Minggu, 09 Juni 2019

Wiji Thukul: Jasad Hilang Nama Terang



Wiji Thukul dengan nama asli Wiji Widodo, dengan berbagai macam nama penyamaran karena langkah kakinya menjadi buronan pada masa era Soeharto. Soeharto menyebut para aktivis-aktivis yang menentang kebijakannya sebagai Setan Gundul. Saya tertarik untuk menulis tentang salah satu aktivis yang hilang pada masa Orba (Orde Baru), karena hilangnya Wiji Thukul sampai saat ini masih menjadi sebuah teka teki. Rupanya pergantian era orde baru ke era Reformasi tidak mengubah keadaan dan tidak mampu memecahkan teka teki tersebut, karena pemerintah rupanya begitu getol menutupi dosa-dosa era Orde Baru. Saya tidak kenal betul dengan sosok Wiji Thukul, bahkan bisa dikatakan tidak tahu sama sekali tentang sosoknya. Pada tahun-tahun pergolakan Indonesia menuju era reformasi, saya masihlah seorang anak kecil, yang bahkan tidak mengenal siapa Presiden kala itu.

Beberapa bulan belakangan ini, saya memang sedang tertarik dengan sejarah tahun 1998, atau lebih tepatnya sejarah pada masa era kekuasaan Soeharto. Dalam sejarah disebutkan ternyata pada masa Soeharto, kebebasan benar-benar sangat terbatas, berbeda dengan masa kini. Jadi hal tersebut bisa menjadi rasa syukur kita atas kebebasan yang ada di tengah perpecahan rakyat Indonesia saat ini. Wiji Thukul dikatakan sebagai seorang penyair, syair-syairnya perlahan-lahan mulai merambat pada perlawanan terhadap kebijakan pemerintah pada kala itu. sebelumnya saya yang baru saja selesai membaca buku Emha Ainun Nadjib ‘Pemimpin yang Tuhan’, di lembar-lembar terakhir buku tersebut, cak Nun menceritakan bahwa puisi-puisi pada masa Orde Baru harus melalui revisi-revisi dari kepolisian. Dan rupanya Wiji Thukul ini, menulis dan membacakan puisi-puisinya tanpa beban revisian, menurutnya Puisi adalah bentuk pengekspresian terhadap kondisi disekitarnya. Itulah yang menjadi alasan saya ingin sedikit saja menulis tentang Wiji Thukul atau lebih tepatnya menulis tentang Puisinya yang telah membuat gentar penguasa saat itu. salah satu puisi yang saya baca dari buku yang berjudul ‘Wiji Thukul, Teka-Teki Orang Hilang’. Puisi yang penuh dengan corak pergerakan dan perlawanan yang berjudul
‘’PERINGATAN’’:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata ‘LAWAN’.

Tulisan ini sama sekali bukan atas dasar unsur kebencian, saya meyakini sejarah selalu menjadi pembelajaran untuk masa depan Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat tanpa perbedaan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...