SUNAN IBNU MAJAH
Makalah ini diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
“Kajian Kitab Hadits”
Dosen Pembimbing: Bpk.
Dr. H. Ahmad Fudhaili, MA
Disusun oleh:
Fitriyah Syam’un
Popon Ruqoyyah
PRODI
TAFSIR HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2014
M / 1436 H
A.
Biografi Ibnu Majah
a.
Riwayat Hidup Ibnu Majah
Ibnu Majah
memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Ruba’i
al-Qazwini al-Hafiz. Ibnu
Majah adalah gelar dari Ayahnya. Nama kunyah Beliau Abu Abdullah, yang kini lebih kita kenal
dengan nama Imam Ibnu Majah, Beliau di lahirkan di Qazwin pada tahun 209 H, dan
beliau meninggal dalam usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H.[1]
Informasi
kehidupan Ibnu Majah ketika masih kecil sampai proses dewasa tidak diketemukan
dalam berbagai literatur secara lengkap. Data yang tercatat hanya berkisar
tentang ketekunan Ibnu Majah dalam berburu hadits di berbagai negeri. Ibnu
Katsir mengatakan “ Muhammad bin Yazid bin
Majah adalah seorang Sohibul Hadits”hal ini menunjukkan betapa luas dan
mendalam ilmunya.
Beliau dikenal
pada masanya juga ia sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama
dalam bidang ilmu hadits, sehingga tak salah jika para ulama baik itu semasa
atau sesudahnya mengakui kedalaman ilmunya. Ibnu Majah baru mulai menekuni
bidang ilmu hadits pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu
Ali bin Muhammad At-Tanafasi. Bakat dan minatnya di bidang hadits makin besar.
Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna
mencari, mengumpulkan, dan menulis hadits. Di dalam memburu (mencari) hadits ia
mengembara keberbagai negeri. Ia mencarinya sampai kenegeri Irak, Syam, Hijaz,
Mesir, Kufah, Basrah dan kota-kota lainnya. Tujuannya hanyalah satu yakni ingin
mencari dan mendapatkan hadits dari ulama daerah tersebut.[2]
b.
Guru-guru Imam Ibnu Majah
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits dari banyak guru diantaranya Ali bin Muhammad al-Tanafasi (w.
233) yang merupakan guru pertama beliau. Kemudian dia juga belajar keberbagai
guru lainnya diantaranya Jubarah bin al-Muglis (w. 238), Mu’ab bin Abdullah
az-Zubairi, Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235), Muhammad bin Abdillah bin Namir
(w. 241), Hisyam bin Ammar (w. 249), dan Muhammad bin Rumh (w. 243).[3]
c.
Murid-murid Ibnu Majah
Adapun
hadits-hadits yang telah diterima oleh beliau dari berbagai guru juga
diriwayatkan oleh murid-muridnya diantaranya oleh Ibrohim bin Dinar, Ahmad bin
Ibrohim al-Qozwani, ( Muhammad bin Isa al-Abhari (w. 379), Sulaiman bin Yazid
al-Qazwini (w. 411), Abu Hassan al-Qattan (334-415 H)
d.
Karya-karya ibnu majah
Banyak karya
tulis yang dihasilkan oleh ibnu majah. Jumlahnya tidak kurang dari 32 buah.
Temanya pun beragam, meliputi tafsir, tarikh (sejarah), fikih dan hadis.
Karya ibnu majah mengenai tafsir, yakni tafsir Al-Qur’anil Karim
dalam bentuk manuskrip. Adapun karya ibnu majah tentang sejarah yakni Tarikh
Al-Khulafah. Namun diantara sekian bidang yang digeluti oleh ibnu majah
tampaknya hanya bidang hadis yang membuatnya di kenal oleh masyarakat islam
secara luas. Salah satu kitabnya yang paling terkenal adalah Sunan Ibnu Majah.[4]
e.
Komentar ulama
Para ulama
hadis , baik pada masanya maupun sesudahnya, menilai ibnu majah sebagai seorang
yang alim, dapat dipercaya, pendapatnya dapat dijadikan hujjah (dalil), dan
banyak menghafal hadis nabi. Masih banyak penilaian para ulama yang diberikan
kepada sosok Ibnu Majah ini. Semua penilaian tersebut menunjukan bahwa ia
adalah seorang yang pantas di teladani dan memiliki jasa besar dalam
mengumpulkan hadis-hadis nabi, serta berhasil menyemarakan kegiatan ilmiah di bidang Ilmu hadis.[5]
Abu Ya’la
al-Khaliliy berkata “Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadis, mempunyai banyak
karangan dalam bidang tarikh, sunan, dan melawat ke kufah, bashrah, mesir dan
syam”
B.
Tinjauan Kitab Ibnu Majah
a.
Motifasi Penulisan Ibnu Majah
Kitab Sunan
Ibnu Majah adalah bukan nama yang diberikan oleh Ibnu majah sendiri, kitab
ini pada mulanya bernama al-Sunan. Untuk mencegah adanya kekeliruan maka
para ulama memberikan kejelasan nama terhadap kitab ini dan pada akhirnya ulama
sepakat agar kitab ini dinisbahkan kepada nama penulisnya yakni Ibnu Majah,
sehingga kitab ini populer di sebut dengan Sunan Ibnu Majah.
Kegemaran
Ibnu majah semenjak kecil akan ilmu hadits membuat ia tak bosan mencari dan
menemukan hadits yang tersebar diberbagai ulama hadits tanpa memandang dimana
ulama hadits itu berada, sehingga berkat ketekunannya pada akhirnya Ibnu majah
menjadi ulama hadits yang sangat masyhur pada zamannya.
Keahlian dalam ilmu hadits ditunjang dengan koleksi
hadits-nya yang sangat banyak membuat ia berkeinginan menyeleksi dan
mengumpulkan (kodifikasi) hadits yang ia terima dari berbagai guru-gurunya yang
tentunya dengan terlebih dahulu adanya upaya penyaringan berdasarkan segi
kualitasnya. Adapun jika dilihat dari motivasi kenapa Ibnu
Majah menyusun kitab hadits diperkirakan sebagai berikut:
Pada masa hidup
Ibnu majah kondisi pada waktu itu adalah puncak atau zaman keemasan dari pada
ilmu hadits hal itu terlihat dari banyaknya pembukuan hadits secara
besar-besaran. Dengan kondisi itu dimungkinkan Ibnu majah pun termotivasi untuk
melakukan hal yang sama.
b.
Jumlah Hadits dalam Kitab Sunan Ibnu
Majah
Secara
umum bisa dilukiskan bahwa kitab Sunan Ibnu Majah dibagi kedalam beberapa
bagian, dan dalam bagian dibagi lagi kedalam beberapa bab. Adz-Dzahabi
berpendapat bahwa Sunan Ibnu Majah memuat 4.000 Hadits yang terbagi menjadi 32
bagian dan 1.500 bab. Dan penrhitungan serupa juga disampaikan oleh Abu Hasan
al-Qattan[6]
(334-415 H).
Dalam
Penyelidikan Fuad Abdul Baqi, jumlah Hadits yang termaktub dalam kitab Sunan
Ibnu Majah adalah 4.321 Hadits yang terbagi kedalam 37 bagian dan 1.515 bab.
Meskipun berbeda Fuad Abdul Baqi dengan Adz-Dzahabi dan Abu Hasan al-Qattan
dalam menghitung jumlah hadits dalam Sunan Ibnu Majah, ini dikarenakan
metode yang digunakan mereka berbeda.[7]
Fuad
Abdul Baqi mengkalsifikasikan hadits yang terkodifokasi dalam kitab Sunan Ibnu Majah dengan tingkat kualitasnya sebagai berikut:
·
428 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori
hadits Shahih.
·
199 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori
hadits Hasan.
·
613 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori
hadits lemah Sanad-nya.
·
99 hadits dari 1.339 hadits termasuk dalam katagori
hadits munkar dan makdzub .
C.
Sistematika
Penulisan Pada Kitab Sunan Ibnu Majah
Kitab
Sunan Ibnu Majah terdapat banyak tema. Setiap tema disebut dengan kitab (bab).
Berikut ini untaian kitab (bab) yang terkandung didalamnya.
No
|
Nama Kitab (bab)
|
-
|
Muqaddimah
|
1
|
Kitab Tentang Taharah
|
2
|
Kitab Tentang Shalat
|
3
|
Kitab Tentang Azan
|
4
|
Kitab Tentang Masjid dan Shalat Jama’ah
|
5
|
Kitab Tentang Menegakkan shalat dan Kesunahannya
|
6
|
Kitab Tentang Jenazah
|
7
|
Kitab Tentang Puasa
|
8
|
Kitab Tentang Zakat
|
9
|
Kitab Tentang Pernikahan
|
10
|
Kitab Tentang Perceraian
|
11
|
Kitab Tentang Tebusan (Kafarat)
|
12
|
Kitab Tentang Perdagangan
|
13
|
Kitab tentang Hukum
|
14
|
Kitab Tentang sedekah
|
15
|
Kitab Tentang Zuhud
|
16
|
Kitab Tentang Luqatah (barang temuan)
|
17
|
Kitab Tentang Pemerdekaan Budak
|
18
|
Kitab Tentang Syuf’ah
|
19
|
Kitab Tentang Batas-Batas Hukum (Hudud)
|
20
|
Kitab Tentang denda (diat)
|
21
|
Kitab Tentang Wasiat
|
22
|
Kitab Tentang Kewarisan
|
23
|
Kitab Tentang Jihad
|
24
|
Kitab Tentang Haji
|
25
|
Kitab Tentang Penyembelihan Hewan Kurban
|
26
|
Kitab Tentang Perburuan
|
27
|
Kitab Tentang Makanan
|
28
|
Kitab Tentang Minuman
|
29
|
Kitab Tentang Pengobatan
|
30
|
Kitab Tentang Pakaian
|
31
|
Kitab Tentang Adab
|
32
|
Kitab Tentang Do’a
|
33
|
Kitab Tentang Takwil Mimpi
|
34
|
Kitab Tentang Fitnah
|
Bila
kita perhatikan dengan seksama, sudah tentu tema-tema tersebut merujuk kepada
tema fiqih. Dengan kata lain Sunan Ibnu Majah adalah kitab hadits yang
mayoritas berisi persoalan-persoalan fiqih, meski ada juga hal-hal lain yang
dibahas didalamnya, secara umum bisa dikatakan bahwa tema paling dominan adalah
tema fiqih. Beliau menyusun hadits secara tematik, yakni menyusunnya menurut
kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih.[8]
Kitab
Sunan adalah kitab ke 6 dari Kitab al-Sittah dan telah menjadi pandagan para
ulama muhaditsin, dan posisinya diatas dari kitab Muwat, karena
terdapat hadits-hadits baru (periwayatan dari Ibnu Majah pribadi) yang tidak
ada pada kitab al-Khomsah (Lima Kitab Hadits). berbeda dengan Muwatok
(yang memiliki hadits yang lebih sohih dan telah ada di kitab al-khomsah
lainnya, dan dapat kita kenal dengan nama Kitab Zawaid Ibnu Majah.
Bila
kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis
hadits, mereka turut memasukkan pendapat para ulama faqih setelah penulisan
hadits. Namun Ibnu Majah sebaliknya. Bilapun ada mungkin hanya sebagian kecil
saja menurut beliau peting.
Pada kitab ini
Ibnu Majah jarang untuk menyebutkan hukum serta alasan hadits yang ia riwayatkan,
baik itu berupa hadits sohih, termasuk do’if pun tidak. Hanya
saja kita hanya dapat melihat lebih lengkap dari ucapan para Ulama lain yang
terletak pada bagian catatan kaki pada kitab, yang disertai tambahan keterangan
dari kitab Zawaid.
Dari segi Rijal
al-Hadits, Ibnu Majah termasuk ulama yang mudah memasukan rijal
al-hadits. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat pendusta
dimasukannya dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Yang manarik dari kitab Sunan
Ibnu Majah adalah kitab ini memuat hadits-hadits yang tidak dijumpai oleh
pengarang-pengarang hadits sebelumnya yakni : Bukhari, Muslim, Abu Daud,
al-Tarmizi dan al-Nasa‟i. Terdapat 125 nama perawi hadits yang tidak ada pada kitab
al-sittah kecuali pada pada kitab Sunan Ibnu Majah, dan itu dengan berbagai
macam bentuk penilaian jarah wa ta‟dil yang diberikan oleh berbagai kalangan
ulama, seperti :
a. Isma’il bin Ziyah.
b. Harish bin
al-Khirrit.
c. Basyari bin
Kidami.
d. Yusuf bin
Khalid : karena pendusta
e. Muhammad bin
Abd al-Madani: karena pendusta.[9]
D.
Syarah Kitab Ibnu Majah
Terbukti Kitab
Sunan Ibnu Majah telah membuat mereka untuk memberikan ulasan yang luas dan
mendalam. Berikut ini Jumlah Kitab yang dihasilkan untuk mensyarahi Kitab sunan
Ibnu Majah.
a)
Al-I’lam bi Sunanihi ‘Alahi as-Salam karangan
al-Mughlati’i (w. 726 H).
b)
Syarh Sunan Ibnu Majah karangan Kamaluddin bin Musa
ad-Darimi (w. 808 H).
c)
Syarh Sunan Ibnu Majah karangan Ibrahim bin Muhammad
al-Halabi.
d)
Syarh az-Zujajah bi Syarh Ibnu Majah karangan
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H)
e)
Syarh Sunan Ibnu Majah karangan Muhammad bin Abd
al-Hadi as-Sindi.[10]
E.
Pandangan Ulama terhadap Sunan Ibnu Majah
Mengenai
kedudukan kitab Sunan Ibnu Majah para ulama muhadditsin berbeda pendapat
mengenai apakah kitab ini masuk dalam katagori kutub al- sittah (enam kitab
Hadits) atau tidak.
Jajaran ulama
Mutaqaddimin (mereka yang hidup tahun 300 H) pada umumnya membatasi jumlah
kitab standar hanya 5 buah, karenanya lahir sebutan “Ushul al-Khamsah” atau
“al-Kutub al-Khamsah”. Justru Ulama Mutakhirin yang bersemangan mendudukan
Sunan Ibnu Majah melengkapi kitab hadits standar yang menjadi 6 kitab dan dari
kitab itulah lahir sebutan “Ushul al-Sittah atau Kutub al-Sittah”. Pencetus gagasan tersebut pertamakali adalah Muhammad Abu
al-Fadhal Ibnu Tahir al-Maqdisi (W 507 H) melalui karangan beliau Athraf
al-Kutub al-Sittah. Dukungan terhadap gagasan tersebut dipelopori oleh al-Hafidz
Abd Ghani al-Qudsi (W 600 H) dalam karangan beliau berjudul al-Ikmalu fi
asmai al-Rijali.
Alasan mereka
yang memasukan Sunan Ibnu Majah kedalam Ushul al-Sittah lebih didasarkan
pada keberadaan sejumlah 1339 hadits Zawaid . karena dengan tambahan
tersebut amat menguntungkan kalangan fuqaha, selain itu juga tiga perempat
koleksi Sunan Ibnu Majah menyamai standar mutu hadits yang terseleksi dalam Ushul
al-Khamsah.
Ada juga
pendapat yang memasukan kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik Kutub al-Sittah,
misalnya seperti Ahmad bin Razin al-Abdari al-Sarqasthi ( W 535 H) dal
pernyataan yang dimuat pada al-Tajrid fi al-Jami’ Baina al-Shihah. Demikian
juga Ibnu Atsir al-Jaziri al-Syafi’I (w 606 H) dan al-‘Allamah al-Zabidi
al-Syafi’i ( W 944 H) dalam Taisir al-Wuhul. Kesenioran dan kepeloporan Imam Malik sebagai codivikator hadits
menjadi keunggulan kitab al-Muwatha’.[11]
Disamping itu
ada beberapa sisi kelemahan kalau tidak dikatakan keteledoran dari Ibnu Majah
adalah bahwa beliau ketika menjumpai atau menulis hadits yang dinilai lemah
dalam kitabnya tidak disertai dengan catatan komentar tentang hadits lemah
tersebut, hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Al-Tirmidzi dan Abu
Dawud.
Dan disisi lain
ada juga sebagian dari mereka yang turut mengusulkan Kitab al-Darami menempati
posisi ke 6 dari kitab Sunan. yaitu Ibnu Tohar Al-Maqdis (507 H) ,dengan alasan
sebab sedikitnya dari para perawi hadits yang dinyatakan do’if , jarangnya
hadits-hadits yang dinyatakan Munkar dan Syaz dibandingkan kitab
Ibnu Majah yang bahkan ditemukan dari Rijal pada Ibnu Majah sampai
tertuduh berdusta.[12]
F.
Kritik Terhadap Kitab Sunan Ibnu Majah
Para ulama
hadits mengkritik kandungan hadits yang terdapat dalam kitab sunan Ibnu Majah,
karena menurutnya Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits dari perawi yang
tertuduh “berdusta”, dan di samping itu juga dalam kitabnya terdapat
hadits-hadits yang tergolong maudu’.
Kritik ulama
terhadap sunan Ibnu Majah pada umumnya terfokus pada keberadaan 1339 hadits
zawaid. Al-Sirri dan al-Hajaj al-Mazzi mengatakan dha’if pada hadits zawaid
tersebut. Menurut Dr Aisyah binti al-Syathi unsur kedhaifan itu beragam sekali
antara lain: hasan gharib, terdapat rijal hadits yang majhul, mata rantai yang
jelas dha’if seperti sanad melalui Abdullah bin Harasyi yang disepakati sebagai
perawi dha’if, hadits munkar seperti diriwayatkan Dawud bin Atha’ al-Madini,
hadits mudallas seperti yang dikutip melalui Hajjaj bin Arthah bin Zainab
al-Sahmiah, dan hadits yang tidak layak dijadikan hujjah.
Bahkan Abu
al-Faraj Ibnu al-Jauzi menuduh 30 hadits maudhu’ dalam kitab sunan Ibnu Majah.
Tuduhan serupa dikemukakan pula oleh al-Zahabi dalam Mizan al-I’tidal. akan
tetapi kritik yang dilancarkan oleh Ibnu al-Jauzi mendapatkan bantahan dari
Imam al-Suyuti sebagai salah satu pen-Syarah kitab Sunan Ibnu Majah.
Syihabuddin al-Bushiri
al-Mashri ( W 840 H) dalam kitab Misbah al-Zujajah fi zawaidi Ibni Majah
mengakui dibalik taffarud acapkali diketahui bahwa rijal haditsnya terdiri atas
orang yang pernah dituduh dusta bahkan pernah diklaim pernah melakukan
pemalsuan hadits. Namun harus
diakui bahwa hadits-hadits zawaid tersebut sulit diperoleh sumber informasi
lain melalui mata rantai sanad lain. Seperti hadits yang berujung pada sanad
Habib bin Habib (notulis Imam Malik) Alla’ bin Yazid Dawud bin al-Munjam Abdul
Wahab al-Dhahak Ismail bin Ziyad al-Sukuti.
Itulah sebabnya
setelah melaui proses panjang ulama mutaakhirin berketetapan menempatkan Sunan
Ibnu Majah melengkapi jajaran kutub al-Sittah sekalipun nomor terakhir. Hal ini tidak lepas dari 1339 hadits zawaid yang kemudian menjadi
bahan bermanfaat bagi pengembangan hazanah ilmu fiqh.[13]
Kritikan lain
terhadap kitab ini yaitu :
1.
Menurut Tohar Jazair : Ibnu Majah telah meriwayatkan
hadits dari perawi yang tertuduh, pendusta, dan hadits maudu.
2.
Menurut Dzahbi : Kitab Sunan Ibnu Majah dapat tergolong
baik, andai bila tidak memiliki kelemahan yang banyak didalmnya.
3.
Menurut Hafiz Bin Rajab : Mengenai Tobaqot yang
terdapat pada tabaqot ke lima, terdapat perawi yang dinyatakan majhul dan
matruk seperti Hakam al-lai, Abdul AL-Quds bin Habib, Muhammad bin sa’id bin
maslub. Yang mana mereka tidak terdapat pada periwayatan Abi Dawud, Tirmidzi,
Nasai’, melainkan hanya pada Ibnu Majah.
4.
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan : Pada kitab Ibnu Majah
terdapat Bab yang Ghorib, dan do’if.
5.
Menurut Hafiz
Aba al-Hajaj al-Mazi, hadits yang yang diriwayatkan Ibnu Majah secara sendiri
yang dinilai Do’if.[14]
[1] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits. (Bandung, PT
Al-Ma’arif) cet 11 hal 384
[2] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits.(Yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2008) cet 1 hal 113
[3] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits.(Yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2008) cet 1 hal 114
[4] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 115
[5] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 114
[6] Nama asli Beliau adalah al-Hafiz Imam al-Qudwah Abu al-Hasan bin
Bahar al-Qozwani. Syamsudin bin Abu „Abdullah Muhammad, Tadzkiroh al-Hufaz,
h.156, Beliau juga merupakan sahabat dari Ibnu Majah.
[7] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 115
[8] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 116-117
[9] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 117-118
[10] Dzulmani, Mengenal
Kitab-Kitab Hadits. Hlm 118-119
[11] http://blog.uin-malang.ac.id/muhtadiridwan/2010/06/30/studi-referensi-hadis-standartsunan-ibnu-majah-209-273-h-bagian-kedelapan/
[13]
http://blog.uin-malang.ac.id/muhtadiridwan/2010/06/30/studi-referensi-hadis-standartsunan-ibnu-majah-209-273-h-bagian-kedelapan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar