Minggu, 15 November 2020

Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan menurut Zainab al-Ghazali dalam Tafsirnya Nazharat fi Kitabillah.

 


Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwasanya Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan dan yang membedakannya hanyalah dari segi biologisnya. Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. konstruk sosial dan agama mendudukan perempuan pada tempat semestinya, sama halnya dengan membongkar habis sejarah manusia yang telah berlangsung berabad-abad dan yang digugat tidak hanya sistem sosial yang terdiri dari kaum pria, tapi juga dari kaum perempuan itu sendiri.[1]

Al-Qur’an sebagai konsepsi dasar ajaran Islam secara verbal telah menjelaskan bahwa posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Untuk itu, jika ada pemahaman miring terhadap kedudukan perempuan dalam Islam, hal itu sebenarnya hanya hasutan orang-orang non muslim atau kaum orientalis. Islam tidak hanya sekedar menempatkan perempuan dalam kerja sama dengan laki-laki pada semua aspek tanggung jawab, baik secara khusus maupun umum. Lebih dari itu, Islam telah mengangkat derajat perempuan dan menempatkan sebagai perimbangan atas tanggung jawab yang dipikul dipundak mereka. Islam mengharuskan adanya penghargaan kepada kaum perempuan apabila ternyata mereka benar, persis seperti penghargaan yang harus diberikan kepada laki-laki. Jika Islam berkenan menerima pendapat sebagian laki-laki, maka ia pun menerima pendapat sebagian perempuan.[2]

  

Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS ali-Imran: 195)

 

Dalam tafsirnya Zainab al-Ghazali menjelaskan:

“Sesungguhnya diantara kegungan Allah Swt adalah bahwa ia merupakan zat yang maha adil lagi maha benar, tidak akan pernah menyia-nyiakan amalan hambanya, baik laki-laki maupun perempuan. Pada potongan ayat, ‘sebagian kalian dari sebagian yang lain’ mengandung makna kesetaraan sekaligus pemuliaan terhadap perempuan dan laki-laki secara bersamaan. Allah menjadikan keduanya sebagai esensi dari humanisme yang utuh. Allah gantungkan pengelolaan makhluk secara umum kepada mereka berdua serta Allah bebankan kepada mereka keharusan untuk mengikuti syri’at Nabi Muhammad saw serta bersama-sama dengannya menanggung amana serta menyampaikna risalah agama.

Kemudian Allah mengangkat derajat orang-orang yang maju untuk berjihad dari golongan laki-laki dan perempuan, lalu mereka berhijrah di jalan Allah. Mereka tanggung segala penderitaan di jalannya, sekalipun mereka diusir dari kampung halaman mereka. Begitu juga mereka mendapatkan berbagai perlakuan yang kurang baik dari orang-orang kafir dan zhalim. Kemudian dengan ganjaran dari Allah swt, ia hapuskan dosa-dosa keburukan mereka. Ia masukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, serta ia berikan untuk mereka ganjaran terbaik dari sisinya.[3]

 

Menurut Asma Barlas keberpasangan laki-laki dan perempuan yang berpotensi berbuat kebaikan dan dosa, itu artinya Al-Qur’an menuntut agar keduanya hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang sama dan memandang keduanya memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukannya.[4]

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah Nabi yang merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. sementara itu berkaitan dengan kesetaraan di antara jenis kelamin, yakni antara perempuan dan laki-laki, dalam ajaran Islam tidak membedakan diantara mereka berdua. Siapa saja diantara mereka akan mendapat ganjaran setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Namun dalam kenyataannya hubungan antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat masih timpang. Diantara penyebab hal tersebut adalah mitos-mitos yang disebarluaskan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum laki-laki.[5]

Al-Qur’an tidak membedakan perilaku moral dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an justru menerapkan standar yang sama terhadap mereka dan menetapkan hukum atas mereka berdasarkan kriteria yang sama. sedikitpun  tidak ditemukan dalam Al-Qur’an pernyataan bahwa laki-laki dan perempuan karena secara biologis berbeda maka tidak setara dan berlawanan dalam berbagai hal atau bahwa Tuhan telah menganugerahi laki-laki kemampuan atau potensi yang tidak diberikan kepada perempuan. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan keimanan atau keingkaran mereka inilah yang menjadi inti ajaran Al-Qur’an tentang personalitas moral dan keimanan.[6]


Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(71). Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar (72).” (QS at-Taubah: 71-72)

 

Dalam tafsirnya Zainab al-Ghazali menjelaskan:

“Sesungguhnya ketentuan Allah Swt yang menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan sebagian mereka adalah sekutu bagi sebagian yang lain, merupakan penjelasan terhadap ungensitas persatuan dan kesatuan di antara kaum muslimin. Sesungguhnya satu golongan yang berbeda dalam hal pemikiran yang muncul di kalangan kaum muslimin sangat berpotensi menyia-nyiakan kesungguhan golongan yang lain serta melemahkan semangat mereka. Tidaklah  pertolongan kaum muslimin awal-awal terhadap Rasulullah saw melainkan karena sesungguhnya mereka ibarat gelang perhiasan yang ada di sekeliling pergelangan tangan. Dengan demikian, kewajiban awal yang diperintahkan oleh sang penyeru umat (Muhammad saw) terhadap umat Muslim yang taat adalah menyatukan barisan mereka dan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan perpecahan, pembelotan, serta pertikaian yang akan menceraiberaikan umat sehingga melemahkan persatuan mereka dan melenyapkan kekuatan mereka.

Hendaknya kita wahai kaum Muslimin, mengambil pelajaran dari hikmah salat berjama’ah serta anjuran untuk melaksanakannya di masjid. Anjuran ini menegaskan kepada kita bahwa kekuatan Islam terletak pada kesatuan umat di bwah petunjuk Al-Qur’an yang mulia, dimana ayat-ayatnya kita senandungkan di dalam setiap rakaat dari salat-salat kita dengan penuh semangat dan kecintaan. Maka melalui fenomena yang kita hadapi sekarang, kita melihat kondisi umat, siapakah diantara mereka yang berpegang teguh terhadap Al-Qur’an, siapa yang mau menyatukan barisannya di bawah petunjuk Al-Qur’an dengan semangat persaudaraan, kecintaan, kesungguhan dan amal saleh? Allah telah menjanjikan kepada hamba-hambanya yang beriman, berakidah tauhid, bersikap benar dalam perkataan dan perbuatan, baik di saat sendirian ataupun bersama orang lain, maka akan Allah berikan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Bagi mereka di dalamnya juga disediakan tempat-tempat yang baik dalam surga ‘Adn dan bahkan yang lebih besar dari itu yaitu keridhaan Allah terhadap mereka dan itulah kemenangan yang terbesar.[7] 

Dalam penafsiran ayat ini, Zainab al-Ghazali semakin menekankan bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah sekutu yang harus diperkuatkan persatuan dan kesatuannya. Beliau memaparkan bahwa perbedaan dalam hal pemikiran di kalangan kaum muslimin sangat berpotensi menyia-nyiakan semangat golongan umat Islam dan akan melemahkan semangat mereka. karena menurutnya itu dapat meruntuhkan persatuan umat muslim. Seharusnya umat Muslim yang taat itu harus menyatukan barisan  dan berusaha dengan sekuat tenaga  untuk menghilangkan perpecahan dan itu tidak dibeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena kedua-duanya harus ikut andil dalam memperjuangkan persatuan umat Islam.

Kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar itu bukan hanya menjadi tanggung jawab laki-laki saja, tetapi juga mencakup perempuan. dengan kewajiban sosial tersebut, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, Islam telah memberikan kedudukan sosial yang tinggi kepada perempuan, di mana untuk pertama kalinya Islam telah menjadikan perempuan sebagai orang yang menyuruh, yang sebelumnya tidak pernah dikenal di dalam ajaran lain melainkan hanya sebagai orang yang diperintah.[8]

Karena sudah menjadi sesuatu hal yang wajar apabila antara manusia yang satu dan yang lain saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, sebagaimana halnya laki-laki, perempuan memiliki andil besar dalam menentukkan arah, corak dan pola generasi kini dan masa depan. Karena itu, perempuan bersama laki-laki juga harus bertanggung jawab dalam perngaturan urusan umat/masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, kaum muslim maupun muslimah semuanya wajib berjuang untuk menjadikan umat Islam sebagai Khayru Ummah, sebaik-baik umat yang ada di dunia ini, bergerak bersama-sama dan tidak memisahkan diri. Sebab, sebagai din yang sempurna dan universal, Islam memandang setiap persoalan kemanusiaan tanpa pernah membedakan apakah itu persoalan laki-laki dan persoalan perempuan saja. Islam memandang setiap persoalan umat manusia sebagai tanggung jawab seluruh kaum muslim, baik laki-laki maupun perempuan (sebagai individu serta bagian keluarga dan masyarakat).[9]


(sumber: Tesis Fitriyah Syam'un, Kesetaraan Gender menurut Zainab Al-Ghazali , Studi Analisis Tafsir Nazharat fi Kitabillah,: PT Qaf Media, 2017)

 

 

 



[1] Maslamah dan Suprapti Muzani, Konsep-konsep tentang Gender Perspektif Islam,  hlm 285

[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), Cet I, hlm 84

[3] Zainab al-Ghazali al-Jubaili, Nazharat fi Kitabillah,  hlm 278

[4] Asma Barlas, Believing Women in Islam, Terj,.R. Cecep Lukman Yasin, hlm 255

[5] Ratna Batara Munti, Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: The Asia Foundation, 1999), Cet I, hlm 38

[6] Asma Barlas, Believing Women in Islam, Terj,.R. Cecep Lukman Yasin, hlm 254

[7] Zainab al-Ghazali al-Jubaili, Nazharat fi Kitabillah,  hlm 573

[8] Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Jakarta: al-Kautsar, 1997), cet I, hlm 425

[9] Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, (Bogor: CV IdeA Pustaka Utama, 2003), Cet I, hlm 130


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

72 PENYIHIR PUN BERSUJUD

  Akhir tahun yang penuh akan sejarah, selain saya terus membaca perjalanan hidup Nabi Saw. yang ditulis oleh beragam penulis dengan latar b...