Perceraian selalu menjadi hal yang sangat menyakitkan. Ber-Cerai,
ter-Cerai Berai, per-Cerai-an. Kata cerai memang biasa digunakan untuk pasangan
suami istri yang memutuskan berpisah dan mengakhiri ikatan rumah tangganya. Itulah
mengapa dalam tulisan ini saya menuliskan kata perceraian untuk menggambarkan
hubungan Spiritual dan Politik, karena dasarnya spiritual dan Politik sudah sah
dan halal menjadi pasangan yang seharusnya tidak boleh bercerai, karena setelah
keduanya bercerai, sebagian masyarakat memutuskan untuk membenci dan mencintai
salah satunya. Politik dengan perasaan benci dan spiritual dengan perasaan
suci, sehingga kebencian dan kesucian ini harus dipisahkan.
Setelah bercerai, politik membuahkan hasil
yang kurang mengenakkan, karena hasil itu akhirnya bermunculan macam-macam tanggapan
dari kalangan masyarakat. Bahkan ada yang ingin memisahkan politik dengan agama, atau politik bukan merupakan bagian
dari agama dan bahkan ada yang
mengartikan bahwa politik adalah menghancurkan sesamanya, artinya politik
hanyalah sebuah perputaran roda kekuasaan yang di perebutkan dengan cara
mengorbankan orang lain. Memang pentas politik di berbagai negara sangatlah
berbeda-beda, tergantung dari bagaimana budaya dan sosial masyarakat di negara
tersebut. Kalau kita melihat sejarah atau kondisi politik-politik di negara-negara
lain, seharusnya kita bisa belajar dan mencari akar masalah yang dihadapi politik
dunia saat ini sehingga menyebabkan hasil buah-buahan yang sangat menyeramkan untuk dinikmati.
Karena buah-buahan yang dihasilkan
politik itulah, pemahaman
sekuler dirasa sangat menyerap pada setiap paradigma masyarakat. Bahkan dewasa
ini sebagian dari mereka cenderung
memilih diam ketika melihat kehancuran politik yang sedang terjadi atau bahkan
ada yang memilih mengkritik dan mengkirtik tanpa pernah ada kesadaran untuk bergerak
melakukan perubahan, bagaimana agar politik itu kembali menjadi bersih seperti
ketika dirinya masih berpasangan dengan spiritual. pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur
Rasyiddin, spiritual dan politik menjadi pasangan yang sangat romantis dan
susah untuk dipisahkan. Perjalanan spiritual politik pada masa rasul saw dan
sahabat seharusnya menjadi pelajaran dan tuntunan untuk kehidupan rumah tangga
spiritual dan politik saat ini. Tapi faktanya di negara kita lebih banyak yang berbondong-bondong
dan berlomba-lomba agar menjadi bagian dari sejarah, daripada belajar dari
sejarah tersebut.
Jika berbicara negara Indonesia,
seharusnya Indonesia menjadi negara yang paling bersih dan sehat politiknya,
karena Indonesia mempunyai dasar sila
pertama yaitu ‘Ketuhanan yang maha Esa’, itu artinya di Indonesia ini
tidak memperbolehkan masyarakatnya menganut paham Atheisme (Tidak mengakui
Tuhan). Bahkan
Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk umat Islam terbesar di
dunia dan Islam sangat merestui hubungan Spiritual dan Politik. Karena Islam bukan hanya
agama Akhirat, tapi agama dunia. Islam bisa dikatakan lebih memiliki nilai-nilai spiritual yang
tinggi dibandingkan dengan agama lain.
Kondisi Politik setelah bercerai dengan spiritual memang seperti mayat hidup, berjalan
tapi jiwanya mati, ruh-nya hilang dan berkeliaran tidak tentu arah, tidak tentu
tujuan dan akhirnya politik berjalan sendiri dikuasai oleh jiwa-jiwa yang haus
akan kekuasaan dan menghendaki kerusakan. Menjadi tugas kita bersama
mengembalikan Spiritual itu
ke dalam badannya dan membuat spiritual kembali berjalan di sampingnya, agar spiritual dan politik kembali
berjalan bergandengan.
Lantas bagaimana keadaan Spiritual
setelah bercerai dengan politik. Spiritual adalah nilai dasar dalam semua
agama, setiap agama pasti memiliki nilai-nilai spiritual dalam setiap
ajarannya, mengajak penganutnya agar mampu menerapkan nilai-nilai itu dalam
setiap kehidupan sosial. Menyadari dari hati, bahwa bukan hanya jasmani yang harus
disirami, tetapi jauh dari itu ada yang lebih penting untuk di sirami yaitu
akal dan hati. Dalam agama Islam, konsep seperti itu sudah tersusun sistematis,
bahwa betapapun banyaknya kebutuhan jasmani yang terpenuhi, tapi jika akal dan
hati itu tertinggal dan tidak dipenuhi kebutuhannya, maka lambat laun keduanya
itu akan memberontak dan menyebabkan kerusakan akhlak dan moral dimana-mana. Seperti yang
dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, bahwa dalam diri manusia itu ada tiga hal yang
harus diberi makan: pertama, Badan atau Jasmani yang membutuhkan makan
dan minum agar jasmani tersebut tetap sehat dan seimbang. Kedua, Akal
atau otak atau pikiran yang membutuhkan siraman ilmu pengetahuan, agar
keberadaanya bisa bermanfaat dan dapat digunakan untuk kemaslahatan diri dan
umat. Ketiga, jiwa atau hati yang membutuhkan makanan berupa nilai-nilai
spiritual yang menghubungkan jiwa tersebut kepada penciptanya. Jika ketiga hal
tersebut terpenuhi kebutuhannya, maka tidak mustahil akan tercipta kerukunan
dan kedamaian dalam hidupnya.
Kehadiran agama pada dasarnya adalah untuk menuntun
manusia dalam melaksanakan setiap aktifitas sosialnya, termasuk di
dalamnya
aktifitas politik. Agama seharusnya menjadi jantung sebuah politik, bukan hanya
sekedar kendaraan politik yang hanya
dijalankan ketika sedang masa-masa pemilihan suara, sebagian dari mereka
menyuarakan agama hanya untuk kepentingan partai politik saja. Banyak usaha
mereka untuk menarik hati masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan,
contoh kecilnya seperti menggunakan jilbab ketika akan pemilu dan sebagainya.
Aktifitas politik seharusnya menjadi ajang masyarakat
Indonesia untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan, bukan berlomba-lomba dalam merebut kekuasaan. Karena memperebutkan
kekuasaan dengan segala cara, tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi
merugikan seluruh masyarakat secara jelas. Politik yang semulanya untuk
mensejahterakan rakyat, akhirnya hanya akan menindas rakyat. Dari hal tersebut
timbullah paradigma, bahwa Politik adalah perilaku sosial yang sangat
menakutkan, sehingga usaha mereka bukan menyatukan kembali dengan spiritual, tetapi berbondong-bondong untuk menghindarkannya sejauh mungkin.
Kita masyarakat Indonesia seharusnya malu dengan agama yang
disandingkan dalam diri kita. kita disebut sebagai manusia ber-Agama dan menafikkan para kaum Atheis.
ketika kita tidak menerapkan nilai spiritual tersebut, lantas apa bedanya kita dengan
para kaum Atheis?. Itulah mengapa Rasulullah saw menganjurkan umatnya agar
selalu bermuhasabah diri, agar kita dapat membenahi kekurangan dalam diri
sendiri terlebih dahulu, sebelum membenahi sekitar. Seperti yang dikatakan Jalaluddin Rumi, “dulu aku pintar dan ingin merubah dunia. Sekarang aku bijak dan ingin
merubah diri sendiri”. Karena tanpa dimulai dari diri sendiri, niscaya
perubahan itu akan sangat sulit untuk dilakukan.
Spiritual memang tidak selalu berhubungan
dengan Agama Islam, tapi justru spiritual itulah pasti menjadi keyakinan
mendasar bagi setiap agama-agama di dunia.
Spiritual itu meyakini bahwa jiwanya adalah bagian dari alam semesta, alam semesta
adalah bagian dari esensi keberadaan Tuhan. Jadi jelas, bahwa manusia yang
berkeyakinan kuat akan keberadaan Tuhan,
dia akan berfikir dua kali untuk melakukan keburukan yang akan meerugikan diri
sendiri dan orang lain.
Tetapi hubungan spiritual dengan politik saat ini seperti seseorang
yang tidak pernah
saling mengenal atau pernah bersama, keduanya saling menghindar satu sama lain, bahkan keduanya
ingin berdiri sendiri. Padahal karena berpisahnya Spiritual dan Politik
tersebut, agama menjadi terlihat sangat kaku dan politik menjadi semakin
menggelitik karena dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun jika kita berusaha menyatukan antara keduanya, pasti akan tercipta
sebuah politik yang bersih dan sehat dan paradigma sekuler akan hancur dengan
sendirinya seiring berjalannya waktu. Meski memang akan membutuhkan waktu yang lama untuk
melakukan perubahan tersebut, bahkan mungkin ada sesuatu yang harus dikorbankan
untuk menggapainya. Tidak jauh berbeda ketika Rasul saw diutus di kota Makkah
kala itu, banyak keluarga dan saudara yang tercerai berai karena sebagian dari mereka mengikuti agama baru yang dibawa
oleh Rasulullah saw. Tetapi dampak dari perjuangan melakukan perubahan tersebut
sangatlah luar biasa, bahkan saat-saat ini semakin banyak orang mulai
berbondong-bondong memasuki agama Islam, padahal Rasul saw sudah 14 abad yang
lalu tubuhnya telah menyatu dengan tanah, tetapi ruhnya menjelma menjadi
hidayah-hidayah. Allahumma Shalli ala
Muhammad
Merubah, Membangun, menjalankan, mengembangkan
tidaklah menjadi hal mudah seperti
semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika ruang lingkup perubahan itu mencakup perubahan dengan skala besar seperti merubah sebuah
kebobrokan negara.
Indonesia sudah mempunyai dasar hukum
dan perundang-undangan yang baik untuk diterapkan, Indonesia mempunyai demokrasi
yang mengedepankan Musyawarah. Konsep musyawarah itu sering sekali dipraktekkan oleh Nabi
saw, bahkan Nabi saw yang notabene nya adalah manusia yang sempurna, sering
sekali mengedepankan suara mayoritas dari pendapat Nabi saw sendiri. Selain itu
juga ada konsep keadilan, keadilan ini menjadi konsep paling dasar dalam sistem
kenegaraan. Keadilan harus ditegakan dalam setiap tingkat kehidupan, kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. Karena tanpa keadilan, sebuah hukum
yang telah terkonsep hanya akan timpang sebelah atau tajam di bawah tumpul di
atas. Semua konsep-konsep negara yang dianut bangsa Indonesia
sangat sesuai dengan ajaran Islam, bahkan Indonesia mempunyai Majelis Ulama
Indonesia untuk membatasi ruang lingkup Demokrasi tersebut. Jadi sangat
mengherankan ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara
kufur karena menganut sistem demokrasi yang lahir dari Barat, bahkan bersikukuh
ingin merubah negara Indonesia dengan negara Khilafah Islamiyyah, sampai-sampai melupakan bahwa Indonesia sedang
krisis politik karena manusia, bukan krisis politik karena sistemnya.
Badan politik di Indonesia masih
mengalami kemunduran yang konsisten, disebabkan individu-individu yang mengendarai badan
politik tersebut. Indonesia menjujung tinggi Musyawarah, tapi faktanya masih banyak
kecurangan-kecurangan. Indonesia menjujung tinggi keadilan, tapi faktanya
keadilan masih tetap milik kaum-kaum bangsawan.
Indonesia menjunjung tinggi persamaan, tapi faktanya struktur social kaum
menengah bawah dan menengah atas masih dikumandangkan. Bahkan pelaku-pelaku
tersebut kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang beragama, yang setiap
kampanye-nya meneriakkan takbir dengan penuh bergelora.
Oleh karena itu, ruh dalam politik sangatlah dibutuhkan,
sama hal-nya dibutuhkan ruh ketika melaksanakan solat. Tanpa ruh, solat hanya gerakan, dan tanpa ruh, politik hanya mayat berjalan. Usaha
kita untuk menyatukan
nilai-nilai spiritual ke dalam badan politik, lagi-lagi harus dimulai dari
pendidikan agama sejak usia dini, penanaman nilai-nilai itu harus lebih
diperkuat sampai ke akarnya, sehingga kemudian memunculkan kesadaran dalam
diri, bahwa semua manusia bukan hanya mempunyai
tujuan duniawi saja, tetapi lebih dari itu harus mempunyai tujuan akhirat.
Masyarakat
Indonesia harus banyak-banyak belajar kembali dan memperbarui kadar
kespiritualannya, agar setiap masalah yang dihadapi bisa terselesaikan dengan
baik, tanpa harus melakukan bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa ketika
dirinya tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Itulah pentingnya penanaman keyakinan
diri akan hadirnya Tuhan, pendekatan diri dengan Tuhan dan meyakinkan bahwa
Tuhan sangat dekat melebihi dekatnya urat nadi. Islam menawarkan konsep
Tasawuf, sedangkan di Barat mengenalkan konsep Filsafat. Kedua-duanya sama-sama
menawarkan metode kejiwaan dengan melakukan pendekatannya kepada Tuhan.
Melakukan pendekatan dengan Tuhan tidak berarti harus mengasingkan diri di Goa
bertahun-tahun, tidak menikah, tidak bekerja, atau sebagainya. tetapi justru
Islam mengajak penganutnya untuk memberikan dan menebarkan manfaat di mana-mana,
dengan cara bermacam-macam pula. Bisa dengan memberikan manfaat melalui bidang
pendidikan ataupun bidang kenegaraan, atau bahkan hal yang terkecil dengan
hanya menyingkirkan duri dari jalanan.
Di Indonesia pernah ada julukan yang cukup
terkenal bagi seseorang yang beragama, tapi tingkah lakunya tidak menunjukkan
seperti sikap orang yang beragama atau Islam KTP dan itu memang fakta. betapa
banyak Islam tapi hanya beberapa yang Muslim. Tapi ada juga yang Muslim tetapi
tidak Islam. Seperti pernyataan salah satu tokoh pergerakan dari Mesir Muhammad
Abduh, ketika beliau berkunjung ke Perancis, beliau mengatakan bahwa ada Muslim
di negara Perancis, tetapi tidak ada Islam. Sedangkan di negaranya, ada Islam
tetapi tidak ada Muslim.
Praktek kecilnya yang masih sangat
sulit dihindarkan di Indonesia adalah kebiasaannya membuang sampah sembarangan,
padahal untuk hal sekecil itu Islam sangat mengaturnya, apalagi untuk hal besar
seperti kenegaraan. Penulis sangat yakin, jika untuk hal kecil sudah bisa dilaksanakan, insya Allah hal besarpun
perlahan-lahan tidak berat untuk dilakukan, termasuk menciptakan dan melahirkan
anak-anak politik yang sehat.
Islam adalah keselamatan, kehadirannya
adalah memberikan keselamatan untuk manusia-manusia yang kehilangan arah dan
tujuan. Islam agama sekaligus teman dalam suka dan duka. Kehadirannya adalah
memberikan Rahmat di seluruh alam.
Ajarannya tidak hanya mencakup hubungan dengan Tuhan saja, tetapi hubungan dengan
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Tuntunannya bukan saja
penuh kasih sayang, tetapi penuh ketegasan. Islam memerintahkan kepada
penganutnya, agar tidak hanya bekerja untuk akhirat, tetapi dunia dan akhirat
keduanya harus seimbang, dunia menjadi tempat mencari bekal untuk menuju ke alam
akhirat kelak. Itulah mengapa dalam salah satu do’a yang paling mahsyur
diucapkan, yang terdapat dalam surat al-Baqarah:
“…Ya Tuhan
kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah
kami dari azab neraka”. (QS. al-Baqarah [2]: 201)
Kata dunia dan akhirat dalam ayat
tersebut diletakkan berdekatan, itu artinya Islam menghendaki penganutnya untuk
bekerja di dunia agar mendapat kebaikan di akhirat. Islam sangat menghendaki
spiritual, bahkan Islam tanpa Spiritual bukanlah Islam. Islam dengan spiritual
itu seperti ikan dan air, tidak bisa salah satunya berdiri sendiri. Dan
Spiritual Islam itu harus mampu diterapkan dalam setiap aktifitas, terlebih
aktifitas politik yang ruang lingkupnya mencangkup banyak umat.
Islam yang merupakan ajaran politik,
seharusnya mampu ditanamkan oleh para penganutnya ketika menjalankan
pemerintahan. Islam mampu menyelamatkan politik saat ini yang sudah dijadikan
ajang bisnis kebanyakan orang, sehinga menampik tujuan awal dari politik
tersebut. Memperebutkan kekuasaan dengan berbagai macam cara dilakukan, bahkan
sekarang dikenal dalam politik itu istilah tidak mengenal kawan atau lawan.
Kalau sudah seperti ini, lantas dimana wajah positif dari politik tersebut.
Politik seperti sudah menjadi panggung pergulatan saja, siapa yang kuat dialah
yang menang di atasnya, tidak peduli harus menghancurkan atau mematikan lawan
mainnya.
Dalam Islam kekuasaan sejatinya adalah
sebuah titipan yang telah Allah amanahkan kepada hambanya, itu artinya ketika
mendapat amanah mendapat kekuasaan tersebut, maka ruang lingkupnya untuk
menebarkan manfaat semakin luas dan tanggung jawab yang harus di emban juga
semakin besar. Bahkan seorang pemimpin yang prilaku kekuasaanya adil, akan menjadi salah satu orang yang mendapat naungan Allah pada hari
kiamat, di saat tidak ada naungan selainnya.
Itulah mengapa spiritual politik
perlahan-lahan harus kita tanamkan sejak sekarang. tanpa spiritual, maka politik akan
terus menanggung kebobrokan dan kekotoran atas ulah tangan-tangan manusia. kita
bisa sama-sama mengembalikan wajah politik Islam yang menyejukan, wajah politik
Islam yang penuh keadilan dan persamaan dengan cara menamakan dasar-dasar
spiritual tersebut dalam pelaksanaan politiknya. Rasa takut akan hukum Tuhan
juga mendorong manusia untuk tidak melakukan tindak kejahatan yang merugikan.
Rasa cinta kepada Tuhan juga mendorong manusia untuk tulus menjalankan
perintah-perintahnya. Dengan menyerahkan semuanya kepada Allah, maka aktifitas
apapun akan bernilai kebaikan bukan
hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Cita-cita bangsa Indonesia menjadi
cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan dapat
menerapkan lima sila Indonesia ke dalam kahidupan sehari-hari dan merujuk-kan
kembali kedekatan Spiritual dan politik dengan kesadaran sepenuh hati. Meski
status hubungan politik dan Spiritual saat ini sangat terpisah jauh dan tidak
berjalan baik, tetapi usaha untuk menyatukan kembali haruslah tetap berjalan. Melakukannya memang tidak membutuhkan
waktu sedikit, kita bahkan bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
mewujudkannya. Hanya saja kita harus menghilangkan sedikit prasangka buruk terhadap
politik, yang menyebabkan sebagian orang memilih mundur jauh untuk
menghindarinya dan membiarkan kerusakan politik dikuasai oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Bukankah salah satu tidak terwujudnya perubahan adalah karena diamnya
orang yang benar dan berteriaknya orang yang bodoh.
Tetapi saat ini
Indonesia masih memiliki banyak kesempatan untuk mengembalikan nilai kemurnian
politik dan memberikannya cahaya untuk menjadikan sebuah titik terang dalam
kebaikan. Nilai-nilai spiritual itulah yang akan membawa kembali sifat dasar
politik agar terlahir kembali menjadi sebuah politik yang jauh dari
perilaku-perilaku korupsi, kolusi dan Nepotisme, serta rumah tangga spiritual dan politik negara kita ini kembali rukun
dan diridhai Allah swt.
Wallahu A’lam bish Shawwab
Nb: Menghadirkan Tuhan dan meyakini adanya
Tuhan, akan sangat mendorong kita untuk berpikir dua kali ketika akan melakukan
keburukan. Hadirkan Tuhan, yakinkan sepenuh hati bahwa Tuhan ada dan bersemayam
dalam jiwa di tubuh kita.
“Tuhan adalah samudra tanpa tepian,
tapi sungguh heran banyak jiwa-jiwa tenggelam di dalamnya, lantas berteriak ‘Tuhan
tidak ada’.” (Jalaluddin Rumi, semoga Allah berikan surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, Al-Faatihah)