Kamis, 26 September 2019

AKSI MATI




Aksi mati...
Suara berteriak lantang
Tapi mati seketika, dihantam mulut pejabat yang menantang.
Aksi mati...
Protes rakyat, dianggap sangat menghambat kepentingan pejabat
Aksi mati...
Berjatuhan korban, tak membuka hati pejabat yang haus kekuasaan
Aksi mati...
Suara rakyat seakan sirna.
Mengkritisi dianggap melancarkan kudeta.
Aksi ribuan mahasiswa menurutnya hanyalah nostalgia.

Mereka bukan wakil rakyat,
Mereka hanya pejabat yang tidur di kursi rapat penuh laknat.
Berlagak bak Pahlawan,
Padahal mereka-mereka punya satu Tujuan,
Memberantas suara-suara yang mengganggu kepentingan.

Dan saya ucapkan Selamat datang REFORMASI YANG DIKORUPSI.


Untukmu  dari hati yang remuk, melihat Indonesia diwakili oleh manusia-manusia yang suka mengamuk di kursi Dewan tak bertuan.
(Fitriyah Syam'un)

Kamis, 13 Juni 2019

Curug, Kita harus Menikmati Perubahan-kan?


Curug, dengan tanah-tanah yang menjulang tinggi, membentuk bukit-bukit yang tak kalah indah, sawah-sawah dan tumbuh-tumbuhan lainnya membentang hijau, di sambut embun pagi yang membasahi setiap dedaunannya,  burung-burung pipit berkicau meramaikan hari, terbang kesana-kemari dengan bebas.

Curug bukanlah tempat yang ramai oleh hiruk pikuk dunia, bukan tempat yang ramai dengan suara knalpot dan klaskson di jalan, bukan tempat dengan tanah yang diatasnya berdiri gedung-gedung pencakar langit. Tapi Curug hanyalah sebuah tempat yang merupakan kampung terpencil, yang masih dirimbuni pohon-pohon yang menjulang tinggi nan hijau, dengan suara gemercik sungai di pagi hari dan suara-suara alam yang masih melantang.

Binatang-binatang liar masih banyak berkeliaran di jalan-jalan. jika malam tiba, suara-suara penghuni rumah masih terdengar jelas oleh siapapun yang melintasinya. Suara anak-anak amat ramai di malam hari, mereka tidak pernah bosan untuk bermain lagi selepas melaksanakan solat Isya berjamaah di Mushola dan para orang tua-pun tak melarang anak-anak mereka. suara-suara manusia beradu dengan suara-suara jangkrik di malam hari dan tak lupa langit malam menjadi saksi dengan sinar bulan dan ribuan bintangnya. 

Tapi atmosfer abad 20 kini kian memudar, Suasana di atas sudah jarang sekali ditemukan oleh manusia-manusia yang lahir atau hidup di abad ke 21 Masehi, karena proses perjalanan waktu itulah semua perlahan-lahan telah menghilang dan lenyap, berubah menjadi sesuatu yang teramat baru dan asing.

Abad 20 telah pergi 19 tahun yang lalu, menitipkan kehidupan pada abad ke 21. 19 tahun yang sudah banyak perubahan untuk Curug, tidak membutuhkan waktu lama, diabad 21, manusia berbondong-bondong membawa alat besar dengan kerukan besar di depannnya. Bukit-bukit yang dimiliki abad 20, kini telah hilang, menyisakan waduk yang menelan banyak korban. Kehijauan yang dimiliki abad 20 juga telah berganti dengan atap atap rumah yang menyilaukan.

Untukmu tanah kelahiranku, yang membesarkanku dengan tanganmu, yang membahagiakanku dengan jiwamu, ini aku yang lahir di akhir abad 20 dan menginjakkan kaki di abad 21. Aku menyaksikan perubahan yang besar, aku menyaksikan anak-anak yang tidak lagi memilih bermain dengan alam, tetapi memilih bermain dengan alat-alat buatan tangan-tangan manusia. aku menyaksikan bukit-bukitmu dikeruk tanpa ampun, aku menyaksikan pohon-pohon yang mulai mencoklat dedaunannya karena polusi pabrik yang semakin menggila. Aku menyaksikan sungai-sungai yang dulu pernah aku ajak bersenang-senang pada awal-awal abad 21 telah keruh dan tertimbun tanah gususan. Aku harap bumi ini selalu tenang dan sabar, seperti sabarnya Tuhan yang telah menciptakan.

Curug, Biarlah, kita harus menikmati perubahan, bukan?

Minggu, 09 Juni 2019

Wiji Thukul: Jasad Hilang Nama Terang



Wiji Thukul dengan nama asli Wiji Widodo, dengan berbagai macam nama penyamaran karena langkah kakinya menjadi buronan pada masa era Soeharto. Soeharto menyebut para aktivis-aktivis yang menentang kebijakannya sebagai Setan Gundul. Saya tertarik untuk menulis tentang salah satu aktivis yang hilang pada masa Orba (Orde Baru), karena hilangnya Wiji Thukul sampai saat ini masih menjadi sebuah teka teki. Rupanya pergantian era orde baru ke era Reformasi tidak mengubah keadaan dan tidak mampu memecahkan teka teki tersebut, karena pemerintah rupanya begitu getol menutupi dosa-dosa era Orde Baru. Saya tidak kenal betul dengan sosok Wiji Thukul, bahkan bisa dikatakan tidak tahu sama sekali tentang sosoknya. Pada tahun-tahun pergolakan Indonesia menuju era reformasi, saya masihlah seorang anak kecil, yang bahkan tidak mengenal siapa Presiden kala itu.

Beberapa bulan belakangan ini, saya memang sedang tertarik dengan sejarah tahun 1998, atau lebih tepatnya sejarah pada masa era kekuasaan Soeharto. Dalam sejarah disebutkan ternyata pada masa Soeharto, kebebasan benar-benar sangat terbatas, berbeda dengan masa kini. Jadi hal tersebut bisa menjadi rasa syukur kita atas kebebasan yang ada di tengah perpecahan rakyat Indonesia saat ini. Wiji Thukul dikatakan sebagai seorang penyair, syair-syairnya perlahan-lahan mulai merambat pada perlawanan terhadap kebijakan pemerintah pada kala itu. sebelumnya saya yang baru saja selesai membaca buku Emha Ainun Nadjib ‘Pemimpin yang Tuhan’, di lembar-lembar terakhir buku tersebut, cak Nun menceritakan bahwa puisi-puisi pada masa Orde Baru harus melalui revisi-revisi dari kepolisian. Dan rupanya Wiji Thukul ini, menulis dan membacakan puisi-puisinya tanpa beban revisian, menurutnya Puisi adalah bentuk pengekspresian terhadap kondisi disekitarnya. Itulah yang menjadi alasan saya ingin sedikit saja menulis tentang Wiji Thukul atau lebih tepatnya menulis tentang Puisinya yang telah membuat gentar penguasa saat itu. salah satu puisi yang saya baca dari buku yang berjudul ‘Wiji Thukul, Teka-Teki Orang Hilang’. Puisi yang penuh dengan corak pergerakan dan perlawanan yang berjudul
‘’PERINGATAN’’:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata ‘LAWAN’.

Tulisan ini sama sekali bukan atas dasar unsur kebencian, saya meyakini sejarah selalu menjadi pembelajaran untuk masa depan Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat tanpa perbedaan...

Kamis, 02 Mei 2019

Im-Por


Impor...
Pak kenapa Impor?
Bukankah Negeri kita seperti Surga.
Apapun melimpah tak terkira.
Pak kenapa lagi Impor?
Bukankah Negeri kita memilki manusia-manusia perkasa.
Yang siap bekerja untuk bangsa.
Pak, Cangkul itu?
Kenapa pula harus didatangkan dari Negeri entah berantah.
Bukankah di Negeri ini banyak ahlinya tak terhitung jumlah.
Dan lagi pak, masih banyak sekali tak terhitung lagi tanpa batas.
Lagu lama selalu terjadi, hukum itu masih tajam di bawah tumpul di atas.
Pak aku rakyat biasa.
Tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan hanya bisa bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di Indonesia.
Kemudian menulisnya dengan kata-kata ditemani senja.
 @Bird16

Anak Rakyat



Senyum merekah itu membahagiakan.
Kejahilannya benar-benar menggemaskan.
Aku menatapnya dari bangku yang berjarak dekat.
Membiarkan mereka dengan pikirannya masing-masing.
Agar kehadiranku di tengah-tengah mereka tak lagi asing.
Anak-anak di sekolah rakyat.
Jauh di dalamnya mereka juga berbakat.
Kita hanya perlu selangkah lagi mendekap erat.
Membawa mereka menemukan mimpi-mimpinya.
Karena mereka juga berhak untuk meraih indahnya senja yang bersahaja.
@Bird16

Masa-kan berlalu



Bisakah kamu berlalu
Jangan pernah lagi mengganggu dengan senyummu.
Bisakah kamu pergi
Jangan pernah lagi datang menghampiri.
Aku seperti terperangkap dalam dinding besar,
Bersama rasa yang entah kapan akan mati.
Lukisan dinding itu kamu,
Langit yang menaungiku pun kamu,
Angin yang berhembus menjadi desahan nafasmu.
Aku terperangkap dengan rasa yang entah berantah.
Kini tertatih kuharuskan kaki melangkah pergi,
Dari kurungan dinding besar.
Aku ingin keluar dan membiarkan kamu dan kenanganku bersamamu mati di masa lalu
Masa di mana tuan-pun tak akan mampu kembali ke masa itu.
@Bird16

Guru Ngaji



Suara dengan berbagai macam dialek itu menggema.
Mengalahkan suara terindah di dunia.
Di ruangan itu mereka mengeluarkan suara Al-Qur’an,
Kalam yang 1400 tahun lalu diturunkan.
Rumah di tengah-tengan perkebunan,
Saat mega merah berkeliaran,
Al-Qur’an mulai dilantunkan.
Hurufnya mengalir menemani kesunyian malam,
Seolah Tuhan hadir di tengah keramaian,
Merasuki hati dan fikiran dengan damai.
Aku menatap mereka dengan penuh perasaan,
Sambil bergumam dalam hati,  Semoga kehidupan kita penuh keberkahan.
@Bird16

Rabu, 10 April 2019

Emha Ainun Nadjib


di tahun ini ada tulisan-tulisan yang benar-benar menampar perilaku saya sebagai manusia. menampar berkali-kali sampai-sampai saya benar-benar merasa kesakitan dan ketakutan. ‘apa saya seburuk itu? jangan-jangan Tuhan mengabaikanku karena perilaku yang sudah tidak pantas. Apa selama ini saya ibadah hanya karena gengsi’. Pertanyaan-pertanyaan hinggap menerjang seperti busur anak panah, menusuk sampai membuat saya terpaku dan mematung. Tulisan itu adalah buah pikir dari seorang sosok Emha Ainun Nadjib atau biasa disebut Cak Nun. Saya memang terlalu awam, tapi sering merasa sudah cukup dengan apa yang sudah saya dapatkan dan pelajari selama ini, tapi nyatanya semakin kita belajar, kebodohan kita semakin mengambang di permukaan.
Saya mulai tertarik dengan cak Nun ketika akhir tahun 2018 lalu, saya membeli buku beliau yang berjudul ‘Tidak, Jibril tidak Pensiun’. Sekilas dari judul memang tidak seperti buku agama pada umumya, tapi percayalah Slogan tentang ‘Jangan melihat buku hanya dari cover’  itu memang betul dan sangat benar. Di dalam buku cak Nun ini, kita akan di bawa ke dalam nuansa-nuansa tasawuf, kita akan dibawa ke dalam kesadaran bahwa kebodohan kita selama ini adalah kita tidak pernah tahu bahwa kita ini sebanarnya adalah orang bodoh. Karena ketidaksadaran kita itulah, kita berkoar-koar dan akhirnya memecah belah umat atas ulah tangan kita sendiri dan parahnya, kita selalu merasa benar atas apa yang kita lakukan.
Karena saya penasaran dengan buku-buku cak nun yang lainnya, katika IBF kemarin saya melengkapinya dengan buku beliau yang berjudul ‘Kiai Hologram, Gelandang di Kampung Sendiri dan Pemimpin yang Tuhan’. luar biasa dalam dan lagi-lagi menampar diri kita sendiri, buku beliau selalu mengajak para pembacanya agar melek terlebih dahulu akan kekurangan diri kita dan jangan terlalu melek terhadap kesalahan orang lain hingga mengakibatkan perasaan ‘DIRI KITALAH YANG PALING BENAR DAN ORANG LAIN SALAH’.
Buku-buku beliau ini paling bisa menjawab fenomena yang sedang terjadi pada bangsa kita dewasa ini. Keributan perbedaan pendapat, perbedaan politik, kekerasan, dan masalah-masalah lainnya. Terimakasih Cak Nun, telah menasihati melalui kalimat-kalimat yang menusuk jiwa dan pikiran seperti panah. Terimakasih telah menamparku berkali-kali dari ketidaksadaran. Semoga tulisanmu menjadi ladang amal jariyah sampai hari kiamat nanti, Aaamiin

Nb: dan saya juga baru tahu, kalau Cak Nun adalah orang tua dari vokalis band Letto

Senin, 25 Maret 2019

The Kite Runner by Khaled Hosseini



Afghanistan. Salah satu negara yang tidak terlalu banyak saya ketahui keadaannya, hanya sedikit saja yang membuat saya teringat Afghanistan yaitu negara yang rawan peperangan, tidak maju, terbelakang dan yang paling saya ingat adalah para pejuangnya yang menamakan diri sebagai pejuang Taliban.
Ketika saya membaca novel ini dan sang penulis menggambarkan wajah asli Taliban, dalam hati saya sangat bersyukur bahwa Indonesia tidak diselamatkan oleh pejuang-pejuang seperti Taliban yang kebiasaannya hanya memutar tasbih dan melantunkan ayat-ayat suci yang tidak mereka pahami maknanya. Seorang pejuang yang selama ini saya menganggapnya sebagai penyelamat negara Afghanistan, tapi nyatanya setelah itu mereka menguasai rakyat-rakyat kecil dan berlaku seperti binatang dengan mengatasnamakan Agama. mereka mempunyai Syariat Taliban tapi mengakuinya sebagai bagian dari Syariat Islam dan siapapun yang bertentangan dengan Taliban maka wajib dihukumi mati dengan cara di lempari batu di sebuah lapangan sepak bola. Ah membayangkan saja sudah sangat miris dan mengerikan, anak-anak di sana kelaparan dan banyak dari mereka kehilangan orang tua karena sebuah serangan bom dan yang sangat menyakitkan adalah adanya sebagian dari mereka yang menjual anggota tubuhnya untuk memenuhi perutnya dan perut keluarganya di rumah.
Novel ini benar-benar sangat amat menarik hati dan air mata saya ketika membacanya, penuh emosi dan sangat mengharukan. Novel yang berjudul The Kite Runner milik Khlaed Hosseini telah menjawab sebagian dari diri  Afghanistan dan Taliban. Novel ini terbit tahun 2003 dan saya sangat terlambat membacanya di tahun 2019, tapi keterlambatan ini tidak mengubah apapun karena kisahnya yang sangat bisa dinikmati oleh semua kalangan umur.
Novel ini tebalnya lebih dari 400 lebih halaman, beberapa lembaran yang saya nikmati dari kalimat-kalimatnya sudah mampu membuat saya menangis tersedu sedan. Kisah Afghanistan, Kabul, Hasan dan Amir, Baba, Ali, layang-layang, persahabatan, penghianatan, perlindungan, kesetiaan, kekerasan dan penyesalan. Tokoh utama yang bernama Amir membuat saya sangat marah pada awalnya, tapi saya rasa memang wajar karena pada bagian cerita yang membuat saya marah pada Amir adalah ketika Amir masih seorang anak kecil.
Sungguh saya tidak menyesal membelinya, banyak pelajaran yang sangat menampar untuk kita yang hidup nyaman dan tentram di Indonesia. Penasaran dengan bukunya, langsung saja beli di Web Mizan secara Online atau Offline dan selamat menikmati wajah Taliban yang sesungguhnya.


Senin, 11 Maret 2019

The Pilgrimage/Ziarah by Paulo Coelho


Ziarah/ The Pilgrimage adalah buku kedua dari Paulo Ceolho yang saya baca. Tidak jauh berbeda dengan buku The Alkemist yang saya baca sebelumya, buku ini bercerita tentang seorang yang melakukan perjalanan spiritual. Novel ini juga sekaligus menjadi perbandingan saya dalam menelusuri agama-agama di dunia. Banyak sesuatu yang unik dan aneh ketika membaca buku ini, karena saya menemukan cara-cara untuk mencapai kespiritualan yang sangat berbeda dengan agama saya (Islam). Tapi Lakum diinukum wa Liyadiin. Saya meyakini dengan apa yang saya yakini kebenarannya begitupun dengan mereka yang beragama Non Muslim. Tetapi terlepas dari itu semua, sedikit banyak ada nilai-nilai yang juga bisa kita terapkan untuk menjalani kehidupan yang sementara ini. Ketika Paulo mengatakan bahwa kematian adalah nasihat terbaiknya, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan bahwa sebaik-sebaik nasihat adalah kematian.

Novel ini sebenarnya sudah lama sekali terbit, terbit tahun 1987 tahun dimana saya belum lahir dan bahkan janinpun belum ada di perut ibu. tapi novel ini masih sangat menarik untuk dinikmati oleh para kaum abad 21. Meskipun novel Ziarah ini novel yang sangat kental sekali dengan perjalanan spiritual agama Kristen, tapi jujur saya tidak mempermasalahkannya. Karena  dari manapun kita dapat mengambil sebuah pelajaran tanpa harus menukar dengan apa yang sudah kita yakini kebenarannya. Selain itu Novel ini juga bisa menjadi referensi buat teman-teman yang mengambil jurusan Perbandingan Agama, agar bisa dibuat perbandingan dalam melakukan penelitiannya.

Konon cerita dalam novel ini adalah cerita asli dari perjalanan spiritual Paulo Coelho. Karena ketika itu Paulo yang sedang melakukan perjalanan dalam pencarian pedangnya. Ketika itu ia mendapat nasihat dari pemandunya, agar setelah melakukan perjalanan spiritual tersebut, para penziarah diharuskan mengabadikannya entah dalam bentuk lukisan atau apapun. Dan Paulo memilih untuk mengabadikannya dengan tulisan yang kemudian menjadi sebuah novel.
Ada yang membuat saya meringis dan aneh, ini hanya opini saya pribadi tidak ada maksud menyudutkan keyakinan siapapun. Ketika berselancar di novel ini, saya merasa sangat kasihan dengan Paulo yang ingin mengapai Spiritual tapi harus banyak merasakan hal-hal yang menyiksa fisik sendiri. Mungkin memang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa Yesus yang mereka anggap sebagai anak Tuhan juga telah merasakan penderitaan yang sangat luarbiasa sampai harus  disiksa hingga akhirnya disalib. Tapi terlepas dari pikiran saya yang merasa aneh, masih banyak pelajaran-pelajaran yang dapat diambil.  dan usaha mereka untuk mencapai spiritual yang tinggi juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Islam, hanya saja dengan keyakina dan cara yang berbeda.

Baiklah itu saja, jika penasaran dengan novelnya silahkan beli Online, karena saya tidak menemukan di Gramedia2 yang sudah saya kunjungi. Terimakasih

Kamis, 14 Februari 2019

Perempuan di Titik Nol by Nawal el Shadawi


Firdaus adalah salah satu tokoh yang diceritakan dalam novel karya seorang Feminis dari Mesir ‘Nawal el Shadawi’.  Dalam buku ini disebutkan bahwa kisah di dalamnya merupakan kisah nyata dari salah satu seorang pelacur yang dihukum mati karena membela kehormatannya. Mungkin aneh mendengar seorang pelacur membela kehormatan, tapi memang itulah faktanya. Seorang pelacur juga manusia yang perlu dimanusiakan dengan cara mengeluarkan ia dari pekerjaannya tersebut. Kita tentu tidak bisa menghakimi seseorang karena pekerjaannya tanpa tau latar belakang apa yang mendorongnya melakukan pekerjaan tersebut. novel ini memang menggambarkan laki-laki itu adalah sosok yang hanya ingin menang sendiri, bahkan ketika membaca ini saya beranggapan bahwa pemikiran agama sebagian lelaki mesir sangat sangat kolot dan primitif, karena selalu mendiskriminasikan perempuan. 
selain dari kisahnya yang menarik, nilai plus dari novel ini adalah ukurannya. ukuran novelnya tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, sehingga sangat nyaman untuk dibaca dimana-mana. Setelah membaca novel ini, saya jadi ingin berpuisi untuk sosok Firdaus.

Engkau ingin terhomat.
Lantas menjual kehormatan untuk mendapat kehormatan.
Perputaran roda yang sangat memilukan,
Ketika uang menjadi tuhan.
Lelaki seperti setan,
Menindas perempuan dengan kutukan dan cacian.
Aku pilu membacanya,
Apalagi merasakannya.
Firdaus aku tak akan menghakimi,
Karena aku dan engkau sama-sama seorang murid di bumi.
Biarkan Tuhan yang mengisi nilai Raportmu,
Dan aku juga menunggu hasil nillai Raportku.
Terimakasih keberanianmu, membuatku menjadi sangat malu.

Selamat membaca Novel Perempuan di titik Nol by Nawal el Shadawi, semoga semakin membuka mata hati, agar kita tak perlu repot-repot menghakimi.




Perceraian Spiritual dan Politik Indonesia


Perceraian selalu menjadi hal yang sangat menyakitkan. Ber-Cerai, ter-Cerai Berai, per-Cerai-an. Kata cerai memang biasa digunakan untuk pasangan suami istri yang memutuskan berpisah dan mengakhiri ikatan rumah tangganya. Itulah mengapa dalam tulisan ini saya menuliskan kata perceraian untuk menggambarkan hubungan Spiritual dan Politik, karena dasarnya spiritual dan Politik sudah sah dan halal menjadi pasangan yang seharusnya tidak boleh bercerai, karena setelah keduanya bercerai, sebagian masyarakat memutuskan untuk membenci dan mencintai salah satunya. Politik dengan perasaan benci dan spiritual dengan perasaan suci, sehingga kebencian dan kesucian ini harus dipisahkan.
Setelah bercerai, politik membuahkan hasil yang kurang mengenakkan, karena hasil itu akhirnya bermunculan macam-macam tanggapan dari kalangan masyarakat. Bahkan ada yang ingin memisahkan politik dengan  agama, atau politik bukan merupakan bagian dari  agama dan bahkan ada yang mengartikan bahwa politik adalah menghancurkan sesamanya, artinya politik hanyalah sebuah perputaran roda kekuasaan yang di perebutkan dengan cara mengorbankan orang lain. Memang pentas politik di berbagai negara sangatlah berbeda-beda, tergantung dari bagaimana budaya dan sosial masyarakat di negara tersebut. Kalau kita melihat sejarah atau kondisi politik-politik di negara-negara lain, seharusnya kita bisa belajar dan mencari akar masalah yang dihadapi politik dunia saat ini sehingga menyebabkan hasil buah-buahan yang sangat menyeramkan untuk dinikmati.
Karena buah-buahan yang dihasilkan politik itulah, pemahaman sekuler dirasa sangat menyerap pada setiap paradigma masyarakat. Bahkan dewasa ini  sebagian dari mereka cenderung memilih diam ketika melihat kehancuran politik yang sedang terjadi atau bahkan ada yang memilih mengkritik dan mengkirtik tanpa pernah ada kesadaran untuk bergerak melakukan perubahan, bagaimana agar politik itu kembali menjadi bersih seperti ketika dirinya masih berpasangan dengan spiritual.  pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyiddin, spiritual dan politik menjadi pasangan yang sangat romantis dan susah untuk dipisahkan. Perjalanan spiritual politik pada masa rasul saw dan sahabat seharusnya menjadi pelajaran dan tuntunan untuk kehidupan rumah tangga spiritual dan politik saat ini. Tapi faktanya di negara kita lebih banyak yang berbondong-bondong dan berlomba-lomba agar menjadi bagian dari sejarah, daripada belajar dari sejarah tersebut.
Jika berbicara negara Indonesia, seharusnya Indonesia menjadi negara yang paling bersih dan sehat politiknya, karena Indonesia mempunyai dasar sila  pertama yaitu ‘Ketuhanan yang maha Esa’, itu artinya di Indonesia ini tidak memperbolehkan masyarakatnya menganut paham Atheisme (Tidak mengakui Tuhan). Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk umat Islam terbesar di dunia dan Islam sangat merestui hubungan Spiritual dan Politik. Karena  Islam bukan hanya agama Akhirat, tapi agama dunia. Islam bisa dikatakan lebih memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi dibandingkan dengan agama lain.
Kondisi Politik setelah bercerai dengan spiritual memang seperti mayat hidup, berjalan tapi jiwanya mati, ruh-nya hilang dan berkeliaran tidak tentu arah, tidak tentu tujuan dan akhirnya politik berjalan sendiri dikuasai oleh jiwa-jiwa yang haus akan kekuasaan dan menghendaki kerusakan. Menjadi tugas kita bersama mengembalikan Spiritual itu ke dalam badannya dan membuat spiritual kembali berjalan di sampingnya, agar spiritual dan politik kembali berjalan bergandengan.
Lantas bagaimana keadaan Spiritual setelah bercerai dengan politik. Spiritual adalah nilai dasar dalam semua agama, setiap agama pasti memiliki nilai-nilai spiritual dalam setiap ajarannya, mengajak penganutnya agar mampu menerapkan nilai-nilai itu dalam setiap kehidupan sosial. Menyadari dari hati, bahwa bukan hanya jasmani yang harus disirami, tetapi jauh dari itu ada yang lebih penting untuk di sirami yaitu akal dan hati. Dalam agama Islam, konsep seperti itu sudah tersusun sistematis, bahwa betapapun banyaknya kebutuhan jasmani yang terpenuhi, tapi jika akal dan hati itu tertinggal dan tidak dipenuhi kebutuhannya, maka lambat laun keduanya itu akan memberontak dan menyebabkan kerusakan akhlak dan moral dimana-mana. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, bahwa dalam diri manusia itu ada tiga hal yang harus diberi makan: pertama, Badan atau Jasmani yang membutuhkan makan dan minum agar jasmani tersebut tetap sehat dan seimbang. Kedua, Akal atau otak atau pikiran yang membutuhkan siraman ilmu pengetahuan, agar keberadaanya bisa bermanfaat dan dapat digunakan untuk kemaslahatan diri dan umat. Ketiga, jiwa atau hati yang membutuhkan makanan berupa nilai-nilai spiritual yang menghubungkan jiwa tersebut kepada penciptanya. Jika ketiga hal tersebut terpenuhi kebutuhannya, maka tidak mustahil akan tercipta kerukunan dan kedamaian dalam hidupnya.  
Kehadiran agama pada dasarnya adalah untuk menuntun manusia dalam melaksanakan setiap aktifitas sosialnya, termasuk di dalamnya aktifitas politik. Agama seharusnya menjadi jantung sebuah politik, bukan hanya sekedar  kendaraan politik yang hanya dijalankan ketika sedang masa-masa pemilihan suara, sebagian dari mereka menyuarakan agama hanya untuk kepentingan partai politik saja. Banyak usaha mereka untuk menarik hati masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan, contoh kecilnya seperti menggunakan jilbab ketika akan pemilu dan sebagainya.
Aktifitas politik seharusnya menjadi ajang masyarakat Indonesia untuk  berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berlomba-lomba dalam merebut kekuasaan. Karena memperebutkan kekuasaan dengan segala cara, tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi merugikan seluruh masyarakat secara jelas. Politik yang semulanya untuk mensejahterakan rakyat, akhirnya hanya akan menindas rakyat. Dari hal tersebut timbullah paradigma, bahwa Politik adalah perilaku sosial yang sangat menakutkan, sehingga usaha mereka bukan menyatukan kembali dengan spiritual, tetapi berbondong-bondong untuk menghindarkannya sejauh mungkin.
Kita masyarakat Indonesia seharusnya malu dengan agama yang disandingkan dalam diri kita. kita disebut sebagai manusia ber-Agama dan menafikkan para kaum Atheis. ketika kita tidak menerapkan nilai spiritual tersebut, lantas apa bedanya kita dengan para kaum Atheis?. Itulah mengapa Rasulullah saw menganjurkan umatnya agar selalu bermuhasabah diri, agar kita dapat membenahi kekurangan dalam diri sendiri terlebih dahulu, sebelum membenahi sekitar. Seperti yang dikatakan Jalaluddin Rumi, “dulu aku pintar dan ingin merubah dunia. Sekarang aku bijak dan ingin merubah diri sendiri”. Karena tanpa dimulai dari diri sendiri, niscaya perubahan itu akan sangat sulit untuk dilakukan.
Spiritual memang tidak selalu berhubungan dengan Agama Islam, tapi justru spiritual itulah pasti menjadi keyakinan mendasar bagi setiap agama-agama di dunia.  Spiritual itu meyakini bahwa jiwanya adalah bagian dari alam semesta, alam semesta adalah bagian dari esensi keberadaan Tuhan. Jadi jelas, bahwa manusia yang berkeyakinan kuat akan keberadaan  Tuhan, dia akan berfikir dua kali untuk melakukan keburukan yang akan meerugikan diri sendiri dan orang lain.
Tetapi hubungan spiritual dengan politik saat ini seperti seseorang yang tidak pernah saling mengenal atau pernah bersama, keduanya saling menghindar satu sama lain, bahkan keduanya ingin berdiri sendiri. Padahal karena berpisahnya Spiritual dan Politik tersebut, agama menjadi terlihat sangat kaku dan politik menjadi semakin menggelitik karena dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun jika kita berusaha menyatukan antara keduanya, pasti akan tercipta sebuah politik yang bersih dan sehat dan paradigma sekuler akan hancur dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Meski memang akan membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan tersebut, bahkan mungkin ada sesuatu yang harus dikorbankan untuk menggapainya. Tidak jauh berbeda ketika Rasul saw diutus di kota Makkah kala itu, banyak keluarga dan saudara yang tercerai berai karena sebagian dari mereka mengikuti agama baru yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tetapi dampak dari perjuangan melakukan perubahan tersebut sangatlah luar biasa, bahkan saat-saat ini semakin banyak orang mulai berbondong-bondong memasuki agama Islam, padahal Rasul saw sudah 14 abad yang lalu tubuhnya telah menyatu dengan tanah, tetapi ruhnya menjelma menjadi hidayah-hidayah. Allahumma Shalli ala Muhammad
Merubah, Membangun, menjalankan, mengembangkan tidaklah menjadi hal mudah seperti  semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika ruang lingkup perubahan itu mencakup perubahan dengan skala besar seperti merubah sebuah kebobrokan negara.
Indonesia sudah mempunyai dasar hukum dan perundang-undangan yang baik untuk diterapkan, Indonesia mempunyai demokrasi yang mengedepankan Musyawarah. Konsep musyawarah itu sering sekali dipraktekkan oleh Nabi saw, bahkan Nabi saw yang notabene nya adalah manusia yang sempurna, sering sekali mengedepankan suara mayoritas dari pendapat Nabi saw sendiri. Selain itu juga ada konsep keadilan, keadilan ini menjadi konsep paling dasar dalam sistem kenegaraan. Keadilan harus ditegakan dalam setiap tingkat kehidupan, kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. Karena tanpa keadilan, sebuah hukum yang telah terkonsep hanya akan timpang sebelah atau tajam di bawah tumpul di atas. Semua konsep-konsep negara yang dianut bangsa Indonesia sangat sesuai dengan ajaran Islam, bahkan Indonesia mempunyai Majelis Ulama Indonesia untuk membatasi ruang lingkup Demokrasi tersebut. Jadi sangat mengherankan ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara kufur karena menganut sistem demokrasi yang lahir dari Barat, bahkan bersikukuh ingin merubah negara Indonesia dengan negara Khilafah Islamiyyah, sampai-sampai melupakan bahwa Indonesia sedang krisis politik karena manusia, bukan krisis politik karena sistemnya.
Badan politik di Indonesia masih mengalami kemunduran yang konsisten, disebabkan individu-individu yang mengendarai badan politik tersebut. Indonesia menjujung tinggi Musyawarah, tapi faktanya masih banyak kecurangan-kecurangan. Indonesia menjujung tinggi keadilan, tapi faktanya keadilan masih tetap milik kaum-kaum bangsawan.  Indonesia menjunjung tinggi persamaan, tapi faktanya struktur social kaum menengah bawah dan menengah atas masih dikumandangkan. Bahkan pelaku-pelaku tersebut kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang beragama, yang setiap kampanye-nya meneriakkan takbir dengan penuh bergelora.
Oleh karena itu, ruh dalam politik sangatlah dibutuhkan, sama hal-nya dibutuhkan ruh ketika melaksanakan solat. Tanpa ruh, solat hanya gerakan, dan tanpa ruh, politik hanya mayat berjalan. Usaha kita untuk menyatukan nilai-nilai spiritual ke dalam badan politik, lagi-lagi harus dimulai dari pendidikan agama sejak usia dini, penanaman nilai-nilai itu harus lebih diperkuat sampai ke akarnya, sehingga kemudian memunculkan kesadaran dalam diri,  bahwa semua manusia bukan hanya mempunyai tujuan duniawi saja, tetapi lebih dari itu harus mempunyai tujuan akhirat.
Masyarakat Indonesia harus banyak-banyak belajar kembali dan memperbarui kadar kespiritualannya, agar setiap masalah yang dihadapi bisa terselesaikan dengan baik, tanpa harus melakukan bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa ketika dirinya tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Itulah pentingnya penanaman keyakinan diri akan hadirnya Tuhan, pendekatan diri dengan Tuhan dan meyakinkan bahwa Tuhan sangat dekat melebihi dekatnya urat nadi. Islam menawarkan konsep Tasawuf, sedangkan di Barat mengenalkan konsep Filsafat. Kedua-duanya sama-sama menawarkan metode kejiwaan dengan melakukan pendekatannya kepada Tuhan. Melakukan pendekatan dengan Tuhan tidak berarti harus mengasingkan diri di Goa bertahun-tahun, tidak menikah, tidak bekerja, atau sebagainya. tetapi justru Islam mengajak penganutnya untuk memberikan dan menebarkan manfaat di mana-mana, dengan cara bermacam-macam pula. Bisa dengan memberikan manfaat melalui bidang pendidikan ataupun bidang kenegaraan, atau bahkan hal yang terkecil dengan hanya menyingkirkan duri dari jalanan.
Di Indonesia pernah ada julukan yang cukup terkenal bagi seseorang yang beragama, tapi tingkah lakunya tidak menunjukkan seperti sikap orang yang beragama atau Islam KTP dan itu memang fakta. betapa banyak Islam tapi hanya beberapa yang Muslim. Tapi ada juga yang Muslim tetapi tidak Islam. Seperti pernyataan salah satu tokoh pergerakan dari Mesir Muhammad Abduh, ketika beliau berkunjung ke Perancis, beliau mengatakan bahwa ada Muslim di negara Perancis, tetapi tidak ada Islam. Sedangkan di negaranya, ada Islam tetapi tidak  ada Muslim.
Praktek kecilnya yang masih sangat sulit dihindarkan di Indonesia adalah kebiasaannya membuang sampah sembarangan, padahal untuk hal sekecil itu Islam sangat mengaturnya, apalagi untuk hal besar seperti kenegaraan. Penulis sangat yakin, jika untuk hal kecil sudah bisa dilaksanakan, insya Allah hal besarpun perlahan-lahan tidak berat untuk dilakukan, termasuk menciptakan dan melahirkan anak-anak politik yang sehat.
Islam adalah keselamatan, kehadirannya adalah memberikan keselamatan untuk manusia-manusia yang kehilangan arah dan tujuan. Islam agama sekaligus teman dalam suka dan duka. Kehadirannya adalah memberikan Rahmat di seluruh alam. Ajarannya tidak hanya mencakup hubungan dengan Tuhan saja, tetapi hubungan dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Tuntunannya bukan saja penuh kasih sayang, tetapi penuh ketegasan. Islam memerintahkan kepada penganutnya, agar tidak hanya bekerja untuk akhirat, tetapi dunia dan akhirat keduanya harus seimbang, dunia menjadi tempat mencari bekal untuk menuju ke alam akhirat kelak. Itulah mengapa dalam salah satu do’a yang paling mahsyur diucapkan, yang terdapat dalam surat al-Baqarah:
“…Ya Tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”. (QS. al-Baqarah [2]: 201)
Kata dunia dan akhirat dalam ayat tersebut diletakkan berdekatan, itu artinya Islam menghendaki penganutnya untuk bekerja di dunia agar mendapat kebaikan di akhirat. Islam sangat menghendaki spiritual, bahkan Islam tanpa Spiritual bukanlah Islam. Islam dengan spiritual itu seperti ikan dan air, tidak bisa salah satunya berdiri sendiri. Dan Spiritual Islam itu harus mampu diterapkan dalam setiap aktifitas, terlebih aktifitas politik yang ruang lingkupnya mencangkup banyak umat.
Islam yang merupakan ajaran politik, seharusnya mampu ditanamkan oleh para penganutnya ketika menjalankan pemerintahan. Islam mampu menyelamatkan politik saat ini yang sudah dijadikan ajang bisnis kebanyakan orang, sehinga menampik tujuan awal dari politik tersebut. Memperebutkan kekuasaan dengan berbagai macam cara dilakukan, bahkan sekarang dikenal dalam politik itu istilah tidak mengenal kawan atau lawan. Kalau sudah seperti ini, lantas dimana wajah positif dari politik tersebut. Politik seperti sudah menjadi panggung pergulatan saja, siapa yang kuat dialah yang menang di atasnya, tidak peduli harus menghancurkan atau mematikan lawan mainnya.
Dalam Islam kekuasaan sejatinya adalah sebuah titipan yang telah Allah amanahkan kepada hambanya, itu artinya ketika mendapat amanah mendapat kekuasaan tersebut, maka ruang lingkupnya untuk menebarkan manfaat semakin luas dan tanggung jawab yang harus di emban juga semakin besar. Bahkan seorang pemimpin yang prilaku kekuasaanya adil, akan menjadi salah satu orang yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat, di saat tidak ada naungan selainnya.
Itulah mengapa spiritual politik perlahan-lahan harus kita tanamkan sejak sekarang. tanpa spiritual, maka politik akan terus menanggung kebobrokan dan kekotoran atas ulah tangan-tangan manusia. kita bisa sama-sama mengembalikan wajah politik Islam yang menyejukan, wajah politik Islam yang penuh keadilan dan persamaan dengan cara menamakan dasar-dasar spiritual tersebut dalam pelaksanaan politiknya. Rasa takut akan hukum Tuhan juga mendorong manusia untuk tidak melakukan tindak kejahatan yang merugikan. Rasa cinta kepada Tuhan juga mendorong manusia untuk tulus menjalankan perintah-perintahnya. Dengan menyerahkan semuanya kepada Allah, maka aktifitas apapun  akan bernilai kebaikan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Cita-cita bangsa Indonesia menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan dapat menerapkan lima sila Indonesia ke dalam kahidupan sehari-hari dan merujuk-kan kembali kedekatan Spiritual dan politik dengan kesadaran sepenuh hati. Meski status hubungan politik dan Spiritual saat ini sangat terpisah jauh dan tidak berjalan baik, tetapi usaha untuk menyatukan kembali haruslah tetap berjalan. Melakukannya memang tidak membutuhkan waktu sedikit, kita bahkan bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Hanya saja kita harus menghilangkan sedikit prasangka buruk terhadap politik, yang menyebabkan sebagian orang memilih mundur jauh untuk menghindarinya dan membiarkan kerusakan politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bukankah salah satu tidak terwujudnya perubahan adalah karena diamnya orang yang benar dan berteriaknya orang yang bodoh.
Tetapi saat ini Indonesia masih memiliki banyak kesempatan untuk mengembalikan nilai kemurnian politik dan memberikannya cahaya untuk menjadikan sebuah titik terang dalam kebaikan. Nilai-nilai spiritual itulah yang akan membawa kembali sifat dasar politik agar terlahir kembali menjadi sebuah politik yang jauh dari perilaku-perilaku korupsi, kolusi dan Nepotisme, serta rumah tangga spiritual dan politik negara kita ini kembali rukun dan diridhai Allah swt.
Wallahu A’lam bish Shawwab

Nb: Menghadirkan Tuhan dan meyakini adanya Tuhan, akan sangat mendorong kita untuk berpikir dua kali ketika akan melakukan keburukan. Hadirkan Tuhan, yakinkan sepenuh hati bahwa Tuhan ada dan bersemayam dalam jiwa di tubuh kita.
“Tuhan adalah samudra tanpa tepian, tapi sungguh heran banyak jiwa-jiwa tenggelam di dalamnya, lantas berteriak ‘Tuhan tidak ada’.” (Jalaluddin Rumi, semoga Allah berikan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, Al-Faatihah)

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...