sebagai jembatan penghubung antara kemajuan abad ke-19 dengan abad ke-20
(1849-1905 M).[36]
3.
Pemikiran Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh dikenal
sebagai salah satu tokoh medernisme Islam, baik melalui karya-karya tulisannya
maupun aktifitas sosialnya. Muhammad Abduh menjadi orang yan gpaling dikenal,
paling menonjol dan dicintai di negerinya, Mesir. Wawasan modern yang dimiliki
Muhammad Abduh membuatnya dijuluki sebagai bapak Modernisme Islam yang
pengaruhnya tampak seperti tidak ada habisnya sampai detik ini.[37]
Kepandaian dan
kecerdasan Muhammad Abduh tentulah mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola
dan sistem berfikirnya yang lurus. Kepandaian dan kecerdasan seseorang pada
lazimnya membuat orang itu cenderung untuk berfikir rasional.[38]
Muhammad Abduh memberi
penghargaan yang tinggi kepada akal. Islam baginya adalah agama yang rasional.
Menurutnya wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau
pada lahirnya teks ayat bertentangan dengan pendapat akal, harus dicari
interpretasi yang membuat ayat tersebut selaras dengan pertimbangan akal. Muhammad
Abduh juga menentang sifat Jummud atau statis ummat Islam saat itu. Sifat
Jummud membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha. Muhammad Abduh menekankan
bahwa, umat Islam harus memiliki sifat dinamis.
Muhammad Abduh telah
menetapkan bahwa al-Qur’an mencakup sejarah masyarakat dan sosial masyarakat,
di dalam al-Qur’an ada hukum sunnatullah yang tidak pernah berubah sepanjang
zaman. Ini mendapat perhatian besar Muhammad Abduh, sehingga ia mengatakan
bahwa: “alam merupakan kitab (peraturan) yang diciptakan Allah swt yang dapat
menjelaskan adanya Allah, Kesempurnaan, keagungan dan keindahan Allah”.
Muhammad Abduh
mengatakan lagi: “ketahuilah bahwa Allah swt menjelaskan sebuah kitab yagn
diciptakan yaitu alam jagat raya dan sebuah kitab yang diturunkan yaitu
al-Qur’an dan semua ini memberi petunjuk kepada kita menuju jalan Ilmu
pengetahuan dengan melalui akal yang diberikan kepada kita, maka barangsiapa
taat berarti ia termasuk orang-orang yang beruntung dan barangsiapa yang
menentang (tidak taat) pada aturan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang
merugi”.
Dari
pernyataan-pernyataannya nampak sekali bahwa Muhammad Abduh yakin betul dengan
pandangannya bahwa untuk mengobati semua penyakit masyarakat tidak ada jalan
lain kecuali memahami al-Qur’an secara benar.[39]
Seorang pengamat
mengatakan bahwa apa yang diungkapkan Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya
bertujuan untuk memperkukuh segi-segi mental spritual kaum Muslimin dengan
jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran mereka pada saat-saat
perubahan sosial yang dialami oleh
masyarakat abad ke-19.
Namun apapun tujuannya Muhammad
Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh
segala yang datang dari dunia Barat. Karena di samping hal ini berarti hanya
akan mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga karena hal
tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran
dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Muhammad
Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban barat seperti
membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian,
peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam,
sesaat setelah dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[40]
Menurutnya juga Islam tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan Modern. Umat
Islam di zaman Klasik maju karena mementingkan ilmu pengethuan. Untuk itu Muhammad
Abduh mencoba memasukkan kesadaran akan pentingnya Ilmu pengetahuan kepada umat
melalui beberapa sarana antara lain:
a. Mereformasi
melalui al-Azhar. Ini karena al-Azhar merupakan pusat dan pelayanan agama bagi
umat Islam sedunia. Sehingga setelah mereka keluar dari al-Azhar maka mereka
akan menyebar ke seluruh peloksok dunia Islam dan membawa misi Islam ke seluruh
peloksok Dunia.
b. Mereformasi
akidah Islam, dengan cara memberantas penyimpangan akidah seperti tahayul dan
bid’ah. Dalam hal ini Muhammad Abduh menjelaskan kepada masyarakat dengan cara
mengajar kitab aqidah (ilmu kalam) dan tafsir al-Qur’an.
c. Mereformasi
proses belajar mengajar di sekolah-sekolah Mesir dan sekolah-sekolah islam
lainnya.
d. Mereformasi
bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an, melalui tulisan dan ceramah.
e. Muhammad
Abduh melakukan pembelaan terhadap bangsa Arab dan umat Islam, melalui
tulisannya tentang jawaban terhadap penulis Perancis bernama Hanutu ketika ia
memaparkan perbandingan antara kristen dan Islam.
f. Muhammad
Abduh melakukan reformasi politik dengan cara aktif sebagai pegawai negeri di
Majlis Syura. Ia membahas UU dan mengarahkannya kepada perbaikan umat.
Ilmu
pengetahuan modern yang banyak mendasarkan diri pada hukum alam (sunnatullah)
yang tidak bertentangan dengan Islam. Hukum alam adalah ciptaan tuhan dan wahyu
juga berasal dari Tuhan. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu
pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam dan islam yang berdasar pada
wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangaan.
Dalam
zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang di bawah naungan pemerintah
Islam yang ada pada waktu itu. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dari sebab
utama kemajuan barat sekarang. Untuk mencapai kemajuannya yang hilang, menurut Muhammad
Abduh umat Islam haruslah kembali mempelajari dan mementingkan penguasaan dan
pengembangan Ilmu pengetahuan.[41]
Ide-ide
pembaruan Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam
memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap Sunnah Allah dan fungsi akal
yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Muhammad Abduh
tentang tentang perbuatan amnusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia
adalah makluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun
kebebasan tersebut bukanlah
kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Muhammad
Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni: pertama, manusia melakukan perbuatan
dengan daya dan kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali
semua yang terjadi.
Muhammad
Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetauan yang hakiki
tentang iman. Akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh bahkan memiliki kekuatan
yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya tuhan dan
sifat-sifatnya, mengethui adanya hidup di Akhirat, mengetahui kewajiban
terhadap tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban
membuat hukum-hukum. Namun menurutnya akal masih membutuhkan wahyu sebagai
petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama,
yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat,
dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam
lingkungan sosialnya.[42]
4. Pandangan
para tokoh terhadap sosok Muhammad Abduh
B. Tafsir
al-Manar
Sebelum
kehadiran Muhammad Abduh, penafsiran al-Qur’an lebih merupakan suatu masalah
akad, tafsir-tafsir ditulis oleh para ulama untuk ulama-ulama lain. Memahami
sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detail terhadap kata-kata teknis dan
istilah tata bahasa Arab, hukum dan dogma Muslim, sunnah Nabi dan para
sahabatnya, serta biografi Nabi. Tafsir-tafsir al-Qur’an merupakan
ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut, atau lebih merupakan
kutipan-kutipan dari ensiklopedi tersebut.[43]
Diantara
beberapa tafsir yang menonjol sekarang salah satunya adalah tafsir al-Manar
karya Muhammad Abduh. Tafsir ini dianggap oleh banyak kalangan membuka jalan
bagi tafsir-tafsir lainnya. Ini dikemungkinkan karena dua hal. Pertama, karena
corak rasionalnya. Kedua, tafsir al-Manar memiliki orientasi perbaikan keadaan umat,
sesuai dengan pemikiran pembaharuan penulisnya, Muhammad Abduh dan juga Rasyid
Ridha yang juga seorang murid dan sahabatnya.
Muhammad
Abduh menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai media untuk mengarahkan umat,
mendidik generasi umat, dan menghembuskan ruh (jiwa) iman pada hati umat.
Tafsirnya adalah pembuka yang baru, metode yang dominan yang berpengaruh pada
mayoritas pelopor pembaharuan.[44]
Muhammad
Abduh mulai aktif menulis tafsir di masa akhir dari hidupnya, setelah lama
malang melintang dengan gurunya Jamaluddin al-Afghani untuk melakukan gerakan
reformasi dipentas politik.[45] Muhammad
Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada
murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya pemahaman
ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap prolematika kehidupan masa
kini. Benih-benih kebangkitan tersebut di mulai dengan gerakan Jamaluddin
al-Afghani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Muhammad Abduh memberikan
mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari
murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari
mata kuliah tersebut, paling bersemangat dan mencatatnya dengan teliti, maka
dapat dikatakan bahwa Rasyid Ridha adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Muhammad
Abduh. Buah nyata akan hal ini tampak jelas dalam tafsirnya yang diberi nama
Tafsir al-Qur’an al-Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, menisbahkan
pada majalah al-Manar yang diterbitkannya.[46]
Sebelum
ke pembahasan mengenai Tafsir al-Manar, disini penulis akan mamaparkan sedikit
mengenai riwayat hidup Rasyid Ridha.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad
Rasyid bin ‘Ali Ridha bin Muhammad al-Baghdadi al-Husaini. Ia adalah pemilik
majalah al-Manar dan salah satu tokoh pembaharu Islam. Beliau adalah seorang
penulis sekaligus ulama. Baik dibidang Hadis, sastra, sejarah maupun Tafsir. Rasyid
Ridha dilahirkan pada 1282 H/1865 M di Qulmun, masuk pemerintahan Lebanon.
Salah
satu faktor penyebab Rasyid Ridha begitu kagum dengan Muhammad Abduh adalah
karena majalah al-Urwah al-Wutsqa yang ketika itu sudah menyebar ke seluruh
penjuru dunia Islam, termasuk sampai ke tangan Rasyid Ridha. Melalui
tulisan-tulisan Muhammad Abduh dalam majalah tersebut, telah mampu mengubah
jiwa kesufian Rasyid Ridha menjadi pemuda yang penuh semangat. Kalau semula
Rasyid Ridha hanya berorientasi pada gerakan perbaikan akidah dan syariat serta
menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi melalui hidup zuhud, maka Rasyid Ridha
beralih pada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk
melaksanakan ajaran islam secara kaffah dan membela sekaligus membangun negara
dengan ilmu pengetahuan dan industri. Rasyid Ridha seakan baru menyadari, bahwa
islam bukan hanya agama ruhani dan ukhrawi
saja, melainkan juga agama jasmani, ruhani, Ukhrawi dan duniawi, yang memeberi
petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.[47]
Sejak
saat itu Rasyid Ridha berkeinginan untuk bertemu Muhammad Abduh. Awal mula
keinginan untuk menemui Muhammad Abduh
gagal, namun setelah itu Rasyid Ridha berusaha keras menjumpai Muhammad Abduh.
Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil bertemu Muhammad Abduh. Perjumpaan pertama
berlangsung tatkala Muhammad Abduh melewat ke tripoli, libanon pada tahun 1892
M. Perjumpaan kedua terjadi ketika Muhammad Abduh menjalani masa pembuangan di
beirut tahun 1894 M. Pada kesempatan itu, Rasyid Ridha menggelar dialog
langsung dengan Muhammad Abduh. Hasil dialog mengguratkan kesan mendalam dalam
dirinya.
Pada tahun 1897 M, Rasyid Ridha memutuskan
untuk pergi dan menetap di Mesir, negeri Muhammad Abduh, pasalnya ketika
mencoba menerapkan ide-ide pembaruannya di libanon, ia mendapat kecaman dan
intimidasi dari pemerintahan kerajaan Turki utsmani.[48]
Kemudian
bersama gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manar yang
merupakan transkrip dari ceramah gurunya tersebut sebanyak 34 jilid. Dari sini,
lalu tersebarlah Tafsir al-manar.[49]
1.
Gambaran umum
Tafsir al-Manar
Kitab Tafsir ini
ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam memasuki era Modern. Dalam era
ini, umat Islam tergugah untuk bangkit dalam melaksanakan reformasi,
modernisasi dan purifikasi ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad
mengalami kejumudan.[50]
Proses penyusunan
Tafsir ini bermula dari tulisan-tulisan Muhammad Abduh yang dimuat di majalah
al-‘Urwah al-Wutsqa. Lalu Rasyid Ridha berkeinginan mengedit kembali tulisan Muhammad
Abduh di majalah tersebut agar menjadi sebuah kitab tafsir. Setelah terjadi dialog
antara keduanya, lalu mulailah Muhammad Abduh mengajarkan tafsir di al-Azhar.
Pengajian tafsir tersebut berjalan secara intensif selama 6 tahun.
Rasyid Ridha menulis
apa saja yang ia dengar dari gurunya, lalu ditambah beberapa komentar, diedit
baru kemudian diterbitkan di majalah al-Manar. Namun, sebelum diterbitkan
dibaca terlebih dahulu oleh gurunya. Hal ini untuk menjaga orisinalitas
pemikiran Muhammad Abduh.[51]
Namun Tafsir ini belum
mencakup seluruh al-Qur’an dan baru sampai 12 Jilid. Muhammad Abduh baru
menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisa ayat 126.
Tafsir al-Manar ini hakikatnya adalah kuliah Tafsir yang diberikannya dan
dicatat oleh Rasyid Ridha. Karena itu selebihnya dilanjutkan oleh Rasyid Ridha
mengikuti dengan manhaj (langkah-langkah) tafsir Muhammad Abduh.[52]
Tafsir al-Manar yang
bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya: “kitab tafsir
satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal
yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariat, hukum-hukum Allah yang
berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk
seluruh manusia, disetiap tempat dan waktu serta membandingkan antara
petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin pada masa itu yang telah berpaling
dari petunjuk, serta membandingkan pula dengan keadaan para salaf yang berpegang
teguh dengan tali petunjuk Allah. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah,
sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat
dimengerti oleh orang-orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh kaum
cendekiawan”. [53]
Muhammad Abduh ingin
menjelaskan al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis,
bukan hanya untuk para ulama profesional. Masyarakat Mesir yang menurut
apologia muslim modern, kekurangan pemimpin keagamaan yang berkompeten,
menderita karena penjajahan asing (Inggris), tidak memahami ilmu-ilmu teknik
dan takhayul mendominasi kehidupan mereka. Muhammad Abduh menginginkan
pembacanya, masyarakat awam maupun para ulama menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir
tradisional, tidak akan memeberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting
yang mereka hadapi sehari-hari. Muhammad Abduh meyakinkan para ulama itu bahwa
mereka seharusnya membiarkan al-Qur’an berbicara atas namanya sendiri bukan
malah dipersulit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang
subtil.[54]
2. Sistematika
tafsir al-Manar
Sistematika tafsir
al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang lain.
Kitab Tafsir al-Manar menerapkan sistematika tertib Mushafi yaitu suatu sistem
penafsiran yang berkembang secara umum sejak periode ketiga, ketika mulai
terpisahnya disiplin tafsir dengan dengan disiplin hadis, yaitu dengan
munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut tertib
susunan mushaf al-Qur’an.
Salah satu ciri khas
dari tafsir al-Manar adalah menampilkan suatu corak penafsiran yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayt-ayatnya dalam suatu redaksi
yang indah, dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa
petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[55]
Sistem yang di anut
oleh Muhammad Abduh ialah memberi penjelasan yang jelas yang kurang diperjelas
oleh para imam Mufassirin yang sebelumnya dan meringkaskan dari orang-orang
sebelumnya yaitu yang mengenai pembahasan tentang lafadz, i’rab dan segi
balaghah. Muhammad Abduh tidak membawa ayat-ayat yang tidak bersangkutan dengan
ayat dan ia mendasarkan penjelasan-penjelasannya atau menitik beratkan
uraiannya atas uraian gurunya jamaluddin al-Afghani.[56]
3. Karakteristik
tafsir al-Manar
Muhammad Abduh dalam
menafsirkan al-Qur’an sejatinya berpegang pada prinsip-prisip berikut:
Pertama. Al-Qur’an
itu umum dan Universal. Allah swt telah menutup seluruh risalah nabi Muhammad
saw dan menutup serta menyempurnakan kitab samawi dengan al-Qur’an. makna dan
kandungan al-Qur’an bersifat Universal dan kekal sepanjang zaman. Muhammad
abduh mendalami makna ayat untuk menerapkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi
manusia. Ketika muhammad abduh menafsirkan ayat-ayat mengenai sifat-sifat
munafik pada awal surat al-Baqarah, ia menrapkan sifat-sifat ini terhadap
orang-orang munafik pada masa sekarang, sekalipun ayat itu menceritakan
orang-orang munafik di masa nabi. Menyatukan satu topik untuk satu surat dan
menghubungkan ayat satu dengan lainnnya.
Kedua, al-Qur’an
merupakan sumber pertama untuk hukum. Al-Qur’an patut didahulukan daripada
perkataan para ahli fiqih dengan madzhab-madzhabnya yang masyhur. Ini terlihat
misalnya saja dalam permasalahan boleh tidaknya tayamum bagi musafir. Muhammad
abduh dalam masalah ini hanya berpegang teguh pada al-Qur’an semata, sekalipun
ia mampu menggunakan air. Pada masa taqlid, para ahli fiqih dan para Mufassir
berpegang pada madzhab mereka masing-masing, mereka fanatik pada madzhabnya
bahkan madzhab mereka mengalahkan al-Qur’an. mereka memahami al-Qur’an
menggunakan madzhab mereka, lalu muhammad Abduh dan muridnya rasyid ridha
mengkritik tafsir yang mendahulukan pendapat madzhab daripada al-Qur’an,
keduanya menjelaskan bahwa al-Qur’an itu Imam bukan Makmum dan al-Qur’an itu
asal muasal dan selainnya harus mengikut pada yang asal ini.
Ketiga, memerangi
Taqlid dan Jummud. Muhammad abduh menyerukan kembali kepada pemahaman kaum
muslimin awal terhadap al-Qur’an. karena ayat-ayat al-Qur’an menjamin untuk
mengajak menggunakan akal dan pemikiran dan menganjurkan kepada manusia untuk
menelaah, meneliti, meninjau dan menyimpulkan. Muhammad abduh mengajak kaum
muslimin untuk berijtihad dan mengajak untuk membuka pintu ijtihad dan
memerangi kekaburan yang tersebar di antara manusia yang mengatakan bahwa pintu
ijtihad itu telah tertutup sejak lama.
Keempat, melaksanakan
teori dan pemikiran serta menggunakan metode ilmiah dalam pembahasan dan
istinbath hukum. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip terdahulu, jika
meninggalkan taqlid merupakan prinsip dasar yang bersifat mengeasikan
(menyangkal), maka teori, menganalisa, meneliti dan menyimpulkan merupakan
prinsip dasar yang positif bersifat mengkonstruksikan (membangun). Ini karena
al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang mengajak manusia untuk meneliti di alam
jagat raya, memperhatikan tanda-tanda dan keajaiban alam ini, bahkan al-Qur’an
menganggap alam ini merupakan kitab yang terbuka yang wajib bagi setiap manusia
untuk memperhatikan keajaiban dan hukum-hukum alam.[57]
Kelima, berpegang
pada akal untuk menafsirkan hal luar biasa dengan pendekatan hal yang biasa
(yang masuk akal). Muhammad abduh menafsirkan sebagian ayat-ayat dan mukjizat
dengan mengkompromikan satu sama lain. Sehingga menundukkan mukjizat dengan
hukum kausalitas (sebab dan akibat), karena menurutnya hukum kausalitas
termasuk pada lingkup mukjizat.[58]
Keenam, tidak
mendalami dalam menentukan hal yang masih kabur dalam al-Qur’an. al-Qur’an
merupakan kitab petunjuk, yang menyebutkan berita, kejadian dan keadaan
orang-orang terdahulu atau cerita tentang jalan, timbangan, surga dan neraka.
Muhammad abduh tidak mau menafsirkan lebih detail, muhammad abduh dalam
menafsirkan hal-hal yang gaib, sejalan dengan pendapat salaf, dimana kita harus
beriman kepadanya.
Ketujuh, mengecam
Israiliyat. Menurut Muhammad abduh al-Qur’an adalah kitab bahasa arab yang
sempurna, tidak perlu penjelasan dan tidak perlu penafsiran yang merujuk kepada
Israiliyat yang belum tentu benar dan salahnya.[59]
Kedelapan, merelevansikan penafsiran al-Qur’an sesuai
kebutuhan masyarakat. Salah satu orientasi Muhammad Abduh dalam tafsirnya
adalah pada masalah sosial kemayarakatan, maka penafsirannya lebih
dititikberatkan kepada kolerasi al-Qur’an dengan kebutuhan masyarakat. Muhammad
Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan, kedangkalan pengetahuan
akibat sikap taklid dan pengabaian potensi akal. Karena itu dalam menafsirkan
al-Qur’an selalu dikaitkan dengan problematika masyarakat untuk bangkit menuju
arah kemajuan, peradaban dan pencerdasan umat.[60]
4. Metode
Tafsir al-Manar
Menurut Muhammad Abduh
tafsir adalah metode pendekatan yang digunakan untuk pencapaian maksud, bukan
akhir sebuah tujuan. Tafsir harus dapat menjadi media dakwah perbaikan sosial
dan pemurnian agama dari bid’ah, keragu-raguan dan khurafat sehingga al-Qur’an
dapat dipahami secara utuh sebagai petunjuk menggapai kebahagiaan dunia dan
Akhirat.[61]
Dalam menafsirkan
al-Qur’an, Muhammad Abduh yang menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan masyarakat dan sebagai
media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan khurafat, menempuh
metode tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli
tafsir kalangan al-Salah al-Shalih (kaum salaf yang salih). Muhammad Abduh
menafsirkan al-Qur’an justru pada waktu umat islam tidak secara serius lagi
berhukum dengan hukum-hukum al-Qur’an. dan tafsir bagi Muhammad Abduh merupakan
alat untuk upaya perbaikan masyarakat Islam.
Muhammad Abduh dalam
memahami nash-nash agama, disebut-sebut sebagai pengikut kaum salaf sebelum
timbulnya perselisihan pendapat ulama. Akan tetapi kesalafan Muhammad Abduh
kelihatan tidak mutlak seratus persen atau sepenuhnya, melainkan terbatas pada
hal-hal tertentu saja.
Muhammad Abduh
menegaskan mengenai tafsirnya, bahwa dalam soal akidah ia menuruti jalan salaf,
yaitu menyerahkan penafsirannya kepada ilmu Allah dan tidak mentakwilkannya. Ringkasnya
Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat akidah mengambil jalan yang dilalui
oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Dalam menghadapi ayat-ayat lain, Muhammad
Abduh menggunakan ijtihad yang bebas. Disinilah letaknya perbedaan antara
Muhammad Abduh dengan Mufassirin Naqliyyin yang lain.[62]
Dari penafsirannya terhadap
al-Qur’an, Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori
perkembangan tafsir yang bercorak al-adabi al-ijtimali atau tafsir yang
berorientasi pada sastra, budaya dan kemayarakatan.[63]
Bentuk usaha reformasi kemasyarakatan
yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas memperbaiki sistem
pendidikan, tetapi juga dalam bidang yang lain. Salah satu diantaranya adalah
dalam bidang tafsir. Metode penafsiran yang dilakukannya tidak lagi menampilkan
kebiasaan lama untuk mengalihkan manusia dari petunjuk al-Qur’an. melainkan
menampilkan corak lain yang berorientasi kepada corak baru yaitu suatu tafsir
yang menitik beratkan pada penjelasan teks-teks al-Qur’an dari segi ketelitian
redaksinya, lalu membentuk suatu pengertian yang menjadi tujuan pokoknya dan
dikaitkan pada persoalan-persoalan kehidupan kemasyarakatan.
Rasyid Ridha menyebutkan tiga ciri
metode penafsiran Muhammad Abduh yaitu: pertama, memberi tambahan keterangan
terhadap ayat yang berkonotasi kurang jelas atau menjelaskan keterangan yang sengaja
diringkas oleh mufassir-mufassir sebelumnya. Kedua, menghindari terjebak pada
penjelasann kaidah-kaidah kebahasaan seperti Nahwu, Sharaf dan Balaghah, tetapi
hanya memberi penjelasan seperlunya saja. Ketiga, tidak tekstual dalam memahami
ayat.[64]
Dalam
menonjolkan ketelitian redaksi ayat al-Qur’an, Muhammad Abduh berpendapat
antara lain bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur’an tersusun secara serasi
dan harmonis. Tidak ada satu kalimatpun dalam al-Qur’an yang dikedepankan atau
dibelakangkan untuk tujuan fashilah seperti yang terjadi dalam sajak dan syair.
Adanya fashilah dalam syair adalah karena keterpaksaan dengan maksud demi
pengaturan sajak dan qafiyah. Sedangkan al-Qur’an menurut Muhammad Abduh
bukanlah kitab syair, ia adalah kitab yang bersumber dari Tuhan yang maha kuasa
atas segala sesuatu dan dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada
tempatnya secara serasi. Maka, tidak ada kata dalam kitab suci al-Qur’an yang
diletakkan hanya karena keterpaksaan.
Selain
itu penafsiran al-Qur’an dengan rumusan redaksi yang indah dan menarik,
merupakan ciri yang khas dari tafsir al-Adabi al-Ijtimali. Menurut Muhammad
Abduh Pengungkapan tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik itu tiada lain
untuk menarik jiwa manusia dan menuntun untuk giat beramal serta melaksanakan
petunjuk al-Qur’an, agar maksud al-Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat dapat
tercapai dengan baik. Sedangkan upaya Muhammad Abduh menghubungkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat, dimaksudkan agar
tafsir dapat diterima masyarakat dengan mudah, mengingat adanya keterkaitan
antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dengan kenyataan-kenyataan
atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka. Dengan kata lain, masyarakat akan
lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an apabila
dalam menafsirkan pesan-pesan itu, mufassir menghubungkannya dengan
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarkat.[65]
[1] Anshori,
Tafsir bi al-Ra’yi ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2010) cet I, hlm 106
[2] Muhammad
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994) cet I, hlm 17
[3] Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi
al-Qur’an, 2013) cet I, hlm 151
[4] Muhammad
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994) cet I, hlm 11-12
[5] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002) cet I, hlm 21-22
[6] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992)
cet VII, hlm vii
[7] Muhammad
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar hlm 12
[8] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 43-44
[9] Muhammad
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 12
[10] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 22
[11]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 13
[12] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 23
[13]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 13
[14] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 23
[15] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 25
[16] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm vii
[17]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 14
[18] Herry
Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 (Depok: Gema
Insani, 2006) cet I, hlm 227
[19] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm vii-viii
[20] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 27
[21]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 15
[22] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm viii
[23] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 27-28
[24]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 15
[25] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 28-29
[26] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm ix
[27] Syaiful
amin ghofur, profil para mufassir al-qur’an (yogyakarta: pustaka insan madani,
2008) cet I, hlm 147
[28] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 30
[29]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 16
[30] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 33-34
[31] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xi
[32]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 16-17
[33] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 36-37
[34] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xii
[35]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 17
[36] Syaikh
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xii-xiii
[37] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar (jakarta:
el-Kahfi, 2012) cet I, hlm 70
[38] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 46
[39]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 123-124
[40]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 19-20
[41]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 127-128
[42] Herry
Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 hlm 228
[43] J.J.G.
Janser, Diskursus Tafsir al-Qur’an ModernTerj (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 1997) cet I, hlm 27-28
[44]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 106-107
[45] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 66-67
[46] Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2007) hlm 511-512 cet 10
[47] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar ,
hlm 65
[48] Syaiful
amin ghofur, profil para mufassir al-qur’an hlm 148
[49] Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir hlm 152
[50] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
57
[51] Husnul
Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir hlm 153
[52]
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 108
[53] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
57-58
[54] J.J.G.
Janser, Diskursus Tafsir al-Qur’an ModernTerj hlm 28-29
[55] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
58
[56] Teungku
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2009) cet I, hlm 206
[57]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 108-112
[58]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 114
[59]
Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 115-116
[60] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
79
[61] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
69
[62] Teungku
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir hlm
[63] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 109-110
[64] Kholid
Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm
69-70
[65] Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat, hlm 111-112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar