Sabtu, 02 Juli 2016

MUHAMMAD ABDUH DAN TAFSIR AL-MANAR

A.    Riwayat hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan pembaharuan Islam di masanya. Muhammad Abduh yakin sekali bahwa pendidikan yang benar, perbaikan urusan umat, pembentukan Akhlak umat, mendidik generasi umat, memerangi kerusakan di tubuh umat merupakan jaminan untuk menjadikan negara dan Masyarakat Muslim menjadi lebih baik.[1]
Muhammad Abduh digambarkan dalam sejarah hidupnya seperti selayang pandang di muka, dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup dalam suatu masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar di eropa. Sayyid Quthb memberikan gambaran singkat dan tepat menyangkut masyarakat tersebut yakni suatu masyarakat yang beku, kaku, dan menutup rapat-rapat pintu Ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau mengistinbathkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (Jumud) serta yang berlandaskan khurafat. Sementara itu di eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan Ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu, ditambah lagi kecaman-kecaman tajam yang dilontarkan oleh Orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.[2]  Berikut Riwayat Hidup mengenai sosok Muhammad Abduh.
1.      Profil Muhammad Abduh
Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah al-Turkmani.[3] Ia dilahirkan di desa  Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan  bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Muhammad Abduh berkata: “saya tadinya beranggapan bahwa ayahku adalah manusia termulia di kampung saya. Lebih jauh, beliau saya anggap manusia yang termulia di dunia ini, karena ketika itu saya mengira bahwa dunia ini tiada lain kecuali kampung Mahallat Nashr. Pada saat itu para pejabat yang berkunjung ke desa Mahallat Nashr lebih sering mendatangi dan menginap di rumah kami daripada di rumah kepala desa, walaupun kepala desa lebih kaya dan mempunyai banyak rumah sertan tanah. Hal ini menimbulkan kesan yang dalam atas diri saya bahwa kehormatan dan ketinggian derajat bukan ditentukan oleh harta atau banyaknya uang. Saya juga menyadari sejak kecil betapa teguhnya ayahku dalam pendirian dan tekad serta keras dalam perilaku terhadap musuh-musuhnya. Semua itulah yang kutiru dan kuambil, kecuali kekerasannya.[4]
Ayahnya Muhammad Abduh pernah dituduh menentang pemerintahan Muhammad Ali. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh. Ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr, sedangkan ibunya yang berasal dari desa Hashat Syabsir di al-Gharibiah.[5] Ayahnya mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khathab,Khalifah yang kedua.[6]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluraga petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian. Kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga  karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya.
Hal terssebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk dan juga dengan dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada tahun 1865 M, pada waktu itu Muhammad Abduh berusia 16 tahun.[7]
Dalam kepribadiannya Muhammad Abduh dikenal sebagai orang yang berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran yang ia yakini. Kejujuran yang ia miliki tampaknya terbina dengan baik dalam jiwanya yang berani. Di samping kejujuran dan keberaniannya, Muhammad Abduh juga merupakan orang yang memiliki semangat tinggi dalam menempuh kehidupan, terutama dalam studi dan pelaksanaan ibadatnya kepada Tuhan. Muhammad Abduh juga diketahui sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab yang besar. Bebarengan dengan pemampilan hidupnya yang memiliki rasa tanggung jawab besar, tokoh pembaruan Islam ini tampaknya juga pandai bergaul, dalam kata lain yaitu supel dan aktif berhubungan dengan orang lain.[8]
2.      Pendidikan dan Perjuangan Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari Tajwid al-Qur’an. namun sistem pengajaran di sana dirasakannya sangat menjengkelkan.[9] menurut pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu atau Fiqih yang tidak dimengerti arti-artinya. Mereka seakan tidak peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang arti istilah-istilah itu.[10] sehingga setelah dua tahun di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya, waktu kembali ke desa inilah ia dinikahkan.
Walaupun sudah menikah, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf al-Syadziliah.[11] Seorang Alim yang banyak mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu Agama Islam. Darwisy Khidr juga pernah belajar ilmu Tarekat kepada Sayyid Muhammad al-Madini.[12] Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci Ilmu Pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya. Bahkan Muhammad Abduh menceritakan pengalamannya “Tidaklah berlalu lima hari dari masa pertemuan itu, kecuali apa yang tadinya paling kusenangi seperti bermain, bercanda, dan berbangga-bangga, telah berubah menjadi hal-hal yang paling kubenci.”
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda dibanding sewaktu pertama kali ke sana.[13] Sekarang ia telah mengerti, baik pelajaran yang diberikan oleh guru maupun pelajaran/buku yang dibacanya sendiri, karena tampak menonjol, Muhammad Abduh selalu dikerumuni teman-teman sepelajaran dan menjadi tempat mereka bertanya. Suatu ketika ia mendengar dari seorang teman secara tidak langsung, bahwa prestasi keilmuannya akan semakin meningkat apabila ia mau meninggalkan Thantha dan pergi ke Kairo untuk meneruskan pelajaran di al-Azhar.[14]
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khidr.
Dari Thantha Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar yaitu pada bulan Februari 1866. Namun sistem pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Muhammad Abduh: “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan,” namun demikian di perguruan tinggi ini ia sempat berkenalan dengan banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
a.       Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu.
b.      Muhammad al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan memperaktikannya.
Muhammad Abduh sempat dipanggil menghadap Syaikh ‘Alaisy karena ketertarikannya pada teologi Mu’tazilah. Ketika ditanya apakah benar ia telah condong memilih aliran Mu’tazilah dan meninggalkan aliran Asy’ariyah, Muhammad Abduh dengan tegas menjawab, “jika saya tidak bertaklid pada Asy’ari, mengapa saya mesti bertaklid pada Mu’tazilah. Saya tidak mau bertaklid kepada siapapun. Yang saya utamakan adalah argumentasi yang kuat”. Jawaban yang menunjukan bahwa Muhammad Abduh bukan saja tidak mengikatkan dirinya pada suatu aliran manapun, tetapi juga sejak menjadi mahasisiwa ia telah mampu menunjukan sikapnya yang kritis dan menentang taklid. Dengan sikap kritis itulah Muhammad Abduh menjalani studi di al-Azhar. Tidak kurang dari sebelas tahun lamanya ia habiskan untuk studi di perguruan tinggi Islam ini[15]
Pada 1871, Jamaludin al-Afghani tiba di Mesir. Jamaludin al-Afghani terkenal dalam dunia Islam sebgai Mujahid (Pejuang), Mujaddid (Pembaharu, reformer) dan ulama yang sangat alim. Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa al-Azhar.[16]  Kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan Ilmiah yang diadakan oleh al- Afghani. Hubungan keduanya memungkinkan Jamaludin al-Afgahani megalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari Tasawuf dalam arti yang sempit dan dalam bentuk tata cara berpakaian dan dzikir, kepada Tasawuf dalam arti yang lain yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam. Hal ini dilakukan melalui pemahaman ajaran-ajaran lawan dan membantahnya sambil mempelajari faktor-faktor yang menjadikan dunia barat mecapai kemajuan, guna diterapkan dalam masyarakat Islam selama faktor-faktor tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.[17] Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin al-Afghani, bagi Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di hadapannya. Beserta masalah yang dihadapinya di zaman Modern.[18]
Selain Muhammad Abduh, banyak mahasiswa-mahasiswa al-Azhar lainnya yang ditarik oleh Muhammad Abduh untung ikut belajar kepada Jamaluddin al-Afghani. Selain belajar tentang imu-ilmu agama, meraka juga belajar tentang pengetahuan-pengetahuan Modern, Filsafat, Sejarah, Hukum dan tata kenegaraan dan lain-lain. Satu hal yang istimewa yang diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani kepada mereka, yaitu semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus mata rantai kekolotan dan cara-cara berpikir yang fanatik  dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju. Udara baru yang ditiupkan oleh Jamaluddin al-Afghani berkembang dengan pesat sekali di Mesir, terutama di kalangan mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[19]
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaludin al-Afgahani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Muhammad Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Rislah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal ad-Dawwani lil-Aqaid al-Adhudiyah (1875). Dalam karangannya ini Muhammad Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang  aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu Muhammad Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar al-Ahram, surat kabar yang mulai terbit pada tahun 1876. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab, karang-mengarang, Politik, agama dan sebagainya.[20] Melalui media ini  gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian mereka tidak menyetujuinya. Namun, berkat kemampuan Ilmiahnya serta pembelaan Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, yang ketika itu menduduki jabatan Syaikh al-Azhar, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, ketika itu dalam usia 28 tahun (1877 M).
Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang L.C), Muhammad Abduh mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (logika) dan ilmu al-Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawih serta Sejarah Peradaban Kerajaan-Kerajaan Eropa.
Pada 1878 Muhammad Abduh diangkat sebagai pengajar “Sejarah” pada sekolah Dar al-‘Ulum (yang kemudian menjadi Fakultas) serta ilmu-ilmu Bahasa Arab pada Madrasah al-Idarah wal-Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-Bahasa).[21]
Di dalam memangku jabatan gurunya itu, Muhammad Abduh terus mengadakan perubahan-perubahan sesuai dengan cita-citanya yaitu memasukkan udara baru yang segar ke dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman. Tidak hanya itu Muhammad Abduh juga mengkritik politik pemerintah pada umumnya, yang menyebabkan para mahasisiwa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup. Sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajahan asing.[22]
Di samping kegiatan mengajar dan karang mengarang Muhammad Abduh atas pengaruh gurunya Jamluddin al-Afghani, juga terlibat dalam kegiatan politik praktis. Akibat pinjam-pinjaman yang dilakukan oleh penguasa Mesir waktu itu, Khedevi Ismail pada Inggris dan Perancis untuk kepentingan melanjutkan gerakan pembaruan yang telah dirintis Muhammad Ali, terutama untuk mengubah Kairo dan Iskandaria menjadi kota-kota bermodel Eropa, kedua negara barat yang berwatak Kolonialis itu mulai ikut campur dalam soal pemerintahan Mesir. Gejala yang tidak baik ini di tentang oleh Jamaluddin al-Afghani, ia mencoba bangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang telah mulai ditanamkan oleh al-Tahthawi sebelumnya. Selanjutnya Jamaluddin al-Afghani membentuk pula al-Hizb al-Wathani, partai Nasional Mesir. Pandangan-pandangan dan gerakan politik Gurunya itu diuraikan Muhammad Abduh dalam kuliah-kuliah dan tulisan-tulisannya di surat kabar.
Karena telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, Khedevi Ismail menjadi lawan dari gerakan Nasionalis Mesir. Dalam pertarungan politik Khedevi Ismail terpaksa mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Khedevi Taufiq.[23]
Supaya tidak mengalami nasib seperti yang dialami orang tuanya, penguasa baru ini mengusir Jamaluddin al-Afghani pada tahun 1879 M atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir. Sedangkan Muhammad Abduh pada tahun yang sama diberhentikan dari kedua sekolah yang telah disebutkan sebelumnya dan di asingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir). Tetapi dengan terjadinya perubahan kabinet pada 1880, Muhammad Abduh dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah yaitu al-Waqa’i al-Mishriyah lembaran resmi Negara yang telah dimulai penerbitannya pada zaman Muhammad Ali dengan al-Tahtawi sebagai pemimpin redaksinya. Surat kabar ini oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawannya yang juga murid dari Jamaluddin al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.[24]
Kendatipun jamaluddin al-Afghani telah meninggalkan Mesir, namun jiwa Nasionalisme yang dibangkitkannya terus berkoar di negeri Piramid itu. Timbullah protes di bawah pimpinan Ahmad Urabi Pasya, berkenaan dengan politik rasialisme yang dijalankan penguasa Mesir. Di dalam angkatan bersenjata, perwira-perwira yang berasal dari Turki dan Syarkas justru menduduki posisi-posisi penting, sedangkan perwira-perwira yang berasal dari Mesir, seperti Ahmad Urabi Pasya, diberi kedudukan rendah. Gerakan itu selanjutnya menuntut diwujudkannya pemerintahan yang demokratis dan Mesir harus berparlemen. Akhirnya gerakan itu mengambil bentuk perlawanan terhadap keterlibatan Inggris dan Perancis dalam pemerintahan Mesir. Maka pada tahun 1882 timbullah apa yang dikenal dengan pemberontakan Urabi (al-Tsawrat al-Urabiyah).
Muhammad Abduh sendiri, sungguhpun ia termasuk dalam golongan Nasionalis, pada dasarnya tidak setuju dengan politik Urabi Pasya dalam menentang penguasa dan menuntut diadakannya parlemen. Menurut Muhammad Abduh, rakyat Mesir belum matang untuk kehidupan berparlemen. Oleh karena itu, yang diperlukan Mesir pada waktu itu bukanlah Parlemen, tetapi pendidikan yang baik, yang dapat mencerdaskan rakyat. Untuk kehidupan berparlemen, rakyat harus dicerdaskan terlebih dahulu, menurut pendapatnya pula bahwa menuntut parlemen dengan menggunakan kekuasaan militer merupakan langkah yang tidak tepat sama sekali. Pemberontakan tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak menguntungkan Mesir, bahkan itu justru akan mengundang negara asing menduduki Negeri piramid itu.[25]
Setelah Revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih memimpin surat kabar al-Waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingannya. Untuk itu Muhammad Abduh memilih Suriah.
Di negara tersebut Muhammad Abduh menetap selama setahun, hingga kemudian Muhammad Abduh dipanggil Jamaluddin al-Afghani supaya datang ke Paris untuk membentuk gerakan bawah tanah yang kemudian diberi nama Jama’at al-‘Urwat al-Wutsqa. Walaupun Muhammad Abduh berada dalam masa pembuangan yang jauh dari tanah airnya, namun semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala-nyala. Saat itu Muhammad Abduh memandangnya sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya, karena saat itu Muhammad Abduh berdakwah dalam alam cakrawala dunia Internasional yang lebih luas dan lebih besar, Muhammad Abduh berada di kota Paris yang terkenal sebagai kota sentral peradaban dan kebudayaan Eropa itu.[26]
 Gerakan Jama’at al-‘Urwat al-Wutsqa diketuai sendiri oleh Jamaluddin al-Afghani dengan wakilnya Muhammad Abduh. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menerbitkan majalah yang juga diberi nama al-Urwat al-Wutsqa’. Tujuan pokok majalah al-urwah al-wusqa sebagaimana ditulis muhammad iqbal dalam misi islam, adalah:
Pertama, menyampaikan informasi kepada kaum muslim tentang tipu daya kaum imperalis. Melalui informaasi ini, diharapkan negar-negara islam bisa bersatu kembali dan membentuk suatu komunitas yang kuat dan tidak mudah tercerai berai. Selain itu, majalah ini ingin melaporkan bahwa beberpa negara eropa sejatinya telah mengeruk keuntungan dari pertikaian dan sikap naif negara-negara islam.
Kedua, melindungi perbatasan setiap negara islam dari serangan negara lain dan menggunakan keseluruhan sumber mereka untuk menentang agresi.
Ketiga, memperjuangkan kemerdekaan semua negara yang berada di bawah kolonial barat.[27]
Publikasi ini menggoncangkan dunia Islam dan dunia Barat. Majalah ini dibinasakan oleh penguasa-penguasa Inggris di dunia timur. Penyebarannya di Mesir dan India dilarang. Penyebaran ini hanya mungkin dilakukan dengan mengirimkannya secara gelap kepada pihak-pihak yang berminat. Sikap keras penguasa-penguasa Inggris terhadap majalah itu adalah sehubungan dengan jiwa dan pemikiran yang dikandungnya dan pemikiran yang dikandung dalam majalah itu berasal dari Jamaluddin al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan jiwa dan pemikiran itu adalah dari Muhammad Abduh. Tulisan-tulisan Muhammad Abduh yang mengandung jiwa dan pemikiran Revolusioner gurunya itu membangkitkan semangat umat Islam, baik di Negeri-negeri yang sudah jatuh di bawah kekuasaan negara-negara barat maupun yang belum, untuk melawan kolonialisasi dan ekspansi barat. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan delapanbelas kali penerbitan. Dengan terhentinya majalah perjuangan tersebut Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani meninggalkan Paris dan mereka berpisah L. Jamaluddin al-Afghani pergi ke Persia dan ada yang mengatakan ke Rusia, sedangkan Muhammad Abduh kembali ke Beirut (Libanon) tahun 1885.[28]
Di Beirut Muhammad Abduh mengajar sambil mengarang kitab-kitab: Risalah al-Tauhid (dalam bidang Teologi), Syarah Nahjul-Balaghah (komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib), menerjemahkan Kitab karangan Jamaluddin al-Afghani ar-Raddu ‘Ala al-Dahriyin (bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan) dari bahasa Persia, dan Syarah Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamazani (Kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
Aktifitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain ia juga mendirikan suatu Organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antarumat beragama. Organisasi ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang sifatnya menonjolkan ajaran-ajaran Islam secara Objektif pada media masaa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun oragnaisasi ini dan aktifitas-aktifitas anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan Politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh agar ia segera kembali ke Mesir.
Maka pada tahun 1888 Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebiijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putra-putra Mesir.[29]
Dengan Jabatannya sebagai Hakim sudah beberapa kali Muhammad Abduh dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain dalam kedudukan yang sama, mulanya di Benha, lalu dipindahkan ke Zagazig, kemudian dipindahkan lagi ke Kairo sebagai Hakim di pengadilan Negeri Abidin.
pada tahun 1891 Muhammad Abduh diangkat menjadi penasihat pada Mahkamah Tinggi. Dalam dunia pengadilan, Muhammad Abduh tidak memutuskan hukum begitu saja, tetapi ia berijtihad memahami kaidah-kaidah hukum dengan mengacu pada jiwa kebebasan dan perdamaian, demi tegaknya kemaslahatan umum.
Dalam putusan-putusannya, Muhammad Abduh banyak berpegang pada keadilan dan tidak kepada teks hukum. Muhammad Abduh berpendapat bahwa dasar hukum adalah keadilan dan tujuan hukum ialah menegakkan keadilan. Jika hukum yang ada berlawanan dengan keadilan, Muhammad Abduh mencari penyelesaiannya dengan jalan damai. Jika dengan itupun tidak bisa, maka Muhammad Abduh mengambil keputusan atas dasar keadilan, meskipun keputusan itu bertentangan dengan rumusan hukum yang ada.
Selagi menjalankan tugasnya sebagai hakim, ia berusaha dengan sunguh-sungguh membawa perbaikan di Universitas al-Azhar yang sejak lama telah menjadi idamannya. Muhammad Abduh ingin membawa Ilmu-ilmu Modern yang sedang berkembang di Eropa ke dalam perguruan tinggi Islam itu. Sebagaimana dijelaskan oleh harian al-Manazhir, tampaknya Muhammad Abduh ingin menjadikan al-Azhar serupa dengan Universitas-Universitas yang ada di Eropa. Tetapi ternyata Muhammad Abduh mendapat tantangan dari ulama-ulama yang berpengaruh di sana, karena menurut mereka pengetahuan-pengetahuan Modern itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada tanggal 15 januari 1895 atas usul Muhammad Abduh, dibentuklah Dewan al-Azhar, yang terdiri dari ulama-ulama besar dari Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dewan ini diketuai oleh Syaikh hasan al-Nawawi, sedangkan Muhammad Abduh dan Syaikh Abd al-karim Sulaiman masuk menjadi anggota dewan sebagai wakil pemerintah Mesir, Muhammad Abduhlah yang menjadi jiwa penggerak dewan itu.[30]
Pada tanggal 3 Juni 1899 Muhammad Abduh diserahi oleh pemerintah untuk memangku jabatan Mufti Mesir yaitu suatu jabatan yang paling tinggi. berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Muhammad Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemeerintah saja, tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin, apa saja masalah masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin terutama bangsa Mesir yang ada dihadapannya, ia layani dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik, Demikianlah Jabatan sebagai Mufti ini dipegang hingga Muhammad Abduh meninggal dunia. Disamping itu juga Muhammad Abduh diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan. Dalam bidang ini Muhammad Abduh banyak memberikan jasa-jasanya.[31]
Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan yang antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya senidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang Universitas yang dicita-citakannya ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi Universitas Kairo.[32]
Dari kegiatannya yang begitu banyak sejak Muhammad Abduh masih berada di Mesir, lalu ke Beirut, kemudian ke Paris (Perancis) lalu kembali lagi ke Beirut, dan akhirnya kembali ke Mesir, satu kenyataan terlihat dengan jelas bahwa bidang pengabdian Muhammad Abduh demikian luas, meliputi bidang pendidikan, jurnalistik, politik dan Hukum. Diantara semua bidang itu pendidikanlah yang menjadi perhatian utamanya. Seperti dilihat setelah pulangnya dari pengasingan Muhammad Abduh sebenarnya ingin kembali menjadi pengajar, tetapi justru ia diangkat menjadi hakim. Di bidang hakim ini ternyata ia juga tidak melupakan tugasnya sebagai pendidik. Segala keputusan hukum yang diambilnya bertujuan mendidik rakyat.
Sesungguhnya Muhammad Abduh memang bukan seorang revolusioner yang ingin melakukan perbaikan dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang ingin melakukan perubahan dan perbaikan melalui pendidikan, yang tentu saja memakan waktu panjang tetapi mewujudkan dasar yang kuat. Ia pernah terlibat aktif dalam bidang politik di mesir adalah karena pengaruh gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Dan ketika di paris, ia juga turut dalam kegiatan politik karena pengaruh gurunya juga. Bahkan ia datang ke paris karena dipanggil gurunya itu. Antara keduanya memang berbeda, Jamaluddin al-Afghani menghendaki perbaikan atau pembaruan melalui dunia politik atau pemerintahan, sedangkan Muhammad Abduh menginginkan perbaikan itu melalui jalur pengajaran dan pendidikan. Dalam kata lain yang satu menghendaki pembaruan umat melalui pembaruan negara, sedangkan yang satu  lagi menginginkan pembaruan negara melalui pembaruan kualitas umat.[33]
Mengenai kealiman Muhammad Abduh tak ada dunia yang mengelakkan, baik kawan maupun lawan, Muhammad Abduh adalah tokoh Islam yang lengkap pengetahuannya.[34]
Pada 11 Juli 1905, pada masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi banyak sekian tokoh Muslim yang ikut berduka.[35]
Demikianlah selayang pandang riwayat hidup Muhammad Abduh dan Perjuangannya, seorang ulama besar, seorang pembaharu (Mujaddid) yang penuh dedikasi, juru pengubah yang hidup sebagai jembatan penghubung antara kemajuan abad ke-19 dengan abad ke-20 (1849-1905 M).[36]
3.        Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dikenal sebagai salah satu tokoh medernisme Islam, baik melalui karya-karya tulisannya maupun aktifitas sosialnya. Muhammad Abduh menjadi orang yan gpaling dikenal, paling menonjol dan dicintai di negerinya, Mesir. Wawasan modern yang dimiliki Muhammad Abduh membuatnya dijuluki sebagai bapak Modernisme Islam yang pengaruhnya tampak seperti tidak ada habisnya sampai detik ini.[37]
Kepandaian dan kecerdasan Muhammad Abduh tentulah mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola dan sistem berfikirnya yang lurus. Kepandaian dan kecerdasan seseorang pada lazimnya membuat orang itu cenderung untuk berfikir rasional.[38]
Muhammad Abduh memberi penghargaan yang tinggi kepada akal. Islam baginya adalah agama yang rasional. Menurutnya wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau pada lahirnya teks ayat bertentangan dengan pendapat akal, harus dicari interpretasi yang membuat ayat tersebut selaras dengan pertimbangan akal. Muhammad Abduh juga menentang sifat Jummud atau statis ummat Islam saat itu. Sifat Jummud membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha. Muhammad Abduh menekankan bahwa, umat Islam harus memiliki sifat dinamis.
Muhammad Abduh telah menetapkan bahwa al-Qur’an mencakup sejarah masyarakat dan sosial masyarakat, di dalam al-Qur’an ada hukum sunnatullah yang tidak pernah berubah sepanjang zaman. Ini mendapat perhatian besar Muhammad Abduh, sehingga ia mengatakan bahwa: “alam merupakan kitab (peraturan) yang diciptakan Allah swt yang dapat menjelaskan adanya Allah, Kesempurnaan, keagungan dan keindahan Allah”.
Muhammad Abduh mengatakan lagi: “ketahuilah bahwa Allah swt menjelaskan sebuah kitab yagn diciptakan yaitu alam jagat raya dan sebuah kitab yang diturunkan yaitu al-Qur’an dan semua ini memberi petunjuk kepada kita menuju jalan Ilmu pengetahuan dengan melalui akal yang diberikan kepada kita, maka barangsiapa taat berarti ia termasuk orang-orang yang beruntung dan barangsiapa yang menentang (tidak taat) pada aturan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang merugi”.
Dari pernyataan-pernyataannya nampak sekali bahwa Muhammad Abduh yakin betul dengan pandangannya bahwa untuk mengobati semua penyakit masyarakat tidak ada jalan lain kecuali memahami al-Qur’an secara benar.[39]
Seorang pengamat mengatakan bahwa apa yang diungkapkan Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memperkukuh segi-segi mental spritual kaum Muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran mereka pada saat-saat perubahan sosial yang dialami oleh  masyarakat abad ke-19.
Namun apapun tujuannya Muhammad Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena di samping hal ini berarti hanya akan mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Muhammad Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban barat seperti membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[40] Menurutnya juga Islam tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan Modern. Umat Islam di zaman Klasik maju karena mementingkan ilmu pengethuan. Untuk itu Muhammad Abduh mencoba memasukkan kesadaran akan pentingnya Ilmu pengetahuan kepada umat melalui beberapa sarana antara lain:
a.       Mereformasi melalui al-Azhar. Ini karena al-Azhar merupakan pusat dan pelayanan agama bagi umat Islam sedunia. Sehingga setelah mereka keluar dari al-Azhar maka mereka akan menyebar ke seluruh peloksok dunia Islam dan membawa misi Islam ke seluruh peloksok Dunia.
b.      Mereformasi akidah Islam, dengan cara memberantas penyimpangan akidah seperti tahayul dan bid’ah. Dalam hal ini Muhammad Abduh menjelaskan kepada masyarakat dengan cara mengajar kitab aqidah (ilmu kalam) dan tafsir al-Qur’an.
c.       Mereformasi proses belajar mengajar di sekolah-sekolah Mesir dan sekolah-sekolah islam lainnya.
d.      Mereformasi bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an, melalui tulisan dan ceramah.
e.       Muhammad Abduh melakukan pembelaan terhadap bangsa Arab dan umat Islam, melalui tulisannya tentang jawaban terhadap penulis Perancis bernama Hanutu ketika ia memaparkan perbandingan antara kristen dan Islam.
f.       Muhammad Abduh melakukan reformasi politik dengan cara aktif sebagai pegawai negeri di Majlis Syura. Ia membahas UU dan mengarahkannya kepada perbaikan umat.
Ilmu pengetahuan modern yang banyak mendasarkan diri pada hukum alam (sunnatullah) yang tidak bertentangan dengan Islam. Hukum alam adalah ciptaan tuhan dan wahyu juga berasal dari Tuhan. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam dan islam yang berdasar pada wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangaan.
Dalam zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang di bawah naungan pemerintah Islam yang ada pada waktu itu. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dari sebab utama kemajuan barat sekarang. Untuk mencapai kemajuannya yang hilang, menurut Muhammad Abduh umat Islam haruslah kembali mempelajari dan mementingkan penguasaan dan pengembangan Ilmu pengetahuan.[41]
Ide-ide pembaruan Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap Sunnah Allah dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Muhammad Abduh tentang tentang perbuatan amnusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah makluk yang bebas dalam memilih perbuatannya.  Namun  kebebasan  tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Muhammad Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni: pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetauan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya tuhan dan sifat-sifatnya, mengethui adanya hidup di Akhirat, mengetahui kewajiban terhadap tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Namun menurutnya akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.[42]
4.      Pandangan para tokoh terhadap sosok Muhammad Abduh

B.     Tafsir al-Manar
Sebelum kehadiran Muhammad Abduh, penafsiran al-Qur’an lebih merupakan suatu masalah akad, tafsir-tafsir ditulis oleh para ulama untuk ulama-ulama lain. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detail terhadap kata-kata teknis dan istilah tata bahasa Arab, hukum dan dogma Muslim, sunnah Nabi dan para sahabatnya, serta biografi Nabi. Tafsir-tafsir al-Qur’an merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut, atau lebih merupakan kutipan-kutipan dari ensiklopedi tersebut.[43]
Diantara beberapa tafsir yang menonjol sekarang salah satunya adalah tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh. Tafsir ini dianggap oleh banyak kalangan membuka jalan bagi tafsir-tafsir lainnya. Ini dikemungkinkan karena dua hal. Pertama, karena corak rasionalnya. Kedua, tafsir al-Manar memiliki orientasi perbaikan keadaan umat, sesuai dengan pemikiran pembaharuan penulisnya, Muhammad Abduh dan juga Rasyid Ridha yang juga seorang murid dan sahabatnya.
Muhammad Abduh menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai media untuk mengarahkan umat, mendidik generasi umat, dan menghembuskan ruh (jiwa) iman pada hati umat. Tafsirnya adalah pembuka yang baru, metode yang dominan yang berpengaruh pada mayoritas pelopor pembaharuan.[44]
Muhammad Abduh mulai aktif menulis tafsir di masa akhir dari hidupnya, setelah lama malang melintang dengan gurunya Jamaluddin al-Afghani untuk melakukan gerakan reformasi dipentas politik.[45] Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap prolematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut di mulai dengan gerakan Jamaluddin al-Afghani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Muhammad Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling bersemangat dan mencatatnya dengan teliti, maka dapat dikatakan bahwa Rasyid Ridha adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini tampak jelas dalam tafsirnya yang diberi nama Tafsir al-Qur’an al-Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, menisbahkan pada majalah al-Manar yang diterbitkannya.[46]
Sebelum ke pembahasan mengenai Tafsir al-Manar, disini penulis akan mamaparkan sedikit mengenai  riwayat hidup Rasyid Ridha.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha bin Muhammad al-Baghdadi al-Husaini. Ia adalah pemilik majalah al-Manar dan salah satu tokoh pembaharu Islam. Beliau adalah seorang penulis sekaligus ulama. Baik dibidang Hadis, sastra, sejarah maupun Tafsir. Rasyid Ridha dilahirkan pada 1282 H/1865 M di Qulmun, masuk pemerintahan Lebanon.
Salah satu faktor penyebab Rasyid Ridha begitu kagum dengan Muhammad Abduh adalah karena majalah al-Urwah al-Wutsqa yang ketika itu sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, termasuk sampai ke tangan Rasyid Ridha. Melalui tulisan-tulisan Muhammad Abduh dalam majalah tersebut, telah mampu mengubah jiwa kesufian Rasyid Ridha menjadi pemuda yang penuh semangat. Kalau semula Rasyid Ridha hanya berorientasi pada gerakan perbaikan akidah dan syariat serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi melalui hidup zuhud, maka Rasyid Ridha beralih pada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran islam secara kaffah dan membela sekaligus membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri. Rasyid Ridha seakan baru menyadari, bahwa islam  bukan hanya agama ruhani dan ukhrawi saja, melainkan juga agama jasmani, ruhani, Ukhrawi dan duniawi, yang memeberi petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.[47]
Sejak saat itu Rasyid Ridha berkeinginan untuk bertemu Muhammad Abduh. Awal mula keinginan  untuk menemui Muhammad Abduh gagal, namun setelah itu Rasyid Ridha berusaha keras menjumpai Muhammad Abduh. Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil bertemu Muhammad Abduh. Perjumpaan pertama berlangsung tatkala Muhammad Abduh melewat ke tripoli, libanon pada tahun 1892 M. Perjumpaan kedua terjadi ketika Muhammad Abduh menjalani masa pembuangan di beirut tahun 1894 M. Pada kesempatan itu, Rasyid Ridha menggelar dialog langsung dengan Muhammad Abduh. Hasil dialog mengguratkan kesan mendalam dalam dirinya.
Pada tahun 1897 M, Rasyid Ridha memutuskan untuk pergi dan menetap di Mesir, negeri Muhammad Abduh, pasalnya ketika mencoba menerapkan ide-ide pembaruannya di libanon, ia mendapat kecaman dan intimidasi dari pemerintahan kerajaan Turki utsmani.[48]
Kemudian bersama gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manar yang merupakan transkrip dari ceramah gurunya tersebut sebanyak 34 jilid. Dari sini, lalu tersebarlah Tafsir al-manar.[49]
1.         Gambaran umum Tafsir al-Manar
Kitab Tafsir ini ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam memasuki era Modern. Dalam era ini, umat Islam tergugah untuk bangkit dalam melaksanakan reformasi, modernisasi dan purifikasi ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad mengalami kejumudan.[50]
Proses penyusunan Tafsir ini bermula dari tulisan-tulisan Muhammad Abduh yang dimuat di majalah al-‘Urwah al-Wutsqa. Lalu Rasyid Ridha berkeinginan mengedit kembali tulisan Muhammad Abduh di majalah tersebut agar menjadi sebuah kitab tafsir. Setelah terjadi dialog antara keduanya, lalu mulailah Muhammad Abduh mengajarkan tafsir di al-Azhar. Pengajian tafsir tersebut berjalan secara intensif selama 6 tahun.
Rasyid Ridha menulis apa saja yang ia dengar dari gurunya, lalu ditambah beberapa komentar, diedit baru kemudian diterbitkan di majalah al-Manar. Namun, sebelum diterbitkan dibaca terlebih dahulu oleh gurunya. Hal ini untuk menjaga orisinalitas pemikiran Muhammad Abduh.[51]
Namun Tafsir ini belum mencakup seluruh al-Qur’an dan baru sampai 12 Jilid. Muhammad Abduh baru menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisa ayat 126. Tafsir al-Manar ini hakikatnya adalah kuliah Tafsir yang diberikannya dan dicatat oleh Rasyid Ridha. Karena itu selebihnya dilanjutkan oleh Rasyid Ridha mengikuti dengan manhaj (langkah-langkah) tafsir Muhammad Abduh.[52]
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya: “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariat, hukum-hukum Allah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk seluruh manusia, disetiap tempat dan waktu serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin pada masa itu yang telah berpaling dari petunjuk, serta membandingkan pula dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali petunjuk Allah. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah, sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang-orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh kaum cendekiawan”. [53]
Muhammad Abduh ingin menjelaskan al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk para ulama profesional. Masyarakat Mesir yang menurut apologia muslim modern, kekurangan pemimpin keagamaan yang berkompeten, menderita karena penjajahan asing (Inggris), tidak memahami ilmu-ilmu teknik dan takhayul mendominasi kehidupan mereka. Muhammad Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat awam maupun para ulama menyadari relevansi  terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memeberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Muhammad Abduh meyakinkan para ulama itu bahwa mereka seharusnya membiarkan al-Qur’an berbicara atas namanya sendiri bukan malah dipersulit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.[54]
2.      Sistematika tafsir al-Manar
Sistematika tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang lain. Kitab Tafsir al-Manar menerapkan sistematika tertib Mushafi yaitu suatu sistem penafsiran yang berkembang secara umum sejak periode ketiga, ketika mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan dengan disiplin hadis, yaitu dengan munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut tertib susunan mushaf al-Qur’an.
Salah satu ciri khas dari tafsir al-Manar adalah menampilkan suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayt-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah, dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[55]
Sistem yang di anut oleh Muhammad Abduh ialah memberi penjelasan yang jelas yang kurang diperjelas oleh para imam Mufassirin yang sebelumnya dan meringkaskan dari orang-orang sebelumnya yaitu yang mengenai pembahasan tentang lafadz, i’rab dan segi balaghah. Muhammad Abduh tidak membawa ayat-ayat yang tidak bersangkutan dengan ayat dan ia mendasarkan penjelasan-penjelasannya atau menitik beratkan uraiannya atas uraian gurunya jamaluddin al-Afghani.[56]
3.      Karakteristik tafsir al-Manar
Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an sejatinya berpegang pada prinsip-prisip berikut:
Pertama. Al-Qur’an itu umum dan Universal. Allah swt telah menutup seluruh risalah nabi Muhammad saw dan menutup serta menyempurnakan kitab samawi dengan al-Qur’an. makna dan kandungan al-Qur’an bersifat Universal dan kekal sepanjang zaman. Muhammad abduh mendalami makna ayat untuk menerapkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi manusia. Ketika muhammad abduh menafsirkan ayat-ayat mengenai sifat-sifat munafik pada awal surat al-Baqarah, ia menrapkan sifat-sifat ini terhadap orang-orang munafik pada masa sekarang, sekalipun ayat itu menceritakan orang-orang munafik di masa nabi. Menyatukan satu topik untuk satu surat dan menghubungkan ayat satu dengan lainnnya.
Kedua, al-Qur’an merupakan sumber pertama untuk hukum. Al-Qur’an patut didahulukan daripada perkataan para ahli fiqih dengan madzhab-madzhabnya yang masyhur. Ini terlihat misalnya saja dalam permasalahan boleh tidaknya tayamum bagi musafir. Muhammad abduh dalam masalah ini hanya berpegang teguh pada al-Qur’an semata, sekalipun ia mampu menggunakan air. Pada masa taqlid, para ahli fiqih dan para Mufassir berpegang pada madzhab mereka masing-masing, mereka fanatik pada madzhabnya bahkan madzhab mereka mengalahkan al-Qur’an. mereka memahami al-Qur’an menggunakan madzhab mereka, lalu muhammad Abduh dan muridnya rasyid ridha mengkritik tafsir yang mendahulukan pendapat madzhab daripada al-Qur’an, keduanya menjelaskan bahwa al-Qur’an itu Imam bukan Makmum dan al-Qur’an itu asal muasal dan selainnya harus mengikut pada yang asal ini.
Ketiga, memerangi Taqlid dan Jummud. Muhammad abduh menyerukan kembali kepada pemahaman kaum muslimin awal terhadap al-Qur’an. karena ayat-ayat al-Qur’an menjamin untuk mengajak menggunakan akal dan pemikiran dan menganjurkan kepada manusia untuk menelaah, meneliti, meninjau dan menyimpulkan. Muhammad abduh mengajak kaum muslimin untuk berijtihad dan mengajak untuk membuka pintu ijtihad dan memerangi kekaburan yang tersebar di antara manusia yang mengatakan bahwa pintu ijtihad itu telah tertutup sejak lama.
Keempat, melaksanakan teori dan pemikiran serta menggunakan metode ilmiah dalam pembahasan dan istinbath hukum. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip terdahulu, jika meninggalkan taqlid merupakan prinsip dasar yang bersifat mengeasikan (menyangkal), maka teori, menganalisa, meneliti dan menyimpulkan merupakan prinsip dasar yang positif bersifat mengkonstruksikan (membangun). Ini karena al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang mengajak manusia untuk meneliti di alam jagat raya, memperhatikan tanda-tanda dan keajaiban alam ini, bahkan al-Qur’an menganggap alam ini merupakan kitab yang terbuka yang wajib bagi setiap manusia untuk memperhatikan keajaiban dan hukum-hukum alam.[57]
Kelima, berpegang pada akal untuk menafsirkan hal luar biasa dengan pendekatan hal yang biasa (yang masuk akal). Muhammad abduh menafsirkan sebagian ayat-ayat dan mukjizat dengan mengkompromikan satu sama lain. Sehingga menundukkan mukjizat dengan hukum kausalitas (sebab dan akibat), karena menurutnya hukum kausalitas termasuk pada lingkup mukjizat.[58]
Keenam, tidak mendalami dalam menentukan hal yang masih kabur dalam al-Qur’an. al-Qur’an merupakan kitab petunjuk, yang menyebutkan berita, kejadian dan keadaan orang-orang terdahulu atau cerita tentang jalan, timbangan, surga dan neraka. Muhammad abduh tidak mau menafsirkan lebih detail, muhammad abduh dalam menafsirkan hal-hal yang gaib, sejalan dengan pendapat salaf, dimana kita harus beriman kepadanya.
Ketujuh, mengecam Israiliyat. Menurut Muhammad abduh al-Qur’an adalah kitab bahasa arab yang sempurna, tidak perlu penjelasan dan tidak perlu penafsiran yang merujuk kepada Israiliyat yang belum tentu benar dan salahnya.[59]
Kedelapan,  merelevansikan penafsiran al-Qur’an sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satu orientasi Muhammad Abduh dalam tafsirnya adalah pada masalah sosial kemayarakatan, maka penafsirannya lebih dititikberatkan kepada kolerasi al-Qur’an dengan kebutuhan masyarakat. Muhammad Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan  oleh kebodohan, kedangkalan pengetahuan akibat sikap taklid dan pengabaian potensi akal. Karena itu dalam menafsirkan al-Qur’an selalu dikaitkan dengan problematika masyarakat untuk bangkit menuju arah kemajuan, peradaban dan pencerdasan umat.[60]

4.      Metode Tafsir al-Manar
Menurut Muhammad Abduh tafsir adalah metode pendekatan yang digunakan untuk pencapaian maksud, bukan akhir sebuah tujuan. Tafsir harus dapat menjadi media dakwah perbaikan sosial dan pemurnian agama dari bid’ah, keragu-raguan dan khurafat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara utuh sebagai petunjuk menggapai kebahagiaan dunia dan Akhirat.[61]
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Muhammad Abduh yang menjadikan tafsir sebagai dasar  (asas) bagi pembaruan masyarakat dan sebagai media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan khurafat, menempuh metode tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan al-Salah al-Shalih (kaum salaf yang salih). Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an justru pada waktu umat islam tidak secara serius lagi berhukum dengan hukum-hukum al-Qur’an. dan tafsir bagi Muhammad Abduh merupakan alat untuk upaya perbaikan masyarakat Islam.
Muhammad Abduh dalam memahami nash-nash agama, disebut-sebut sebagai pengikut kaum salaf sebelum timbulnya perselisihan pendapat ulama. Akan tetapi kesalafan Muhammad Abduh kelihatan tidak mutlak seratus persen atau sepenuhnya, melainkan terbatas pada hal-hal tertentu saja.
Muhammad Abduh menegaskan mengenai tafsirnya, bahwa dalam soal akidah ia menuruti jalan salaf, yaitu menyerahkan penafsirannya kepada ilmu Allah dan tidak mentakwilkannya. Ringkasnya Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat akidah mengambil jalan yang dilalui oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Dalam menghadapi ayat-ayat lain, Muhammad Abduh menggunakan ijtihad yang bebas. Disinilah letaknya perbedaan antara Muhammad Abduh dengan Mufassirin Naqliyyin yang lain.[62]
Dari penafsirannya terhadap al-Qur’an, Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori perkembangan tafsir yang bercorak al-adabi al-ijtimali atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemayarakatan.[63]
Bentuk usaha reformasi kemasyarakatan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas memperbaiki sistem pendidikan, tetapi juga dalam bidang yang lain. Salah satu diantaranya adalah dalam bidang tafsir. Metode penafsiran yang dilakukannya tidak lagi menampilkan kebiasaan lama untuk mengalihkan manusia dari petunjuk al-Qur’an. melainkan menampilkan corak lain yang berorientasi kepada corak baru yaitu suatu tafsir yang menitik beratkan pada penjelasan teks-teks al-Qur’an dari segi ketelitian redaksinya, lalu membentuk suatu pengertian yang menjadi tujuan pokoknya dan dikaitkan pada persoalan-persoalan kehidupan kemasyarakatan.
Rasyid Ridha menyebutkan tiga ciri metode penafsiran Muhammad Abduh yaitu: pertama, memberi tambahan keterangan terhadap ayat yang berkonotasi kurang jelas atau menjelaskan keterangan yang sengaja diringkas oleh mufassir-mufassir sebelumnya. Kedua, menghindari terjebak pada penjelasann kaidah-kaidah kebahasaan seperti Nahwu, Sharaf dan Balaghah, tetapi hanya memberi penjelasan seperlunya saja. Ketiga, tidak tekstual dalam memahami ayat.[64]
Dalam menonjolkan ketelitian redaksi ayat al-Qur’an, Muhammad Abduh berpendapat antara lain bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur’an tersusun secara serasi dan harmonis. Tidak ada satu kalimatpun dalam al-Qur’an yang dikedepankan atau dibelakangkan untuk tujuan fashilah seperti yang terjadi dalam sajak dan syair. Adanya fashilah dalam syair adalah karena keterpaksaan dengan maksud demi pengaturan sajak dan qafiyah. Sedangkan al-Qur’an menurut Muhammad Abduh bukanlah kitab syair, ia adalah kitab yang bersumber dari Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu dan dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya secara serasi. Maka, tidak ada kata dalam kitab suci al-Qur’an yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.
Selain itu penafsiran al-Qur’an dengan rumusan redaksi yang indah dan menarik, merupakan ciri yang khas dari tafsir al-Adabi al-Ijtimali. Menurut Muhammad Abduh Pengungkapan tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik itu tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur’an, agar maksud al-Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat dapat tercapai dengan baik. Sedangkan upaya Muhammad Abduh menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat, dimaksudkan agar tafsir dapat diterima masyarakat dengan mudah, mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka. Dengan kata lain, masyarakat akan lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu, mufassir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarkat.[65]









[1] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2010) cet I, hlm 106
[2] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet I, hlm 17
[3] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013) cet I, hlm 151
[4] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet I, hlm 11-12
[5] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002) cet I, hlm 21-22
[6] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992) cet VII, hlm vii
[7] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar hlm 12
[8] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 43-44
[9] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 12
[10] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 22
[11] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 13
[12] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 23
[13] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 13
[14] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 23
[15] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 25
[16] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm vii
[17] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 14
[18] Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 (Depok: Gema Insani, 2006) cet I, hlm 227
[19] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm vii-viii
[20] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 27
[21] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 15
[22] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm viii
[23] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 27-28
[24] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 15
[25] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 28-29
[26] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm ix
[27] Syaiful amin ghofur, profil para mufassir al-qur’an (yogyakarta: pustaka insan madani, 2008) cet I, hlm 147
[28] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 30
[29] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 16
[30] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 33-34
[31] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xi
[32] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 16-17
[33] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 36-37
[34] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xii
[35] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 17
[36] Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terj, hlm xii-xiii
[37] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar (jakarta: el-Kahfi, 2012) cet I, hlm 70
[38] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 46
[39] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 123-124
[40] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 19-20
[41] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 127-128
[42] Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 hlm 228
[43] J.J.G. Janser, Diskursus Tafsir al-Qur’an ModernTerj (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997) cet I, hlm 27-28
[44] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 106-107
[45] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar  hlm 66-67
[46] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007) hlm 511-512 cet  10
[47] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar , hlm 65
[48] Syaiful amin ghofur, profil para mufassir al-qur’an hlm 148
[49] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir hlm 152
[50] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 57
[51] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir hlm 153
[52] Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, hlm 108
[53] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 57-58
[54] J.J.G. Janser, Diskursus Tafsir al-Qur’an ModernTerj  hlm 28-29
[55] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 58
[56] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009) cet I, hlm 206
[57] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 108-112
[58] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 114
[59] Anshori, Tafsir bi al-Ra’yi Hlm 115-116
[60] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 79
[61] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 69
[62] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir hlm
[63] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 109-110
[64] Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar hlm 69-70
[65] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm 111-112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...