Minggu, 15 November 2020

Ia yang terlahir membawa Rahim, dan yang Rahim (Penyayang)

 


Ada kisah menarik yang aku temukan dari buku Mark Manson, The Subtle Art of not Giving a F*ck, dengan judul bahasa Indonesia Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Kurang lebih seperti ini kisahnya, ketika pada tahun 2008 Taliban mengambil kendali lembah Swat, mereka segera melaksanakan agenda ekstremis mereka, dengan salah satu agendanya yaitu meniadakan wanita yang berada di luar rumah tanpa didampingi pria dan meniadakan anak perempuan untuk pergi ke sekolah. Pada tahun 2009, ada seorang gadis Pakistan berusia 11 tahun bernama Malala Yousafzai mulai bersuara untuk melawan larangan beresekolah bagi anak perempuan dan Malala memutuskan untuk tetap pergi bersekolah dan mempertaruhkan hidupnya sendiri dan nyawa ayahnya, ia juga mengikuti pertemuan-pertemuan di kota-kota terdekat, bahkan ia menulis secara online tentang taliban “beraninya Taliban merampas hak saya untuk mendapatkan pendidikan!” seiring berjalannya waktu saat Malala berusia 14 tahun tepatnya pada 2012, di suatu hari ia ditembak tepat di wajahnya saat naik bis dari rumah menuju sekolah. Ketika itu ada seorang tentara Taliban bertobeng membawa senjata menaiki bis dan berteriak “Mana Malala? Katakan atau kutembak semua penumpang di bis ini”. Kemudian Malala menunjukan dirinya, lalu tentara itu menembaknya di kepala di depan semua penumpang bis tersebut. Tapi bersyukur Malala hanya mengalami koma dan masih hidup. Bahkan beberapa tahun kemudian, ia masih berbicara dengan lantang melawan kekerasan dan tekanan terhadap para kaum perempun di berbagai negara.

Taliban dan Afghanistan. Menggunakan Islam sebagai dalil dalam menekan para perempuan, merampas hak-hak perempuan.

Ketika budaya-budaya patriarki itu makin menjamur, perempuan harus menjadi lebih tangguh tapi tetap teduh, kuat tapi tetap bersahabat. Karena perempuan banyak mengemban amanah dari Tuhan, untuk menjadi manusia yang melahirkan anak-anak, dari mulai mengandung sampai sembilan bulan membawanya kesana kemari, harus merasakan sakitnya melahirkan dan kemudian menyusui sampai dua tahun.

Di tengah kesibukan perempuan menjadi seorang ibu, ia  dituntut oleh budaya agar bisa menjadi istri yang baik versi budaya dengan bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah, memasak, menyapu, mengepel dan lain sebagainya. bahkan tidak jarang perempuan sering dilarang untuk menempuh pendidikan tinggi-tinggi, dengan alasan pendidikan perempuan tidak boleh mengungguli laki-laki, atau seperti kisah di atas, perempuan di kunci rapat-rapat di dalam rumahnya dan hanya berkutat dengan urusan domestik. Budaya patriarki seakan merampas hak-haknya, membuatmu dan menjadikanmu hanya berkutat soal dapur, sumur dan kasur.

Pada satu waktu saya pernah menelusuri sejarah perjalanan perempuan pada setiap masa, ternyata perempuan sering mendapat perlakuan yang tidak menguntungkan. perempuan bahkan dianggap oleh salah satu agama sebagai penyebab terusirnya Adam dari surga, sehingga dalam hal apapun perempuan  sering menjadi sebuah masalah dan dipermasalahkan. Mereka yang menganggap lemah dirinya, mereka yang menganggap remeh dirinya, mereka yang menganggap bahwa perempuan hanyalah pelayan untuk kehidupan laki-laki, mereka yang menganggap perempuan tidak boleh menempuh pendidikan tinggi-tinggi, aku yakin mereka hanya sedang menuruti keegoisannya saja, bahkan Tak jarang mereka  membawa dalil-dalil agama untuk membenarkan bahwa perempuan itu memang seperti apa yang mereka pikirkan, menganggapnya bahwa laki-laki dalam penciptaannya lebih unggul dari perempuan.

(Sumber: Buku Antologi Setintik Tinta Sejuta Makna, yang diterbitkan Sahabat Literasi. Salah satu tulisan Bird Pipit yang berjudul Untuk Makhluk terhebat, 2020)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...