Wiji Thukul dengan nama asli Wiji Widodo, dengan berbagai
macam nama penyamaran karena langkah kakinya menjadi buronan pada masa era
Soeharto. Soeharto menyebut para aktivis-aktivis yang menentang kebijakannya
sebagai Setan Gundul. Saya tertarik untuk menulis tentang salah satu aktivis
yang hilang pada masa Orba (Orde Baru), karena hilangnya Wiji Thukul sampai
saat ini masih menjadi sebuah teka teki. Rupanya pergantian era orde baru ke
era Reformasi tidak mengubah keadaan dan tidak mampu memecahkan teka teki
tersebut, karena pemerintah rupanya begitu getol menutupi dosa-dosa era Orde
Baru. Saya tidak kenal betul dengan sosok Wiji Thukul, bahkan bisa dikatakan
tidak tahu sama sekali tentang sosoknya. Pada tahun-tahun pergolakan Indonesia
menuju era reformasi, saya masihlah seorang anak kecil, yang bahkan tidak
mengenal siapa Presiden kala itu.
Beberapa bulan
belakangan ini, saya memang sedang tertarik dengan sejarah tahun 1998, atau
lebih tepatnya sejarah pada masa era kekuasaan Soeharto. Dalam sejarah
disebutkan ternyata pada masa Soeharto, kebebasan benar-benar sangat terbatas,
berbeda dengan masa kini. Jadi hal tersebut bisa menjadi rasa syukur kita atas
kebebasan yang ada di tengah perpecahan rakyat Indonesia saat ini. Wiji Thukul
dikatakan sebagai seorang penyair, syair-syairnya perlahan-lahan mulai merambat
pada perlawanan terhadap kebijakan pemerintah pada kala itu. sebelumnya saya
yang baru saja selesai membaca buku Emha Ainun Nadjib ‘Pemimpin yang Tuhan’,
di lembar-lembar terakhir buku tersebut, cak Nun menceritakan bahwa puisi-puisi
pada masa Orde Baru harus melalui revisi-revisi dari kepolisian. Dan rupanya
Wiji Thukul ini, menulis dan membacakan puisi-puisinya tanpa beban revisian,
menurutnya Puisi adalah bentuk pengekspresian terhadap kondisi disekitarnya. Itulah
yang menjadi alasan saya ingin sedikit saja menulis tentang Wiji Thukul atau
lebih tepatnya menulis tentang Puisinya yang telah membuat gentar penguasa saat
itu. salah satu puisi yang saya baca dari buku yang berjudul ‘Wiji Thukul,
Teka-Teki Orang Hilang’. Puisi yang penuh dengan corak pergerakan dan
perlawanan yang berjudul
‘’PERINGATAN’’:
Jika
rakyat pergi
Ketika penguasa
pidato
Kita harus
hati-hati
Barangkali
mereka putus asa
Kalau rakyat
sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan
masalahnya sendiri
Penguasa harus
waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat
tidak berani mengeluh
Itu artinya
sudah gawat
Dan bila
omongan penguasa
Tidak boleh
dibantah
Kebenaran
pasti terancam
Apabila usul
ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam
kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif
dan mengganggu keamanan
Maka hanya
ada satu kata ‘LAWAN’.
Tulisan ini sama sekali bukan atas
dasar unsur kebencian, saya meyakini sejarah selalu menjadi pembelajaran untuk
masa depan Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat tanpa
perbedaan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar