Ada kisah menarik yang aku
temukan dari buku Mark Manson, The Subtle Art of not Giving a F*ck, dengan
judul bahasa Indonesia Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Kurang
lebih seperti ini kisahnya, ketika pada tahun 2008 Taliban mengambil
kendali lembah Swat, mereka segera melaksanakan agenda ekstremis mereka, dengan
salah satu agendanya yaitu meniadakan wanita yang berada di luar rumah tanpa didampingi
pria dan meniadakan anak perempuan untuk pergi ke sekolah. Pada tahun 2009, ada
seorang gadis Pakistan berusia 11 tahun bernama Malala Yousafzai mulai bersuara
untuk melawan larangan beresekolah bagi anak perempuan dan Malala memutuskan
untuk tetap pergi bersekolah dan mempertaruhkan hidupnya sendiri dan nyawa
ayahnya, ia juga mengikuti pertemuan-pertemuan di kota-kota terdekat, bahkan ia
menulis secara online tentang taliban “beraninya Taliban merampas hak saya
untuk mendapatkan pendidikan!” seiring berjalannya waktu saat Malala
berusia 14 tahun tepatnya pada 2012, di suatu hari ia ditembak tepat di
wajahnya saat naik bis dari rumah menuju sekolah. Ketika itu ada seorang
tentara Taliban bertobeng membawa senjata menaiki bis dan berteriak “Mana Malala?
Katakan atau kutembak semua penumpang di bis ini”. Kemudian Malala
menunjukan dirinya, lalu tentara itu menembaknya di kepala di depan semua
penumpang bis tersebut. Tapi bersyukur Malala hanya mengalami koma dan masih
hidup. Bahkan beberapa tahun kemudian, ia masih berbicara dengan lantang
melawan kekerasan dan tekanan terhadap para kaum perempun di berbagai negara.
Taliban dan Afghanistan. Menggunakan
Islam sebagai dalil dalam menekan para perempuan, merampas hak-hak perempuan.
Ketika budaya-budaya patriarki
itu makin menjamur, perempuan harus menjadi lebih tangguh tapi tetap teduh,
kuat tapi tetap bersahabat. Karena perempuan banyak mengemban amanah dari
Tuhan, untuk menjadi manusia yang melahirkan anak-anak, dari mulai mengandung
sampai sembilan bulan membawanya kesana kemari, harus merasakan sakitnya
melahirkan dan kemudian menyusui sampai dua tahun.
Di tengah kesibukan perempuan
menjadi seorang ibu, ia dituntut oleh
budaya agar bisa menjadi istri yang baik versi budaya dengan bisa mengerjakan
semua pekerjaan rumah, memasak, menyapu, mengepel dan lain sebagainya. bahkan
tidak jarang perempuan sering dilarang untuk menempuh pendidikan tinggi-tinggi,
dengan alasan pendidikan perempuan tidak boleh mengungguli laki-laki, atau
seperti kisah di atas, perempuan di kunci rapat-rapat di dalam rumahnya dan
hanya berkutat dengan urusan domestik. Budaya patriarki seakan merampas
hak-haknya, membuatmu dan menjadikanmu hanya berkutat soal dapur, sumur dan
kasur.
Pada satu waktu saya pernah
menelusuri sejarah perjalanan perempuan pada setiap masa, ternyata perempuan
sering mendapat perlakuan yang tidak menguntungkan. perempuan bahkan dianggap
oleh salah satu agama sebagai penyebab terusirnya Adam dari surga, sehingga
dalam hal apapun perempuan sering
menjadi sebuah masalah dan dipermasalahkan. Mereka yang menganggap lemah
dirinya, mereka yang menganggap remeh dirinya, mereka yang menganggap bahwa
perempuan hanyalah pelayan untuk kehidupan laki-laki, mereka yang menganggap
perempuan tidak boleh menempuh pendidikan tinggi-tinggi, aku yakin mereka hanya
sedang menuruti keegoisannya saja, bahkan Tak jarang mereka membawa dalil-dalil agama untuk membenarkan
bahwa perempuan itu memang seperti apa yang mereka pikirkan, menganggapnya
bahwa laki-laki dalam penciptaannya lebih unggul dari perempuan.
(Sumber:
Buku Antologi Setintik Tinta Sejuta Makna, yang diterbitkan Sahabat
Literasi. Salah satu tulisan Bird Pipit yang berjudul Untuk Makhluk terhebat,
2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar