RINDU INI UNTUK BAPAK
Bagaimana cara mengulang waktu?
Sebuah kalimat pertanyaan yang sampai kapanpun tidak akan pernah terjawab,
karena faktanya pertanyaan itu adalah pertanyaan Imajinasi yang dilontarkan
seseorang karena merindukan semua yang sudah tertinggal di masa lalunya. Dan
orang itu adalah aku, yah aku
melontarkan pertanyaan imajinasi tersebut, berharap kehidupan ini tidak jauh
berbeda dengan kehidupan negeri dongeng, ada lorong waktu yang bisa aku
telusuri jalannya, lantas memperbaiki hari-hari bersamanya, bersama seorang
laki-laki yang sampai kapanpun akan menjadi cinta pertama dalam hidupku.
Di siang yang
di selimuti awan mendung saat ini, aku
ingin menceritakan tentang kerinduan yang tidak akan menemukan muaranya di
dunia, karena kerinduan ini untuk seorang laki-laki yang langkah kakinya sudah
tak lagi meninggalkan jejak di atas bumi, seorang laki-laki yang suara
lembutnya sudah tak lagi terdengar, seorang laki-laki yang sorot teduh matanya
tak lagi aku rasakan, seorang laki-laki yang meski raganya sudah tidak ada di
dunia namun kenangannya akan selalu tinggal dalam relung hatiku yang paling
dalam.
Bapak,
laki-laki itu adalah bapak. Tepat pada bulan Safar enam tahun lalu bapak sakit
keras dan akhirnya Tuhan membawanya dalam solat terakhirnya. Bapak tentu tidak
akan pernah bisa membaca tulisan ini, tapi kalimat-kalimat kerinduan dalam
tulisan ini aku ingin persembahkan untuk bapak, seorang laki-laki yang kuat,
seorang laki-laki yang tegas, seorang laki-laki yang lembut dan seorang laki-laki
yang mudah sekali menangis.
Seperti sepuluh
tahun lalu, tepatnya tahun 2011 tahun dimana aku harus merantau ke luar kota
untuk melakukan test masuk studi strata satu, hal yang sampai saat ini akan
selalu membuatku pilu ketika mengingatnya.
karena sebelum keberangkatanku, Bapak memelukku sambil menangis, di
tengah isak tangisnya bapak memintaku belajar yang baik agar bisa lulus dan masuk
kampus harapan bapak, aku hanya mengangguk takzim dengan tangisan yang tak
kalah hebat darinya.
Bapak memang
berharap besar agar aku bisa masuk di kampus khusus perempuan tersebut,
alasannya tidak karena berharap tentang keduniaan, tapi lebih kepada bapak
ingin aku sebagai anak perempuannya bisa memberikan sebuah mahkota di kehidupan
selanjutnya dan aku tidak bisa menolaknya, aku seorang anak yang tidak bisa
mengatakan B jika bapak sudah mengatakan A. Sejujurnya aku berat menerima
harapan bapak yang terlalu besar padaku, tapi aku melakukan semampuku, sekuatku
dan karena aku menyayangi bapak lebih dari siapapun.
Setelah aku lolos
untuk masuk di kampus tersebut, aku sudah jarang sekali ada di rumah. Aku lebih
banyak menghabiskan waktu di tanah rantau, bersama aktifitas-aktifitasku yang
menurut versiku itu sangat padat. Aku hanya pulang ke rumah, ketika menjelang
liburan saja, dan bapak selalu menyambut kepulanganku dengan suka cita, bahkan
saat aku akan pergi lagi ke tanah rantau, bapak tak segan-segan mengantarku sampai
di pintu bis kota sambil membantu membawakan barang-barang bawaanku.
Waktu berjalan
memelesat seperti busur panah, empat tahun adalah waktu yang biasa dihabiskan
para pelajar untuk menyelesaikan studi strata satunya, begitupun aku. Tepatnya
tahun 2015 bulan Agustus aku di wisuda bersama ratusan mahasiswa lainnya, dan
bapak menatap dengan bangga toga yang aku kenakan hari itu, bapak tersenyum
tulus menyambutku di halaman gedung, tanpa pernah aku sadari bahwa bapak sakit,
hari itu bapak sebenarnya sedang sakit. Tapi demi menghadiri prosesi wisudaku,
bapak menahan rasa sakitnya dan hanya
raut bahagia yang aku saksikan di wajahnya hari itu.
Bahkan hari itu
bapak mengulurkan tangannya menyodorkan sebuah kerudung segi empat bertuliskan
Made in Turkey, untuk hadiah wisuda katanya. Meskipun aku tidak menyukai
kerudung segi empat bermotif jaman dulu tersebut, aku tetap menerimanya dengan
senyum sedikit terpaksa. Rupanya bapak menangkap gelagat dari wajahku, sampai
kemudian beliau mengatakan bahwa jika tidak suka, tidak apa-apa untuk di simpan
saja. sebuah kenangan yang selalu membuat aku menitikkan air mata saat
mengingatnya kembali, karena aku menyesalkan diriku, kenapa aku tidak
menunjukkan wajah bahagia saat menerima hadiah tersebut, atau minimal
berpura-puralah bahagia saat menerimanya.
Tiga bulan
setelah acara wisuda tersebut, bapak harus masuk rumah sakit. Aku masih begitu
mengingat wajah kesakitan bapak saat itu, aku masih mengingat wajah bapak yang
mencoba untuk tetap tersenyum di tengah rasa sakit yang dideritanya, aku masih
begitu mengingat ketika bapak menahan sesak di dadanya setiap malam dan aku
masih sangat mengingat saat fajar hari itu Tuhan membawa bapak dalam solatnya.
Hatiku
benar-benar kosong , aku sempat tidak tahu
sedang merasakan apa ketika orang-orang sudah mulai ramai mengurusi bapak yang
sudah tidak bergerak lagi, aku kebingungan dengan apa yang aku dengar, kenapa orang-orang riuh sekali menangis
diiringi lantunan ayat-ayat suci dibacakan tak pernah henti. hari itu disambut
dengan hujan dan guntur yang bertalu-talu, sampai akhirnya aku tersadar bahwa
hatiku benar-benar pilu. Aku tersadar bahwa laki-laki gagah itu sudah tidak
ada, laki-laki gagah itu sudah pergi ke dimensi lain alam ini, meninggalkan
kami di tengah-tengah hiruk pikuk padatnya aktifitas dunia.
Hari-hari
setelah kepergian bapak adalah hari-hari penuh kerinduan, hari-hari penuh
perjuangan terbentang, hari-hari penuh do’a panjang yang aku panjatkan untuk
kehidupan bapak di alam sana agar dilimpahi ketenangan dan kedamaian. Aku
ikhlas, aku ikhlas, aku meyakinkan hatiku berkali-kali, bahwa kepergian bapak adalah yang terbaik, bahwa
kepergian bapak akan memberikan banyak pelajaran, bahwa kepergian bapak adalah
sebuah garis takdir yang harus aku terima dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran.
Tuhan pasti
punya rencana yang tidak pernah Hamba pahami pada mulanya, namun akan selalu
indah pada akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar